BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Individu sebagai kesatuan organik yang terbatas
memiliki karakter dan sifat yang berbeda satu sama lain. Manusia sebagai
makhluk sosial akan membentuk sebuah kelompok untuk tetap bertahan hidup dan
mencapai suatu tujuan tertentu.
Kelompok adalah sekumpulan orang yang mempunyai
tujuan bersama yang berinteraksi satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama,
mengenal satu sama lainnya, dan memandang mereka sebagai bagian dari kelompok
tersebut. Dalam sebuah kelompok terdapat orang-orang dengan latar belakang yang
berbeda, memiliki kemampuan dan kelemahan yang berbeda, sehingga perbedaan ini
akan menjadi kekuatan besar dalam suatu kelompok untuk mengambil suatu
keputusan-keputusan terbaik dan kondisi ini akan memperkuat induvidu anggota
kelompok dalam menutupi kelemahan-kelemahannya.
Dalam kelompok terdapat kepercayaan tertentu (norma)
yang cenderung akan diikuti oleh seluruh individu yang ada dalam kelompok
tersebut. Kelompok juga dapat memberikan semangat/dorongan yang merangsang
anggotanya untuk melakukan sesuatu baik untuk kepentingan internal maupun
eksternal dari kelompok itu sendiri.
Komunikasi menjadi hal yang sangat utama dalam
sebuah kelompok. Salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi sukses atau
gagalnya suatu kelompok bergantung pada komunikasinya. Dalam kehidupan
berkelompok, terdapat kecendrungan antar anggota di dalamnya yang harus
mengikuti/patuh terhadap norma/aturan kelompok tersebut (konformitas). Sehingga
seseorang diharuskan berperilaku sesuai dengan harapan kelompok.
Dengan berbagai kompleksitas permasalahan dalam
sebuah kelompok yaitu dengan adanya konformitas
dan pengaruhnya bagi setiap anggota, maka kami akan membahas lebih dalam
tentang komunikasi kelompok, pengaruh konformitas, dan teori lapangan yang
terjadi dalam sebuah kelompok.
1.2 Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk memberikan penjelasan
tentang komformitas dalam sebuah kelompok dan teori lapangan ditinjau dari
perspektif psikologi komunikasi.
1.3 Metode Penulisan
Penulisan makalah menggunakan studi kepustakaan
yaitu dengan mengumpulkan berbagai referensi yang berkaitan dengan pembahasan
makalah ini dan observasi langsung ke tempat pengamatan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Komunikasi Kelompok
2.1.1 Pengertian Kelompok
Kelompok adalah
sekumpulan orang yang mempunyai tujuan bersama yang berinteraksi satu sama lain
untuk mencapai tujuan bersama, mengenal satu sama lainnya, dan memandang mereka
sebagai bagian dari kelompok tersebut (Deddy Mulyana, 2005). Kelompok ini
misalnya adalah keluarga, kelompok diskusi, kelompok pemecahan masalah, atau
suatu komite yang tengah berapat untuk mengambil suatu keputusan. Dalam
komunikasi kelompok, juga melibatkan komunikasi antarpribadi. Karena itu
kebanyakan teori komunikasi antarpribadi berlaku juga bagi komunikasi kelompok.
2.1.2 Pengertian Komunikasi Kelompok
Komunikasi
kelompok adalah komunikasi yang berlangsung antara beberapa orang dalam suatu
kelompok “kecil” seperti dalam rapat, pertemuan, konferensi dan sebagainya
(Anwar Arifin, 1984). Michael Burgoon (dalam Wiryanto, 2005) mendefinisikan
komunikasi kelompok sebagai interaksi secara tatap muka antara tiga orang atau
lebih, dengan tujuan yang telah diketahui, seperti berbagi informasi, menjaga
diri, pemecahan masalah dan anggota-anggotanya dapat mengingat karakteristik pribadi anggota-anggota
yang lain secara tepat.
B. Curtis, James
J.Floyd, dan Jerril L. Winsor (2005: 149) menyatakan komunikasi kelompok terjadi ketika tiga orang atau lebih
bertatap muka, biasanya di bawah pengarahan seorang pemimpin untuk mencapai
tujuan atau sasaran bersama dan mempengaruhi satu sama lain. Lebih mendalam
ketiga ilmuwan tersebut menjabarkan sifat-sifat komunikasi kelompok sebagai
berikut:
a)
Kelompok
berkomunikasi melalui tatap muka;
b)
Kelompok memiliki sedikit partisipan;
c)
Kelompok bekerja di bawah arahan seseorang pemimpin;
d)
Kelompok membagi tujuan atau sasaran bersama;
e)
Anggota kelompok
memiliki pengaruh atas satu sama lain.
2.2
Klasifikasi Kelompok dan Karakteristik Komunikasinya
1. Kelompok Primer
Dan Sekunder
Charles Horton Cooley pada tahun 1909
(dalam Jalaluddin Rakhmat, 1994) mengatakan bahwa kelompok primer adalah
suatu kelompok yang anggota-anggotanya berhubungan akrab, personal, dan
menyentuh hati dalam asosiasi dan kerja sama. Sedangkan kelompok sekunder
adalah kelompok yang anggota-anggotanya berhubungan tidak akrab, tidak
personal, dan tidak menyentuh hati kita.
Jalaludin Rakhmat
membedakan kelompok ini berdasarkan karakteristik komunikasinya, sebagai
berikut:
a)
Kualitas
komunikasi pada kelompok primer bersifat dalam dan meluas;
Dalam, artinya menembus kepribadian kita yang paling tersembunyi,
menyingkap unsur-unsur backstage (perilaku yang kita tampakkan
dalam suasana privat saja). Meluas, artinya sedikit sekali kendala yang
menentukan rentangan dan cara berkomunikasi. Pada kelompok sekunder komunikasi
bersifat dangkal dan terbatas.
b)
Komunikasi pada
kelompok primer bersifat personal, sedangkan kelompok sekunder nonpersonal;
c)
Komunikasi
kelompok primer lebih menekankan aspek hubungan daripada aspek isi, sedangkan
kelompok sekunder adalah sebaliknya;
d)
Komunikasi
kelompok primer cenderung ekspresif, sedangkan kelompok sekunder instrumental;
e)
Komunikasi
kelompok primer cenderung informal, sedangkan kelompok sekunder formal.
2.
Ingroup dan Outgroup
Ingroup adalah
kelompok “kita”, dan outgroup adalah kelompok “mereka”. Ingroup dapat berupa kelompok primer dan
sekunder. Keluarga kita adalah ingroup
yang kelompok primer. Fakultas kita adalah ingroup yang kelompok sekunder. Perasaan
ingroup diungkapkan dengan kesetiaan, solidaritas, kesenangan, dan kerja sama.
Untuk membedakan ingroup dan outgroup,
kita membuat batas (boundaries) yang menentukan
siapa yang termasuk orang dalam dan siapa yang
termasuk orang luar. Batas-batas ini dapat berupa lokasi geografis
(Indonesia-Malaysia), suku bangsa (Sunda, Jawa), pandangan atau ideologi (Kaum
Muslimin, Kaum Nasrani, Marxis), pekerjaan atau profesi (dokter, tukang becak),
bahasa (Jerman, Spanyol), status sosial (kelompok menengah, elit), dan
kekerabatan (keluarga, clans). Dengan
mereka yang termasuk dalam lingkaran ingroup,
kita akan merasa terikat dalam semangat “kekitaan” (we-ness). Semangat ini lazim disebut kohesi
kelompok (cohesiveness).
3. Kelompok Keanggotaan Dan Kelompok Rujukan
Theodore Newcomb
(1930) melahirkan istilah kelompok keanggotaan (membership group) dan
kelompok rujukan (reference group). Kelompok keanggotaan adalah kelompok
yang anggota-anggotanya secara administratif dan fisik menjadi anggota kelompok
itu. Sedangkan kelompok rujukan adalah kelompok yang digunakan sebagai alat
ukur (standard) untuk menilai diri
sendiri atau untuk membentuk sikap.
4. Kelompok Deskriptif Dan Kelompok Preskriptif
John F. Cragan dan David W. Wright
(1980) membagi kelompok menjadi dua yaitu deskriptif dan
peskriptif. Kategori deskriptif menunjukkan klasifikasi kelompok dengan melihat
proses pembentukannya secara alamiah. Berdasarkan tujuan, ukuran, dan pola
komunikasi, kelompok deskriptif dibedakan menjadi tiga, antara lain:
a)
Kelompok tugas;
Kelompok tugas bertujuan memecahkan masalah, misalnya
transplantasi jantung, atau merancang kampanye politik.
b)
Kelompok pertemuan;
Kelompok pertemuan adalah kelompok orang yang menjadikan
diri mereka sebagai acara pokok.Melalui diskusi, setiap anggota berusaha
belajar lebih banyak tentang dirinya.Kelompok terapi di rumah sakit jiwa adalah
contoh kelompok pertemuan.
c)
Kelompok penyadar
Kelompok penyadar
mempunyai tugas utama menciptakan identitas sosial politik yang baru. Misalnya kelompok revolusioner radikal di Amerika Serikat pada tahun 1960-an menggunakan proses ini dengan cukup banyak.
Kelompok
preskriptif, mengacu pada langkah-langkah yang harus ditempuh anggota kelompok
dalam mencapai tujuan kelompok. Cragan dan Wright mengkategorikan enam format
kelompok preskriptif, yaitu diskusi meja bundar, simposium, diskusi panel,
forum, kolokium, dan prosedur parlementer.
2.3
Pengaruh Kelompok pada Perilaku Komunikasi
1.
Konformitas
Kiesler dan
Kiesler (dalam Rakhmat, 2000) menyatakan konformitas sebagai perubahan perilaku
atau keyakinan ke arah kelompok sebagai akibat tekanan dan tuntutan kelompok,
baik tuntutan yang nyata maupun tuntutan yang hanya dibayangkan saja. Jadi,
konformitas adalah suatu bentuk sikap penyesuaian diri seseorang dalam
masyarakat/kelompok karena dia terdorong untuk mengikuti kaidah-kaidah dan
nilai-nilai yang sudah ada. Bila sejumlah
orang dalam kelompok mengatakan atau melakukan sesuatu, ada kecenderungan para anggota untuk mengatakan dan melakukan hal yang sama.
Contoh konformasi
negatif, antara lain mencuri, mencorat-coret di sembarang tempat tanpa izin,
merokok, dan sebagainya. Sedangkan contoh konformasi positif adalah terlibat
dalam kelompok perkumpulan kegiatan sosial.
2.
Fasilitasi Sosial
Fasilitasi (dari
kata Prancis facile yang artinya mudah) menunjukkan kelancaran atau peningkatan kualitas kerja
karena ditonton kelompok. Kelompok mempengaruhi pekerjaan sehingga pekerjaan tersebut menjadi lebih mudah.
Robert Zajonz
(1965) menjelaskan bahwa kehadiran orang lain dianggap menimbulkan efek pembangkit energi pada perilaku individu. Efek ini terjadi
pada berbagai situasi sosial, bukan hanya didepan orang yang menggairahkan
kita. Energi yang meningkat akan
mempertingi kemungkinan dikeluarkannya respon yang dominan. Respon dominan
adalah perilaku yang kita kuasai. Bila respon yang dominan itu adalah yang
benar maka akan terjadi
peningkatan prestasi. Bila respon dominan itu adalah yang salah maka akan terjadi penurunan prestasi.
3.
Polarisasi
Polarisasi adalah
kecenderungan ke arah posisi yang ekstrem. Misalnya, sebelum diskusi anggota suatu kelompok mempunyai sikap agak mendukung
tindakan tertentu, dan setelah diskusi mereka akan lebih kuat lagi mendukung tindakan itu.
Sebaliknya, bila sebelum diskusi para anggota kelompok agak menentang tindakan
tertentu, maka setelah diskusi mereka akan menentang lebih keras.
2.4
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keefektifan Kelompok
Anggota-anggota
kelompok bekerja sama untuk mencapai dua tujuan yaitu melaksanakan tugas
kelompok dan memelihara moral anggota-anggotanya. Tujuan pertama diukur dari
hasil kerja kelompok yang disebut prestasi (performance) dan tujuan kedua diketahui dari tingkat kepuasan (satisfacation).
Jadi, bila
kelompok dimaksudkan untuk saling berbagi informasi (misalnya kelompok
belajar), maka keefektifannya dapat dilihat dari berapa banyak informasi yang
diperoleh anggota kelompok dan sejauh mana anggota dapat memuaskan kebutuhannya
dalam kegiatan kelompok.
Jalaluddin Rakhmat
(2004) meyakini bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi keefektifan kelompok antara lain:
1. Faktor situasional: karakteristik kelompok
a)
Ukuran kelompok;
Dalam hubungan dengan kepuasan, Hare dan Slater (dalam Rakmat, 2004)
menunjukkan bahwa semakin besar ukuran kelompok maka semakin berkurang kepuasan anggota-anggotanya. Slater menyarankan lima orang
sebagai batas optimal untuk mengatasi masalah hubungan manusia. Kelompok yang
lebih dari lima orang cenderung dianggap kacau, dan kegiatannya dianggap
menghambur-hamburkan waktu oleh anggota-anggota kelompok.
b)
Jaringan
komunikasi;
Terdapat beberapa tipe jaringan komunikasi antara lain, roda, rantai, Y, lingkaran, dan
bintang. Dalam hubungan dengan prestasi kelompok, tipe roda menghasilkan produk
kelompok tercepat dan terorganisir.
c)
Kohesi kelompok;
Kohesi kelompok didefinisikan sebagai kekuatan yang mendorong anggota
kelompok untuk tetap tinggal dalam kelompok dan mencegahnya meninggalkan
kelompok. Kohesi kelompok erat hubungannya dengan kepuasan anggota kelompok,
makin kohesif kelompok makin besar tingkat kepuasan anggota kelompok. Dalam
kelompok yang kohesif, anggota merasa aman dan terlindungi, sehingga komunikasi
menjadi bebas, lebih terbuka, dan lebih sering.
d)
Kepemimpinan.
Kepemimpinan adalah komunikasi yang secara positif mempengaruhi kelompok
untuk bergerak ke arah tujuan kelompok. White dan Lippit (1960) mengklasifikasikan tiga gaya
kepemimpinan yaitu:
·
Otoriter, ditandai dengan keputusan dan kebijakan yang seluruhnya ditentukan oleh pemimpin.
·
Demokratis, menampilkan pemimpin yang mendorong dan membantu anggota kelompok untuk
membicarakan dan memutuskan semua kebijakan.
·
Leissez faire, memberikan kebebasan penuh bagi
kelompok untuk mengambil keputusan individual dengan partisipasi dengan
partisipasi pemimpin yang minimal.
2. Faktor personal karakteristik anggota kelompok
a)
Kebutuhan
interpersonal
William C. Schultz (1966) merumuskan Teori FIRO (Fundamental Interpersonal Relations Orientatation), menurutnya
orang menjadi anggota kelompok karena didorong oleh tiga kebutuhan intepersonal
sebagai berikut:
· Ingin masuk menjadi bagian kelompok (inclusion);
· Ingin mengendalikan orang lain dalam tatanan hierakis (control);
· Ingin memperoleh keakraban emosional dari anggota kelompok yang lain.
b)
Tindak komunikasi
Ketika suatu kelompok bertemu, maka akan terjadilah pertukaran informasi.
Setiap anggota akan berusaha menyampaikan atau menerima informasi (secara verbal maupun
nonverbal). Robert Bales (1950) mengembangkan sistem kategori untuk
menganalisis tindak komunikasi, yang kemudian dikenal sebagai Inte.
c)
Peranan
Beal, Bohlen, dan Audabaugh (dalam Rakhmat, 2004: 171) meyakini bahwa peranan anggota-anggota kelompok
terkategorikan sebagai berikut:
· Peranan tugas kelompok;
Tugas kelompok adalah memecahkan masalah atau melahirkan gagasan-gagasan
baru. Peranan tugas berhubungan dengan upaya memudahkan dan mengkoordinasi
kegiatan yang menunjang tercapainya tujuan kelompok.
· Peranan Pemeliharaan Kelompok;
Pemeliharaan kelompok berkenaan dengan usaha-usaha untuk memelihara
emosional anggota-anggota kelompok.
· Peranan individual;
Peranan individual berkenaan dengan
usahan anggota kelompok untuk memuaskan kebutuhan individual yang tidak relevan dengan tugas kelompok.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1
Pengertian Konformitas
Konformitas ini berakar dari
pengaruh sosial normatif (Aronson, 1980; Deustch & Gerard, 1955; Kelley, 1952). Pada satu
keadaan, individu akan merasa terpaksa untuk bertindak sesuai dengan
norma-norma kelompok karena khawatir akan memperoleh sejumlah konsekuensi negatif
dari penyimpangan tersebut. Berikut ini beberapa pengertian konformitas dari para ahli:
· Konformitas adalah suatu bentuk penyesuaian
terhadap kelompok sosial karena adanya tuntutan dari kelompok sosial untuk
menyesuaikan, meskipun tuntutan tersebut tidak terbuka (Baron dan Byrne, 1997);
· Konformitas adalah perubahan perilaku sebagai
akibat dari pengaruh kelompok (David W. J. & Frank P.J., 2003);
· Konformitas adalah suatu bentuk perubahan
perilaku atau kepercayaan sebagai hasil dari tekanan kelompok (Myers, 2008);
· Konformitas terjadi di saat individu berperilaku
atau memberikan suatu opini supaya sesuai dengan kondisi tertentu atau untuk
memenuhi harapan yang diinginkan oleh kelompok (Rashotte, 2008).
3.2
Tipe-tipe
Konformitas
Allen, Kelman dan Mascovici (dalam Brehm &
Kassim, 1990) mengemukakan dua tipe dari konformitas yaitu:
a)
Private conformity (acceptance);
Yaitu perilaku konformitas yang dilakukan tidak
hanya dengan merubah perilaku luar saja, tetapi juga merubah pola pikir.
Konformitas merupakan hasil dari adanya informational
influence.
b)
Public conformity (compliance);
Yaitu perilaku konformitas yang hanya dilakukan
dengan merubah perilaku luar tanpa adanya perubahan pola pikir. Perilaku
konformitas tipe ini merupakan hasil dari normative
social influence.
3.3
Pengaruh Adanya
Konformitas
Konformitas meningkat ketika:
a)
Muncul tekanan dari kelompok;
b)
Percaya pada kelompok;
c)
Takut celaan sosial;
d)
Takut dianggap menyimpang.
Efek positif konformitas:
a)
Membentuk aturan dan koordinasi perilaku;
b)
Tahu apa yang diharapkan orang lain atau kelompok terhadap dirinya.
Efek negatif konformitas:
a)
Menghilangkan individualitas;
b)
Membatasi kreativitas
c)
Mereduksi peran anggota menjadi mediocrity
3.4
Faktor Pendorong
Melakukan Konformitas
Ada beberapa faktor yang dapat mendorong
seseorang untuk melakukan konformitas. Menurut Williams (2006), faktor-faktor
tersebut antara lain:
1. Ukuran kelompok dan tekanan sosial;
Konformitas akan meningkat sejalan dengan
bertambahnya jumlah anggota kelompok. Semakin besar kelompok tersebut maka akan
semakin besar pula kecenderungan kita untuk ikut serta, walaupun mungkin kita
akan menerapkan sesuatu yang berbeda dari yang sebenarnya kita inginkan.
Misalnya di SMA, sedang tren memakai tas ransel.
Awalnya hanya beberapa orang saja yang pakai, lama kelamaan hampir seisi kelas
menggunakan tas ransel. Si A yang pada awalnya menggunakan tas selempang
akhirnya juga menggunakan tas ransel .
2.
Group unanimity (adanya kebulatan suara dalam kelompok);
Hal ini juga berkaitan dengan dukungan sosial. Misalnya,
sebuah kelas terdiri dari beberapa mahasiswa ketika ada kelas asistensi satu
sama lain pasti akan mencocokkan jadwal. Sebagian besar bisa di hari selasa
tapi sebagian kecil tidak bisa pada hari tersebut. maka kesepakatan kelas
asistensi diadakan pada hari selasa. Maka sebagian kecil yang tidak bisa pada
hari itu dapat mengikuti asistensi KP lain.
3.
Cohessiveness (kekompakan kelompok);
Semakin kohesif suatu kelompok, maka akan semakin
kuat pula pengaruhnya dalam membentuk pola pikir dan perilaku anggota
kelompoknya. Misalnya, kita mempunyai teman yang terdiri dari empat atau lima
orang dan kita dekat dengan mereka ketika mereka membeli barang baru maka kita
secara tidak langsung mengikuti mereka dengan membeli barang yang sama juga.
4.
Status;
Orang yang memiliki status tinggi atau rendah
dari yang lain, akan membuat seseorang lebih bebas untuk berbeda dengan orang
lain. Orang yang memiliki status menengah biasanya lebih cenderung konformis. Misalnya,
kelompok pasti mempunyai ketua dan anggota. Ketua bertanggung jawab atas
anggotanya. Jika ketua memberi peraturan pada anggotanya untuk disiplin waktu
untuk mengerjakan tugas maka mau tidak mau anggota harus menuruti peraturan
tersebut.
5.
Public response;
Seseorang lebih konformis bila mereka harus
merespon secara umum dibandingkan mereka merespon secara individual. Misalnya
dalam suatu diskusi besar di kelas. Ketika guru menanyakan pendapat pada si A,
si A akan menjawab langsung menurut pendapatnya sendiri meski teman-temannya
menjawab berbeda dari yang diutarakan oleh A. Namun jika guru menanyakan
bagaimana pendapat kelompok, anggota kelompok A yang lain menjawab ya, dan si A
menjawab tidak, maka si A akan ikut-ikutan menjawab ya.
6.
Faktor norma dan informasi;
Meliputi keinginan untuk disukai, rasa takut akan
penolakan, keinginan untuk merasa benar. Misalnya, 4 dari 5 orang anggota
kelompok memiliki sifat periang, dan 1 orang lagi pemurung. Kemudian ia
berusaha menjadi periang agar diterima oleh teman-temannya.
3.5
Faktor Pendorong
Tidak Melakukan Konformitas
Pranandari (2005) menjelaskan ada pula
faktor yang mendorong seseorang untuk tidak melakukan konformitas, antara lain:
1.
Deindividuasi;
Deindividuasi terjadi ketika seseorang
ingin dibedakan dari orang lain. Individu akan menolak konform karena tidak
ingin dianggap sama dengan orang lain. Misalnya, Blackberry
sedang menjadi tren di kalangan masyarakat. Dengan fitur blackberry messenger yang praktis membuat banyak orang memilih
untuk menggunakan BB. Ada sebab lain yang menyebabkan masyarakat memilih BB,
yaitu karena sedang tren, jadi mereka tidak mau dianggap ketinggalan zaman.
Namun, ada juga orang yang tidak mau menggunakan BB karena menganggap BB
terlalu pasaran sehingga tetap bertahan dengan HP yang dimiliki.
2.
Merasa menjadi orang bebas;
Seseorang juga menolak untuk konform
karena dirinya memang tidak ingin konform dengan orang lain. Menurutnya, tidak
ada hal yang bisa memaksa dirinya untuk mengikuti norma sosial yang ada. Misalnya, pada saat pesta, pada umumnya kaum perempuan menggunakan dress.
Orang yang merasa bahwa ia tidak ingin konform dengan orang lain, jika ia
menggunakan baju lain selain dress dia akan merasa nyaman-nyaman saja walaupun
pada akhirnya ia akan dilihat orang sebagai orang yang aneh.
Psikologi Gestalt menyatakan bahwa
gejala psikologi terjadi pada suatu medan/lapangan (field) yang merupakan suatu sistem yang saling tergantung (interdependent) yang meliputi persepsi
dan pengalaman masa lampau. Unsur-unsur individu dari medan (field) tidak dapat dipahami tanpa
mengetahui medan tersebut sebagai suatu keseluruhan.
Beberapa tokoh yang menemukan teori lapangan (Field Theory atau Teori Psikodinamika)
antara lain Kurt Lewin, Tolman (1932), Wheeler (1940), Lashley (1929), dan Brunswik
(1949). Teori Lapangan
Kurt Lewin sangat dipengaruhi oleh aliran Psikologi Gestalt. Oleh karena itu, tidak
mengherankan jika teori lapangan dari Kurt Lewin juga sangat mengutamakan
keseluruhan daripada elemen atau bagian dalam studinya tentang jiwa manusia.
Salah satu ciri yang terpenting dari
teori Lapangan adalah bahwa teori ini menggunakan metode “konstruktif” yang digunakan Lewin sebagai pengganti metode “klasifikasi” yang pada waktu itu
lazim digunakan. Menurut Lewin, metode
klasifikasi mempunyai kelemahan karena hanya mengelompokkan objek studi
berdasarkan persamaan-persamaannya. Pengelompokan
seperti ini bersifat statis. Padahal Lewin menghendaki metode yang
dinamis karena objek studinya adalah tingkah laku yang dinamis pula. Sifat dinamis
ini ada pada metode konstruktif yang mengklasifikasikan objek-objek studinya
berdasarkan hubungan antara satu objek dengan objek lainnya.
3.7 Konsep-konsep Dasar Teori Lapangan
1. Lapangan
Kehidupan
Lapangan kehidupan dari seorang
individu terdiri dari orang itu sendiri dan lingkungan kejiwaan (psikologis)
yang ada padanya.Demikian pula lapangan kehidupan suatu kelompok adalah
kelompok itu sendiri ditambah dengan lingkungan tempat kelompok itu berada pada
suatu saat tertentu.
Lapangan kehidupan terbagi-bagi dalam
wilayah-wilayah (region) atau disebut
juga lingkungan kehidupan (life-sphere). Lingkungan
kehidupan ini ada yang bersifat nyata (reality)
seperti ibu, teman, pekerjaan, dan sebagainya. Dan ada pula yang bersifat maya (irreality), seperti harapan, cita-cita, dan sebagainya. Jadi lapangan
kehidupan mempunyai dimensi nyata-maya (dimensi R-I). Dimensi kedua
dari lapangan kehidupan adalah kecairan (fluidity) dari lingkungan-lingkungan
kehidupan tersebut di atas.Kecairan berarti dapat terjadi gerak,perpindahan
dari satu wilayah ke wilayah yang lain yang tergantung pada keras atau lunaknya
dinding-dinding pembatas dari masing-masing wilayah dalam lapangan kehidupan
itu.
Dimensi lain dari lapangan kehidupan adalah
“waktu psikologik”. Walaupun cara pendekatan yang digunakan
Lewin adalah ahistoris, tetapi perkembangan
lapangan kehidupan itu sendiri menyebabkan adanya masa lalu, masa kini, dan masa depan
psikologik. Dalam kombinasinya dengan dimensi nyata-maya (R-I), dimensi waktu
ini memberikan sifat yang dinamis pada lapangan kehidupan.
2. Tingkah
Laku dan Lokomosi
Tingkah laku menurut Lewin adalah
lokomosi (locomotion) yang berarti perubahan
atau gerakan pada lapangan kehidupan. Lokomosi dapat
terjadi karena ada komunikasi antara dua wilayah dalam lapangan kehidupan
seseorang. Komunikasi antara dua wilayah tersebut menimbulkan
ketegangan (tension) pada satu
wilayah dan ketegangan menimbulkan kebutuhan (need) dan kebutuhan inilah yang menyebabkan tingkah laku.
Namun, sebelum
kebutuhan dapat menimbulkan lokomosi, masih ada satu
faktor lagi yaitu batas-batas (barrier)
wilayah yang bersangkutan. Kalau batas itu kaku dan kenyal, maka batas itu
akan sukar ditembus oleh daya (forces)
yang ada dalam lapangan kehidupan seseorang sehingga sulit terjadi lokomosi. Sebailknya, kalau batas
wilayah-wilayah itu lunak, maka akan terjadi pertukaran daya antar
wilayah sehingga wilayah-wilayah yang berkomunikasi itu berada dalam tingkat
ketegangan yang seimbang kembali.
3. Daya (Forces)
Kurt Lewin membagi-bagi daya dalam
beberapa jenis berikut ini :
·
Daya yang mendorong;
·
Daya yang menghambat;
·
Daya yang berasal dari kebutuhan sendiri;
·
Daya yang berasal dari orang lain;
·
Daya yang impersonal (daya yang tidak berasal dari
kehendak sendiri maupun dari orang lain melainkan dari situasi).
4. Ketegangan (tension)
Meredakan ketegangan tidak berarti
bahwa ketegangan itu harus hilang sama sekali (dalam keadaan nol), melainkan
ketegangan itu disebarkan secara merata dari satu wilayah ke wilayah-wilayah
lain dalam lapangan kehidupan. Dengan perkataan ini, peredaan
ketegangan berarti tercapainya equilibrium
(keseimbangan) di antara wilayah-wilayah. Dengan demikian, ketegangan
suatu wilayah tertentu dapat mereda, tetapi secara
umum ketegangan di seluruh lapangan kehidupan belum tentu mereda.
3.8 Penerapan Teori
Lapangan
1. Konflik
Konflik adalah suatu keadaan di mana ada
daya-daya yang saling bertentangan arah, tetapi dalam
kadar kekuatan yang kira-kira sama. Ada tiga macam
konflik, yaitu :
·
Konflik mendekat-mendekat (approach-approach conflict);
Yaitu orang (P)
berada di antara dua valensi positif yang sama kuat.
·
Konflik menjauh-menjauh (avoidance-avoidance conflict);
Yaitu P berada
di antara dua valensi negatif yang sama kuat.
·
Konflik mendekat-menjauh (approach-avoidance conflict).
Yaitu P
menghadapi valensi positif dan negatif pada jurusan yang sama.
2.
Tingkah Laku Agresif
Dalam eksperimennya,, Kurt Lewin dan
kawan-kawan menemukan bahwa dalam kelompok anak laki-laki yang diberi
tugas-tugas tertentu di bawah pimpinan seorang pemimpin yang demokratis, maka tampak
bahwa tingkah laku agresif yang timbul berada dalam taraf yang sedang (medium). Akan tetapi, kalau pemimpin
kelompok itu adalah seorang otoriter, maka perilaku
agresif mereka menjadi tinggi atau justru sangat rendah.
3.9 Kelebihan dan
Kekurangan Teori Lapangan
Sumbangan terbesar dari Teori Lapangan
adalah adanya bukti bahwa penelitian psikologi sosial dapat juga dilakukan
dengan metode eksperimental dan dapat dilakukan dalam laboratorium. Akan tetapi teori ini juga
mengandung beberapa kekurangan, yaitu :
·
Kurt Lewin tidak menyajikan teorinya secara sistematis;
·
Banyak konsep dan konstruk yang tidak didefinisikan
secara jelas sehingga memberi arti yang kabur;
·
Teori ini terlalu bersibuk diri dengan aspek-aspek yang
mendalam dari kepribadian sehingga agak mengabaikan tingkah laku motoris yang “covert” (nampak dari luar)
·
Penggunaan konsep-konsep topologi telah menyimpang dari
arti sebenarnya (penyalahgunaan topologi).
BAB IV
PENUTUP
4.1
Kesimpulan
Komunikasi
kelompok adalah komunikasi yang berlangsung antara beberapa orang dalam suatu
kelompok yang ada. Tidak semua perilaku yang sesuai dengan norma kelompok
terjadi karena ketaatan. Sebagian terjadi karena orang memang sekedar
berperikalu sama dengan orang lain. Perilaku sama dengan orang lain yang
didorong oleh keinginan sendiri ini dinamakan konformitas.
Anggota sebuah
kelompok dituntut bersifat konformis sehingga ia dapat menyesuaikan diri dengan
kelompoknya atau dia akan dikeluarkan dari kelompok tersebut. Konformitas dalam sebuah kelompok akan menimbulkan
pengaruh yang positif maupun negatif terhadap anggotanya, sehingga antar
anggota dalam sebuah kelompok harus memahami dengan baik aturan yang ada dalam
kelompok tersebut dan meminimalisir pengaruh negatif terhadap dirinya.
4.2
Saran
Agar dapat
berkomunikasi dengan baik maka carilah suatu kelompok yang benar-benar mampu
mengubah cara kita dalam berkomunikasi sehingga dengan begitu kita mampu
berinteraksi dengan lingkungan sekitar dimana kita akan berada.
Untuk menghargai
penyimpangan adalah dengan cara memahami, bukan dengan menyetujui apa yang
dipahami oleh penyimpang. Sehingga ketika konformitas yang dilakukan,
diharapkan dalam kerangka positif.
Komentar
btw dapusny apa ya kak?