Bab I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Kemajuan teknologi baik dalam bidang teknologi, baik
dalam bidang teknologi informasi maupun teknologi transportasi mendorong
munculnya produk-produk kebudayaan baru dalam masyarakat. Dalam beberapa
masyarakat, ada produk kebudayaan yang terus dipertahankan dari masa ke masa
yang tidak boleh diubah. Adanya kebudayaan-kebudayaan baru yang masuk dalam
suatu masyarakat tidak lepas dari peran komunikasi dan bisanya proses
komunikasi yang terjadi melibatkan media massa karena daya jangakaunya lebih
luas. Salah satu wujud kebudayaan yang dihasilkan dengan adanya keterlibatan
media massa adalah kebudayaan massa atau mass
culture dan kebudayaan popular atau pop
culture. Berbagai wujud pop culture ada disekitar kita seperti gaya
berbusana, makanan, music dan film. Tak bisa dipungkiri lagi, keberadaan pop
culture mewarnai kehidupan sosial kita. Bila kita amati berbagai wujud pop
culture yang ada disekitar kita memang tidak lepas dari peran media massa dalam
mentransmisikan informasi mengenai pop culture tersebut dan juga adanya
trendsetter atau orang atau kelompok sosial tertentu yang memepopulerkan wujud
budaya popular tersebut.
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan
penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas presentasi sebagai kelompok
pembanding dari kelompok utama yang menyajikan makalah utama tentang budaya
media.
1.3 Metode Penulisan
Metode
penulisan makalah ini dengan menggunakan deskripsi mengenai teori tentang
budaya popular kemudian menampilkan contoh budaya populer yang kemudian
dianalisa dengan menggunakan konsep budaya populer.
1.4 Manfaat Penulisan
Manfaat
penulisan makalah untuk meningkatkan pengetahuan mengenai konsep budaya populer
dan beberapa contoh budaya budaya populer yang ada disekitar kita.
Bab II
Pembahasan
2.1 Pengertian Budaya
Budaya berasal
dari kata sansekerta yaitu,buddhaya bentuk jamak dari budhi yang berarti budi
atau akal. Menurut Wikipedia buday adalah suatu cara hidup yang berkembang dan
dimiliki oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke
generasi.Budaya terbentuk dari unsur-unsur yang rumit, termasuk di dalamnya
agama, politik, adat-istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan dan karya
seni.(Koentjaraningrat, 1990:181). Budaya juga dapat diartikan sebagai hasil
cipta, rasa dan karsa manusia. (Koentjaraningrat, 1990:181). Pengertian budaya
yang dikutip dari Wikipedia adalah suatu cara hidup yang yang berkemabng dan
dimiliki bersama yang dimiliki oleh sekelompok orang dan diwariskan dari
generasi ke generasi. Menurut raymond Williams, budaya memiliki tiga definisi
yakni pertama, budaya adalah suatu proses umum perkembangan intelektual,
spiritual dan estetis. (Storey, 1993: 2-3), kedua, budaya adalah panadangan
hidup tertentu dari masyarakat, periode dan kelompok tertentu dan yang ketiga,
budaya adalah karya dan praktik-praktik intelektual khususnya aktivitas
artistik. Herskovits
memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke
generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagaisuperorganic. Menurut
Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,norma
sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius,
dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang
menjadi ciri khas suatu masyarakat. Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan
merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan
lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Budaya menurut McIver
adalah ekspresi jiwa yang terwujud dalam cara-cara hidup dan berpikir,
pergaulan hidup, seni kesusasteraan, agama, rekreasi, dan hiburan, dan yang
memenuhi kebutuhan hidup manusia. (dikutip dalam Soekanto, 2002:304). Menurut
Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa,
dan cipta masyarakat.
2.2 Pengertian Budaya
Populer
Sebelum memasuki konsep budaya populer, akan dibahas
menegenai pengertian populer. Raymond Williams memberikan empat definisi
tentang populer yakni yang pertama, populer adalah banyak disukai oleh orang,
kedua, populer adalah jenis kerja rendahan, ketiga populer adalah karya yang
dilakukan oleh orang untuk membuat senang orang lain dan yang keempat, populer
adalah budaya yang memang dibuat untuk menyenangkan orang lain.
Berikut
ini adalah beberapa penegertian tentang budaya populer, yakni :
1) Budaya
populer atau pop culture dalam Pengantar Menuju Budaya Populer, St.
Sunarti (2003) mengatakan bahwa budaya populer adalah budaya yang lahir atas
kehendak media.
2) Dalam konteks budaya
rakyat (folk culture) budaya populer didefinisikan sebagai budaya rakyat jelata
yang tumbuh kemudian dimilki dan dialami rakyat jelata yang berbeda dengan para
bangasawan yang menganut dan mengalami budaya tinggi.
3) Budaya populer juga
dapat diartikan sebagai budaya yang menyenangkan dan banyak disukai oleh orang.
4) Budaya populer juga
dapat didefinisikan sebagai budaya yang berfungsi mengakomodasi wujud-wujud
budaya yang tidak dapat dikategorikan budaya tinggi.
5) Budaya populer juga
dapat didefinisikan sebagai budaya komersial yang merupakan dampak dari
produksi massal yang dilakukan oleh media.
6) Menurut MacDonald,
budaya populer adalah sebuah kekuatan dinamis yang menghancurkan batasan kuno,
tradisi, selera dan mengaburkan segala macam perbedaan.
7) Menurut Fiske, budaya
populer merupakan sebuah wujud alat perlawanan terhadap budaya dominan.
8) Menurut Ray B Brownie,
budaya populer adalah budaya yang ada di dunia ini, di sekeliling kita yang
meliputi sikap kita, perilaku kita, bagaimana kita bertindak, apa yang kita
makan, apa yang kita pakai, banguna-banguna yang ada di sekiling kita,
jalan-jalan disekitar kita, apa maksud dari perjalanan kita, hiburan-hiburan
kita, olahraga yang kita lakuakan, politik kita, aktivitas-aktivitas kita yang
lain serta bagaimana bentuk dan cara mengontrolnya. Dengan kata lain, seperti
air dan ikan yang tidak dapat dipisahkan, itulah dunia yang kita tinggali.
9) Stuart Hall menyatakan bahwa budaya populer merupakan
medan pergulatan yang mencakup muncul dan bertahannya hegemoni.
2.3 Kelahiran Budaya
Populer
Budaya populer (sering
juga dikenal sebagai budaya pop)
merupakan kumpulan gagasan-gagasan, perspektif-perspektif, sikap-sikap, dan
fenomena-fenomena lain yang dianggap sebagai sebuah kesepakatan atau konsensus
informal dalam sebuah kebudayaan arus utama pada akhir abad kedua puluh hingga
abad kedua puluh satu. Budaya popuper ini banyak dipengaruhi oleh media massa
dan ia mempengaruhi kehidupan masyarakat sehari-hari. Istilah “budaya populer”
sendiri berasal dari abad ke sembilan belas, yang penggunaan awalnya merujuk
kepada pendidikan dan kebudayaan dari kelas-kelas masyarakat yang lebih rendah.
Istilah tersebut kemudian mengandung arti sebuah kebudayaan dari kelas-kelas
masyarakat yang lebih rendah, yang berbeda dari dan bertentangan dengan
“pendidikan yang sebenarnya” yang ada pada akhir abad tersebut. Makna istilah
tersebut saat ini, yaitu budaya konsumsi massa, secara khusus berasal dari
Amerika Serikat, yang muncul pada akhir perang dunia kedua. Sedangkan istilah
yang lebih singkat “pop culture” muncul pada tahun 1960-an. Istilah ini juga
sering disebut sebagai budaya massa dan sering dikontraskan dengan budaya
tinggi (misalnya, musik klasik, lukisan bermutu, novel sastra, dan yang sejenis
lainnya).
Menurut Dominic Strinati, budaya populer atau budaya
massa berkembang, terutama sejak dasawarsa 1920-an dan 1930-an, bisa dipandang
sebagai salah satu sumber historis dari tema-tema maupun perspektif-perspektif
yang berkenaan dengan budaya populer. Perkembangan ini ditandai dengan
munculnya sinema dan radio, produksi massal dan konsumsi kebudayaan, bangkitnya
fasisme dan kematangan demokrasi liberal di sejumlah negara Barat. Budaya
populer pertama kali dipersoalkan oleh Mazhab Frankfurt. Mazhab ini didirikan
pada tahun 1923. Para pendirinya pada umumnya merupakan para intelektual
Yahudi, bangsa Jerman sayap kiri yang berasal dari kelas atas dan menengah
masyarakat Jerman. Fungsi mazhab ini adalah untuk pengembangan teori dan
penelitian kritis. Kegiatan ini melibatkan karya intelektual yang bertujuan
mengungkapkan kontradiksi-kontradiksi sosial yang melatarbelakangi lahirnya
masyarakat kapitalis pada masa itu maupun kerangka-kerangka ideologis umum
untuk membangun sebuah kritik teoritis terhadap kapitalisme modern. Dari sekian
banyak kaum intelektual menonjol yang kadang-kadang dikaitkan dengan mazhab
tersebut, di antaranya yang paling penting adalah Adorno (1903-1970),
Horkheimer (1895-1973) dan Marcuse. Budaya populer diangkat menjadi persoalan
dalam mazhab ini karena budaya populer bertentangan dengan semangat pencerahan,
misalnya: individu melebur dalam massa, dan rasionalitas dalam kenikmatan.
Mazhab ini melihat massa sebagai yang dibuat bodoh oleh “industri budaya”
kapitalis.
Budaya populer berkaitan dengan budaya massa. Budaya
massa adalah budaya populer yang dihasilkan melalui teknik-teknik industrial
produksi massa dan dipasarkan untuk mendapatkan keuntungan dari khalayak
konsumen massa. Budaya massa ini berkembang sebagai akibat dari
kemudahan-kemudahan reproduksi yang diberikan oleh teknologi seperti
percetakan, fotografi, perekaman suara, dan sebagainya. Akibatnya musik dan
seni tidak lagi menjadi objek pengalaman estetis, melainkan menjadi barang
dagangan yang wataknya ditentukan oleh kebutuhan pasar. Bahkan sifat gaib
komoditas musik itu menjadi berpendar ketika komponis, penyanyi, maupun para
penggemarnya menghargai lagu dengan uang sehingga tindakan jual-beli itu
sendiri lebih berharga daripada musik itu sendiri. Berapa tiket konser Schubert
yang habis terjual menjadi tanda sukses konser tersebut, sedangkan membeli
tiket konser itu sebenarnya tidak sama dengan memahami dan menyukainya.
Disinilah nilai intrinsik sebuah lagu atau musik itu menjadi lenyap dan
hubungan antara komponis, penyanyi, lagu, dan pendengarnya diasingkan satu sama
lain. Karena manusia, sebagai makhluk sosial, tidak mampu menanggung
keterasingan mutlak, maka muncullah sebuah hubungan sosial yang terasing antara
pendengar dan penyanyi dan keutuhan kehadiran penyanyi telah didestilasikan
menjadi suaranya, atau malah sifat erotis bibir dan tubuhnya, yang semuanya itu
adalah komoditas-komoditas dalam industri hiburan. Budaya populer ini juga oleh
orang atau kelompok tertentu disebut sebagai McWorld, yaitu produk budaya populer yang dikendalikan oleh
perdagangan kaum ekspansionis.
2.4 Karakteristik Budaya Populer
Pada
bagian ini penulis akan membahas beberapa ciri budaya populer. Adapun
karakteristik budaya populer tersebut adalah sebagai berikut:
1)
Relativisme
Budaya populer merelatifkan segala
sesuatu sehingga tidak ada yang mutlak benar maupun mutlak salah, termasuk juga
tidak ada batasan apapun yang mutlak, misalnya: batasan antara budaya tinggi
dan budaya rendah (tidak ada standar mutlak dalam bidang seni dan moralitas.).
2)
Pragmatisme
Budaya populer menerima apa saja
yang bermanfaat tanpa memperdulikan benar atau salah hal yang diterima
tersebut. Semua hal diukur dari hasilnya atau manfaatnya, bukan dari benar atau
salahnya. Hal ini sesuai dengan dampak budaya populer yang mendorong
orang-orang untuk malas berpikir kritis sebagai akibat dari dampak budaya
hiburan yang ditawarkannya. Kita
dapat melihat kecenderungan ini dari semakin banyaknya diterbitkan buku-buku
yang bersifat pragmatis praktis (buku-buku mengenai how to atau buku-buku self-help)
atau majalah-majalah yang berisi tips-tips praktis mengenai berbagai hal
praktis.
3)
Sekulerisme
Budaya populer mendorong
penyebarluasan sekularisme sehingga agama tidak lagi begitu dipentingkan karena
agama tidak relevan dan tidak menjawab kebutuhan hidup manusia pada masa ini.
Hal yang terutama adalah hidup hanya untuk saat ini (here and now), tanpa harus memikirkan masa lalu dan masa depan.
4)
Hedonisme
Budaya populer lebih banyak
berfokus kepada emosi dan pemuasannya daripada intelek. Yang harus menjadi
tujuan hidup adalah bersenang-senang dan menikmati hidup, sehingga memuaskan
segala keinginan hati dan hawa nafsu. Hal seperti ini menyebabkan munculnya
budaya hasrat yang mengikis budaya malu. Para artis dengan mudah
mempertontonkan auratnya sebagai bahan tontonan. Seks yang kudus dan hanya
boleh dilakukan dalam konteks pernikahan dipertontonkan secara ‘murahan’ dalam
film-film dengan tujuan untuk menghibur.
Bahkan bisnis yang berbau pornografi merupakan sebuah bisnis yang
mendapatkan penghasilan yang besar. Diperkirakan sekitar 12, 7 milyar dolar
Amerika dihasilkan oleh industri hiburan dewasa yang berbau pornografi
(termasuk di dalamnya majalah playboy,
penthouse, mainan seks (sex toy), dan industri pornografi di
internet). Banyak industri yang menjadikan seks sebagai obat mujarab bagi
sukses industri mereka, misalnya: majalah bisnis atau majalah popular yang
gambar sampulnya adalah wanita telanjang, sebuah pameran mobil mewah yang
pemandunya adalah seorang promo-girl
yang seksi, sebuah iklan kopi yang presenternya seorang model-girl yang aduhai. Hal-hal ini merupakan salah satu strategi
visual yang sering digunakan untuk memberikan provokasi dan efek-efek
psikologis yang instan, yang biasanya berkaitan dengan gejolak hasrat dan
libido.
5)
Materialisme
Budaya populer semakin mendorong
paham materialisme yang sudah banyak dipegang oleh orang-orang modern sehingga
manusia semakin memuja kekayaan materi, dan segala sesuatu diukur berdasarkan
hal itu. Budaya populer atau budaya
McWorld sebenarnya menawarkan budaya pemujaan uang, hal ini dapat kita
lihat dengan larisnya buku-buku self-help
yang membahas mengenai bagaimana menjadi orang sukses dan kaya.
6)
Popularitas
Budaya populer mempengaruhi banyak
orang dari setiap sub-budaya, tanpa dibatasi latar belakang etnik, keagamaan,
status sosial, usia, tingkat pendidikan, dan sebagainya. Budaya populer
mempengaruhi hampir semua orang, khususnya orang-orang muda dan remaja, hampir
di semua bagian dunia, khususnya di negara-negara yang berkembang dan
negara-negara maju.
7)
Kontemporer
Budaya populer merupakan sebuah
kebudayaan yang menawarkan nilai-nilai yang bersifat sementara, kontemporer,
tidak stabil, yang terus berubah dan berganti (sesuai tuntutan pasar dan arus
zaman). Hal ini dapat dilihat dari lagu-lagu pop yang beredar, termasuk
lagu-lagu pop rohani yang terus berubah dan berganti.
8)
Kedangkalan
Kedangkalan (disebut juga
banalisme) ini dapat dilihat misalnya dengan muncul dan berkembangnya teknologi
memberikan kemudahan hidup, tetapi manusia menjadi kehilangan makna hidup
(karena kemudahan tersebut), pertemanan dalam Friendster maupun Facebook
adalah pertemanan yang semu dan hanya sebatas ngobrol (chatting), tanpa dapat menangis dan berjuang bersama sebagaimana
layaknya seorang sahabat yang sesungguhnya. Kedangkalan atau banalisme ini juga
terlihat dari semakin banyak orang yang tidak mau berpikir, merenung,
berefleksi, dan bersikap kritis. Sifat-sifat seperti keseriusan, autentisitas,
realisme, kedalaman intelektual, dan narasi yang kuat cenderung diabaikan. Hal
ini menimbulkan kecenderungan bahan atau budaya yang buruk akan menyingkirkan
bahan atau budaya yang baik, karena lebih mudah dipahami dan dinikmati. Akan
muncul generasi yang ‘tidak mau pakai otak secara maksimal’.
Kedangkalan juga dapat dilihat
dalam seni, misalnya: koor gereja yang suci yang dulu hanya diperdengarkan di
katedral-katedral, sekarang dapat disimpan di dalam bentuk pita rekaman yang
dibunyikan kembali di kamar tidur sebagai lagu pengantar tidur. Demikian juga
lukisan unik yang dahulu direnungkan secara khimat dan devosional sekarang dapat diperbanyak secara mekanis menjadi
foto-foto yang dapat digantung di dinding mana pun. Kita dapat melihat
contoh-contoh lainnya seperti koran yang dulu penuh dengan berita luar negeri
dan dunia, sekarang banyak diisi dengan gosip-gosip mengenai selebritis,
mengenai tren pakaian wanita muda, dapat hal-hal dangkal lainnya. Televisi juga
telah menggantikan drama-drama dan film-film yang berkualitas tinggi dengan
acara masak-memasak, opera sabun dan program-program “gaya hidup” yang lain.
9)
Hibrid
Sesuai dengan tujuan teknologi,
yaitu mempermudah hidup, muncullah sifat hibrid, yang memadukan semua kemudahan
yang ada dalam sebuah produk, misalnya: telepon seluler yang sekaligus
berfungsi sebagai media internet, alarm, jam, kalkulator, video, dan kamera;
demikian juga ada restoran yang sekaligus menjadi tempat baca dan perpustakaan
bahkan outlet pakaian.
10)
Penyeragaman
Rasa
Hampir di setiap tempat di seluruh
penjuru dunia, monokultur Amerika terlihat semakin mendominasi. Budaya tunggal
semakin berkembang, keragaman bergeser ke keseragaman. Penyeragaman rasa ini
baik mencakup konsumsi barang-barang fiskal, non-fiskal sampai dengan ilmu
pengetahuan. Keseragaman ini dapat dilihat dari contoh seperti: makanan cepat
saji (fast food), minuman ringan (soft drink), dan celana jeans yang dapat
ditemukan di negera manapun. Keseragaman ini juga dapat dilihat dari hilangnya
oleh-oleh khas dari suatu daerah, misalnya: empek-empek Palembang dapat
ditemukan di daerah lain selain Palembang seperti Jakarta, Medan dan Lampung.
11)
Budaya
Hiburan
Budaya hiburan merupakan ciri yang
utama dari budaya populer di mana segala sesuatu harus bersifat menghibur.
Pendidikan harus menghibur supaya tidak membosankan, maka muncullah edutainment. Olah raga harus menghibur,
maka muncullah sportainment.
Informasi dan berita juga harus menghibur, maka muncullah infotainment. Bahkan muncul juga religiotainment, agama sebagai sebuah hiburan, akibat perkawinan
agama dan budaya populer. Hal ini dapat dilihat sangat jelas khususnya ketika
mendekati hari-hari raya keagamaan tertentu. Bahkan kotbah dan ibadah harus
menghibur jemaat supaya jemaat merasa betah. Bisnis hiburan merupakan bisnis
yang menjanjikan pada masa seperti saat ini. Hal ini dapat dilihat dari contoh
taman hiburan Disney di seluruh dunia yang memperoleh pendapatan 3,3 milyar
dolar AS, sementara pendapatan Disney per tahun adalah 7,5 milyat dolar AS,
dengan pendapatan dari film 3,1 milyar dolar AS dan produk-produk konsumennya
(dihubungkan dengan taman hiburan dan film) memperoleh pendapatan 1,1 milyar
dolar AS.
12)
Budaya
Konsumerisme
Budaya populer juga berkaitan erat
dengan budaya konsumerisme, yaitu sebuah masyarakat yang senantiasa merasa
kurang dan tidak puas secara terus menerus, sebuah masyarakat konsumtif dan
konsumeris, yang membeli bukan berdasarkan kebutuhan, namun keinginan, bahkan
gengsi. Semua yang kita miliki hanya membuat kita semakin banyak “membutuhkan,”
dan semakin banyak yang kita miliki semakin banyak kebutuhan kita untuk
melindungi apa yang sudah kita miliki. Misalnya, komputer “membutuhkan”
perangkat lunak, yang “membutuhkan” kapasitas memori yang lebih besar, yang
“membutuhkan” flash disk dan hal-hal
lain yang tidak berhenti berkembang. Ketika kita sudah memiliki memori yang
besar, kita ingin memori yang lebih besar lagi supaya komputer kita dapat
bekerja lebih cepat. Barang-barang tersebut memperbudak manusia sepanjang
hidupnya agar mampu mendapatkannya. Kemudian ada saatnya seseorang mengeluh
kalau dia tidak lagi dapat menikmati “miliknya” yang dirasakannya malah memilikinya
dan tidak lagi terasa sebagai miliknya. Industri budaya massa bersentuhan
dengan kesalahan dan bukan dengan kebenaran, dengan kebutuhan-kebutuhan dan
solusi-solusi palsu dan bukan dengan kebutuhan-kebutuhan dan solusi-solusi
riil. Bahkan kedangkalan yang disebabkan budaya populer dan budaya massa
membuat kita tidak dapat membedakan dengan jelas manakah kebutuhan semu dan
kebutuhan asli. Misalnya: apakah mesin cuci merupakan kebutuhan semu atau
kebutuhan asli?
Hal tersebut juga disebabkan oleh
iklan yang semakin berkembang di zaman ini dengan tujuan menciptakan rasa ingin
(want), walaupun sesuatu yang
diiklankan itu mungkin tidak dibutuhkan (need).
Misalnya: banyak orang muda yang membeli telepon seluler blackberry yang mahal harganya hanya karena trend, bukan karena
kebutuhan yang mendesak karena pekerjaannya menuntut perlunya pemakaian telepon
selular seperti itu. Hal yang serupa juga dapat dilihat dari maraknya
penggunaan facebook di kalangan
remaja dan orang muda saat ini. Sebuah benda juga dibeli bukan lagi karena
kegunaannya tetapi karena trend, bahkan gengsi (membelikan status sosial dan
bahkan rasa penerimaan diantara teman-teman yang juga memakai benda yang sama).
Maka semakin banyak iklan produk sebuah barang yang memakai ikon artis atau
bintang terkenal, bukan penjelasan deskriptif persuasif mengenai kegunaan
barang itu.
Thorstein Veblen, seorang sosiolog
Amerika, dalam bukunya yang berjudul The
Theory of Leisure Class (terbit pertama kali pada 1899), mengidentifikasi
kelas borjuis baru yang punya banyak waktu luang di Amerika. Mereka menggunakan
konsumsi untuk mendefinisikan diri dan status mereka. Alih-alih menggunakan
cara-cara tradisional untuk mengartikulasikan status–misalnya dengan kerja dan
jabatan,–mereka mengartikulasikan status melalui apa yang disebut Veblen
sebagai ‘konsumsi yang menyolok mata.’ Identitas individu diberikan oleh
produk-produk bermerek dan bergantung kepada apa yang dipakai, sehingga manusia
menjadi hamba materi.
Konsumerisme muncul pada akhir
1950-an dan awal 1960-an – momen ‘konsumsi massa’ – hakikat konsumsi berubah
secara mendasar. Pada periode ini, untuk pertama kali terdapat kemakmuran
relatif yang memadai bagi para pekerja untuk mengkonsumsi berdasarkan
keinginan, bukan berdasarkan kebutuhan, misalnya: membeli beberapa mobil,dan
liburan ke luar negeri. Selain itu, periode ini menandai munculnya para pekerja
yang menggunakan pola-pola konsumsi untuk mengartikulasikan rasa identitas. Konsumerisme
ini menawarkan janji bahwa konsumsi adalah jawaban bagi semua problem kita;
konsumsi akan membuat kita utuh lagi; konsumsi akan membuat kita penuh kembali;
konsumsi akan membuat kita lengkap lagi; konsumsi akan mengembalikan kita pada
kondisi ‘imajiner’ yang diliputi kebahagiaan.
Maka berbelanja sudah menjadi
sebuah gaya hidup dan budaya populer. Di Inggris dan Amerika, selain menonton
televisi, berbelanja merupakan aktivitas pengisi waktu luang yang paling
populer. Maka pada zaman ini menjamur banyak mal-mal, restoran, bioskop,
persewaan atau penjualan video (VCD, DVD, dll), tempat makan cepat saji,
tempat-tempat hiburan, butik, dan sebagainya. Walaupun gaya hidup berbelanja
ini bagi beberapa orang muda berarti berkumpul di pusat perbelanjaan lokal tanpa
membeli apa yang sedang dijual, melainkan hanya menggunakan ruang publik mal,
hanya untuk melihat-lihat atau dilihat-lihat. Di sisi lain, para produksen juga
berusaha menciptakan barang yang semakin canggih (makin cepat, makin keren,
dll), misalnya komputer yang semakin canggih, sehingga konsumer semakin merasa
komputer yang dimilikinya semakin lambat dan ketinggalan zaman, dan ingin
membeli yang baru. Hal tersebut mendorong para produsen melihat semua manusia
sebagai alat untuk mencapai sasaran mereka. Mulai dari anak-anak, remaja,
hingga orang tua dijadikan objek produk atau konsumen. Hal ini dapat dilihat
dalam contoh boneka Barbie. Mary Roger mengatakan bahwa boneka Barbie merupakan
model busana remaja dan lambang fenomena konsumerisasi anak-anak, sebuah proses
transformasi anak-anak menjadi konsumen.
Ideologi konsumerisme, yaitu
sugesti bahwa makna kehidupan kita harus kita temukan pada apa yang kita
konsumsi, bukan pada apa yang kita hasilkan, telah merasuki anak-anak hingga
orang dewasa. Mungkin inilah satu satu penyebab mengapa tidak banyak inovasi
atau penemuan dalam zaman ini seperti penemuan-penemuan pada zaman sebelumnya
(misalnya: pesawat, komputer, mobil, radio, dan televisi.), yaitu karena
mentalitas memakai, bukan menghasilkan. J. I. Packer mengatakan bahwa
masyarakat zaman sekarang merupakan masyarakat yang lebih suka mempraktekan dan
mempromosikan belanja daripada menabung, kesenangan diri daripada pengembangan
diri, dan kesenangan diatas segalanya.
13)
Budaya
Instan
Segala sesuatu yang bersifat instan
bermunculan, misalnya: mie instan, kopi instan, makanan cepat saji, sampai
pendeta instan dan gelar sarjana theologis instan. Budaya ini juga dapat
dilihat dari semakin banyak orang ingin menjadi kaya dan terkenal secara
instan, sehingga banyak orang berlomba-lomba menjadi artis, dengan mengikuti
audisi berbagai tawaran seperti Indonesian
Idol, Indonesia Mencari Bakat, dan Kontes Dangdut Indonesia (KDI).
14)
Budaya
Massa
Karena pengaruh budaya populer,
individu melebur ke dalam massa, rasionalitas melebur ke dalam kenikmatan. Hal
ini disebabkan karena segala cara dipakai oleh para produsen untuk mencari
pasar baru, mengembangkan pasar yang ada atau paling tidak mempertahankan pasar
yang sudah ada sejauh memberikan keuntungan dan memasarkan produk mereka
semaksimal mungkin. Sifat kapitalisme ini membawa masyarakat menjadi massa,
artinya masyarakat dilebur dari batas-batas tradisionalnya menjadi satu massif
konsumsi. Maka muncullah berbagai produk yang diproduksi secara massa yang
sering mengabaikan kualitas produknya.
Budaya
massa adalah budaya populer yang dihasilkan melalui teknik-teknik industrial
produksi massa dan dipasarkan untuk mendapatkan keuntungan dari khalayak
konsumen massa. Budaya massa ini berkembang sebagai akibat dari
kemudahan-kemudahan reproduksi yang diberikan oleh teknologi seperti
percetakan, fotografi, perekaman suara, dan sebagainya. Akibatnya musik dan
seni tidak lagi menjadi objek pengalaman estetis, melainkan menjadi barang dagangan
yang wataknya ditentukan oleh kebutuhan pasar.
15)
Budaya
Visual
Budaya populer juga erat berkaitan
dengan budaya visual yang juga sering disebut sebagai budaya gambar atau budaya
figural. Oleh sebab itu, pada zaman sekarang kita melihat orang tidak begitu
suka membaca seperti pada zaman modern (budaya diskursif/kata). Pada zaman
sekarang orang lebih suka melihat gambar, itulah sebabnya industri film,
animasi dan kartun serta komik berkembang pesat pada zaman ini.
16)
Budaya
Ikon
Budaya ikon erat kaitannya dengan
budaya visual. Muncul banyak ikon budaya yang berupa manusia sebagai Madonna,
Elvis Presley, Marlyn Monroe, Michael Jackson, dan sebagainya; maupun yang
berupa artefak seperti Patung Liberty, Menara Eiffel, dan sebagainya, termasuk
juga ikon merek seperti Christian Dior,
Gucci, Rolex, Blackberry, Apple, Ferrari, Mercedes, dan
sebagainya.
17)
Budaya
Gaya
Budaya visual juga telah
menghasilkan budaya gaya, di mana tampilan atau gaya lebih dipentingkan
daripada esensi, substansi, dan makna. Maka muncul istilah “Aku bergaya maka
aku ada.” Maka pada budaya ini, penampilan (packaging)
seseorang atau sebuah barang (branding)
sangat dipentingkan.
18)
Hiperealitas
Hiperealitas (hyper-reality) atau realitas yang semu (virtual reality), telah menghapuskan perbedaan antara yang nyata
dan yang semu/imajiner, bahkan menggantikan realitas yang asli. Hiperealitas
menjadi sebuah kondisi baru di mana ketegangan lama antara realitas dan ilusi,
antara realitas sebagaimana adanya dan realitas sebagaimana seharusnya menjadi
hilang. Menjadi hiper berarti menjadi
cair, bukan melampaui atau memisahkan, opisi lama. Ketika garis batas antara
yang nyata dan yang imajiner terkikis, realitas tidak lagi diperiksa, untuk
membenarkan dirinya sendiri. Realitas ini lebih “nyata daripada yang nyata”
karena telah menjadi satu-satunya eksistensi. Realitas semu ini dapat dilihat
pada permainan tomagochi atau hewan
peliharaan semu (virtual pet),
penggunaan stimulator (untuk permainan, untuk latihan mengemudikan pesawat dan
mobil), permainan video, dan sebagainya.
Menurut seorang kritikus media,
Mark Crispin Miller, tujuan televisi adalah membuat anda tetap menatapnya,
sehingga media itu dapat bergerak “mengotakkan” para pemirsa, di dalam atau di
luar rumah, menggantikan realitas mereka dengan realitas televisi. Maka dunia
realitas yang semu seperti televisi, film, komik, dan yang sejenisnya akan
mengimbangi, bahkan mengambil alih dunia realitas yang nyata. Gambar-gambar
komputer, TV, permainan video, komik, dan yang sejenisnya memberikan rangsangan-rangsangan
yang berpotensi dapat menggantikan rangsangan-rangsangan nyata. Dunia yang
nyata dengan segala rutinitas (misalnya pekerjaan) terasa membosankan, sehingga
manusia memerlukan dunia yang lain sebagai pelarian. Misalnya: kita dapat
melihat bahwa semakin banyak orang yang ketika hari libur tiba, mereka pergi
kepada tempat-tempat wisata atau hiburan seperti Disney Land atau Dunia Fantasi (untuk mengurangi stress karena
pekerjaan atau beban hidup dan rekreasi keluarga misalnya). Bahkan Jenderal
Schwarkopf, ahli strategi hebat dalam perang Teluk merayakan kemenangannya
dengan mengadakan pesta besar di Disney
World.
19)
Hilangnya
Batasan-batasan
Budaya popular menolak segala
perbedaan dan batasan yang mutlak antara budaya klasik dan budaya salon, antara
seni dan hiburan, yang ada antara budaya tinggi dan budaya rendah, iklan dan
hiburan, hal yang bermoral dan yang tidak bermoral, yang bermutu dan tidak
bermutu, yang baik dan jahat, batasan antara yang nyata dan semu, batasan
waktu, dan sebagainya. Perbedaan-perbedaan tersebut tidak lagi memiliki arti
yang nyata. Perbedaan-perbedaan dan batasan-batasan tersebut ternyata hanya
dimanipulasi untuk alasan-alasan pemasaran. Akibatnya, tidak berbeda dengan es
krim, burger, dan hal yang lain. Musik dan karya seni yang lain juga dapat
ditanggapi sebagai objek sensual oleh para pendengar positif, yang “ketika
bereaksi, tidak lagi membedakan apakah reaksi itu kepada Simfoni Ketujuh
Beethoven atau kepada sepotong bikini.”
2.3 Beberapa Wujud
Budaya Populer di Sekitar Kita
1)
Skinny Jeans ( Celana Jeans Ketat ) dan Rambut Mohawk
Celana jeans ketat atau yang biasa
disebut skinny jeans awalnya berasal dari kalangan kaum punk yang mengekspresikan perlawanan
terhadap suatu kemapanan. Punk juga dikenal sebagai gerakan anak muda kelas pekerja
di Amerika yang mengalami masalah ekonomi dan keuangan, kemerosotan moral para
tokoh politik, lalu memicu tingkat pengangguran dan kriminalitas yang tinggi.
Punk dipandang sebagai satu-satunya pilihan bagi mereka yang sudah kehilangan
kepercayaan terhadap otoritas negara, masyarakat, maupun industri music. Kini punk
dikenal sebagai fashion, seperti potongan rambut mohawk ala suku Indian, atau
dipotong ala feathercut dan warna-warna yang terang, sepatu boots, rantai dan
spike, jaket kulit, celana jeans ketat dan baju yang lusuh, anti kemapanan,
anti sosial, kaum perusuh dan kriminal dari kelas rendah, dan pemabuk
berbahaya. Beberapa dari fashion atau gaya berbusana dari anak punk tersebut
digunakan oleh sejumalah public figure
atau dari kalangan selebritis seperti rambut mohawk dan celana jeans ketat.
Pengaruh media massa dalam menampilkan selebritis dengan menggunakan gaya
berbusana dan gaya rambut seperti ini menjadi sumber inspirasi para idolanya
untuk menunjukkan jati diri mereka dengan menggunakan gaya yang sama.
2)
Fast Food
atau Makanan Cepat Saji
Fast Food atau makanan cepat saji yang pada awalanya berupa roti
yang berisi daging dengan acar dan mayonnaise atau biasa sisebut sebagai
hamburger merupakan makanan para pekerja tambang di Amerika Serikat, namun
karena seiring dengan perkembangan zaman, kedai yang menjual makanan cepat saji
atau fast food menjadi sebuah industri besar yang bergerak dibidang kuliner.
Industri ini tersebar diseluruh belahan dunia bahkan hampir di setiap negara
terdapat industry makanan cepat saji ini seperti halnya di Indonesia yakni KFC,
CFC, McDonald, dan berbagai nama industry lainnya. Keberadaan toko makanan
tersebut mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat, khusunya masyarakat
Indonesia. Banyak orang yang suka makan ke sana, karena ke-instanan-nya selain
itu dibanding dengan memasak makanan sendiri yang jauh lebih merepotkan dan
memakan banyak waktu atau dengan makan makanan fast food akan menaikkan gengsi
sosial kita di kalangan masyarakat. Keberdaan fast food ini merupakan wujud
budaya populer karena banyak orang yang menyukai makanan seperti itu meskipun
keberadaan fast food atau makanan cepat saji ditentang oleh banyak ahli gizi
yang menyatakan bahwa dengan banyak makan di tempat-tempat yang menyediakan
fast food akan meningkatkan kolesterol, bahkan pemerintah Italia mulai
menggalakkan program low food yang diharapkan mampu memberikan dampak kesehatan
yang nyata bagi masyarakat.
3)
Lagu-lagu
Cinta
Musik merupakan hal yang tidak lepas dari adanya budaya populer.
Lagu-lagu yang di boomingkan pada saat ini merupakan wujud dari budaya populer,
temanya didominasi leh cinta, dan liriknya lebih mudah di cerna oleh pemikiran
pendengar langsung. Kemudahan pencernaan lirik lagu inilah yang merupakan salah
satu wujud dari budaya populer. Kalangan remaja menjadi objek atau pangasa
pasar dari lagu-lagu dengtan lirik yang midah dicerna tersebut. Bila
dibandingkan dengan lagu-lagu lama dengan tema yang sama, reamaja zaman
sekarang kebanyakan akan lebih menyukai lagu-lagu cinta pada saat ini karena
lriknya lebih mudah dipahami sehingga mereka lebih mudah mengaitkan dengan
kehidupan pribadi mereka.Popularitasnya yang sangat besar sehingga kadang,
lagu-lagu yang bertemakan cinta ini didengarkan oleh anak-anak yang berusia
dibawah sepuluh tahun, yang seharusnya mereke lebih cocok mendengarakan
lagu-lagu anak-anak atau bahkan lagu-lagu nasional untuk lebih meningkatkan
semanagt mereka terutama dalam menuntut ilmu ketimbang lagu yang bertema
cinta-cintaan yang kurang mendidik.
Bab III
Kesimpulan
1)
Budaya
populer merupakan sebuah konsep yang menghasulkan suatu produk yang disebut
produk budaya populer yang banyak disukai orang. Keberadaan budaya populer
sendiri merupakan wujud perlawanan terhadap kemapanan nilai-nilai budaya tinggi
yakni budaya yang dihasilkan oleh kaum-kaum intelektual. Namun kini budaya
populer sudah tidak lagi dianggap sebagai budaya rendahan karena kaum
intelektual pun telah terpapar oleh produk budaya poluler.
2)
Adanya
cukup banyak karakteristik budaya populer, salah satunya adalah menumbuhkan
semangat konsumerisme. Hal ini sreharusnya dapat kita control dengan
oengetahuan yang kita dapat. Terpaan budaya populer serndiri juga tidak bisa
lepas dari pengaruh media massa, maka dari itu kita harus terus melakukan
filterisasi terhadapa tayangan-tayangan yang kita saksikan melalui media massa,
baik itu berupa acara berita, sinetron maupun musik dengan tujuan produk budaya
populer tersebut tidak mengganti atau mengubah kepribadian kita.
Daftar Pustaka
Komentar