BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Indonesia merupakan
salah satu negara kepulauan terbesar di dunia. Letak geografis Indonesia berada
diantara dua samudra yaitu samudra Hindia dan samudra Pasifik dan berada di
antara dua benua yaitu benua Asia dan benua Australia serta terletak di garis
khatulistiwa. Salah satu keunikan dari Indonesia adalah banyaknya suku dan
etnis yang ada di Indonesia. Kebanyakan pulau terdiri dari beberapa multi etnis
baik yang berjumlah besar maupun yang berjumlah kecil pada setiap geografis
lokasi. Sebuah kota besar terdiri dari beberapa multi etnis baik yang dominan
maupun imigran yang datang dari negara lain. Sehingga menghadapi keberagaman
ini menjadi sebuah aktivitas sehari-hari dalam kalangan masyarakat Indonesia.
Tionghoa merupakan
salah satu suku yang ada di Indonesia, sejak mereka masuk dan menjadi
masyarakat di Indonesia mereka disebut sebagai China Indonesia / Tionghoa
Indonesia. Pertama kali mereka datang ke Indonesia adalah dengan tujuan untuk
berdagang dan bertransaksi dengan warga Indonesia. Bagaimanapun, hubungan
antara warga asli Indonesia dengan orang Tionghoa banyak dipengaruhi oleh
Belanda (pada abad ke 19) dan kebijakan pemerintah Indonesia.
Pada masa kolonialisme
Belanda, ia membuat klasifikasi rasial untuk membedakan warga kulit putih
(termasuk Jepang) dari kelas dua “oriental
people” dan kelas tiga yaitu masyarakat pribumi yang mana pengelompokan itu
tidak bisa diterima masyarakat pribumi. Hal ini menjadi halangan asimilasi suku
Tionghoa dan membentuk eklusivitas suku Tionghoa. Hal inilah yang membentuk
Chinatown menjadi pemisahan dalam bentuk fisik. Sikap demikian menjadi
pandangan tersendiri bagi masyarakat pribumi sehingga melarang setiap suku
Tionghoa memiliki lahan pertanian. Kebijakan ini justru menjadi stimulus bagi
kegiatan perdagangan yang dominan bagi suku Tionghoa di negara Indonesia.
Adanya
stereotipe-stereotipe negatif tentang peran ekonomi suku Tionghoa dalam
masyarakat akan mendominasi perekonomian di Indonesia, khususnya stereotipe
negatif yang berhubungan dengan peran ekonomi mereka dengan alasan akan
berdampak pada penjajahan kembali pada bangsa Indonesia.
Tekanan politik pada
masa rezim orde baru yang mana melarang suku Tionghoa untuk masuk ke dalam
dunia politik, akademik, dan militer. Sebagaimana hasilnya, mereka menjadi kuat
dalam ber-entrepeneur dan profesional
manager dalam perdagangan, manufacturing
dan banking.
Seperti yang dicatat
oleh fujitsu research di tokyo (naisbitt, 1997:19-20) yang mengamati daftar
perusahaan-perusahaan di 6 (enam) negara kunci di asia, didalamnya di gambarkan
betapa perusahaan-perusahaan tersebut secara mayoritas dikuasai oleh suku
Tionghoa perantauan misalnya, Thailand sebanyak 81%, Singapura sebanyak 81% di
Indonesia sebanyak 73% dan lain-lain.
Sampai sekarang kita
bisa melihat bahwa peran Tionghoa Indonesia dalam bidang ekonomi dan bisnis
sangatlah tinggi. Mereka adalah orang-orang Indonesia yang memiliki jumlah
kekayaan terbesar. Pengusaha, konglomerat dan orang-orang terkaya sebagian
besar adalah berasal dari suku Tionghoa. Oleh karena itu, tulisan ini mencoba
menjawab bagaimana peranan suku Tionghoa dalam pertumbuhan bisnis Indonesia
melalui titik pandang budaya.
1.2.
Permasalahan
1.
Apakah keturunan suku Tionghoa masih memegang
teguh nilai-nilai dan prinsip kebudayaan nenek moyangnya ?
2.
Apakah berdagang termasuk dalam kebudayaan suku
Tionghoa ?
3.
Apa prinsip keberhasilan suku
Tionghoa dalam membangun usaha
terutama di Indonesia ?
4.
Bagaimana strategi suku Tionghoa dalam membangun
bisnis di negara Indonesia?
5.
Mengapa suku Tionghoa bisa menguasai perdagangan
dan perekonomian Indonesia?
1.3.
Tujuan
1.
Mempelajari awal mula kedatangan suku
Tionghoa ke Indonesia.
2.
Mempelajari bagaimana cara suku Tionghoa memagang
teguh budayanya
3.
Meneliti kebudayaan dan kebiasaan berdagang suku
Tionghoa
4.
Mendeskripsikan prinsip bisnis suku
Tionghoa
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Kebudayaan
Kebudayaan sangat
erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw
Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat
ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah
untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.
Herskovits memandang
kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi
yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic.
Menurut Andreas
Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,norma sosial,
ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan
lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang
menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Menurut Edward
Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya
terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan
kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
Menurut Selo
Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa,
dan cipta masyarakat.
Dari berbagai
definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan adalah
sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau
gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari,
kebudayaan itu bersifat abstrak.
Sedangkan
perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai
makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata,
misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial,
religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia
dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
2.2. Suku Tionghoa
Suku
Tionghoa atau China adalah suku bangsa
perantau atau pendatang dari negeri China yang datang ke Indonesia dengan
tujuan berdagang maupun bermigrasi (Trianisa, 2007). Menurut Kinasih (2005), suku Tionghoa adalah
pendatang yang mengalami interaksi etnisitas paling problematik dibandingkan
dengan etnis India, Arab dan beberapa etnis kecil pendatang lainnya. Menurut
Vasanty (dalam Koentjaraningrat, 2007) orang Tionghoa adalah kelompok orang
yang berasal dari berbagai suku bangsa di daerah negara China yang salah
satunya berasal dari dua provinsi yaitu Fukien dan Kwangtung. Suku-suku bangsa
dari daerah tersebut adalah Hokkien, Teo-Chiu, Hakka dan Hakka dan Kanton.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa etnis Tionghoa adalah suku
bangsa perantau yang berasal di daerah negara China yang datang ke Indonesia
dengan tujuan bermigrasi ataupun berdagang.
·
Ciri-ciri
Suku Tionghoa
Vasanty (dalam Koentjaraningrat, 2007) membagi suku Tionghoa
dalam dua golongan, yaitu :
a.
Suku Tionghoa Peranakan
Suku Tionghoa peranakan adalah seorang suku Tionghoa yang
lahir di Indonesia dan hasil dari perkawinan campuran antara orang Tionghoa
asli dengan orang Indonesia, yang dimana suku Tionghoa peranakan yang dalam
banyak unsur kehidupannya telah menyerupai orang Jawa yang telah lupa akan
bahasa asalnya dan dalam ciri-ciri fisiknya sering juga sudah menyerupai orang
Indonesia asli.
b.
Suku Tionghoa Totok
Suku Tionghoa totok adalah seorang suku Tionghoa yang bukan
hanya lahir di negara Tionghoa tetapi bisa juga lahir di Indonesia. Orang suku Tionghoa
totok yang ada di Indonesia kulturasi budayanya masih sama seperti yang berada
di negara China yang dimana belum bisa berbahasa Indonesia tetapi bicara bahasa
Hokkien asli atau bahasa asalnya. Ciri-ciri fisiknya masih sama seperti orang
Tionghoa negara asalnya.
Dari
kedua penggolongan suku Tionghoa tersebut mereka sama-sama memiliki sifat yang ulet,
rajin, optimis serta tahan uji, terutama dalam hal perdagangan atau
berwirausaha (Vasanty dalam Koentjaraningrat, 2007).
2.3. Mata Pencaharian Suku Tionghoa
Sebagian
besar dari orang Tionghoa memang hidup dari perdagangan dan sebagian besar dari
mereka berasal dari suku Hokkien. Orang Tionghoa dari suku Hakka banyak yang
menjadi pedagang tetapi banyak juga yang menjadi pengusaha industri kecil.
Orang Tionghoa dari suku Teo-Chiu rata-rata bekerja sebagai petani dan penanam
sayur-sayuran serta perkebunan tembakau. Sedangkan orang Tionghoa suku Kanton
dan Kwong Fu lebih dari 40 persen adalah mempunyai perusahaan -perusahaan
dagang hasil bumi (Vasanty dalam Koentjaraningrat, 2007). Suku Tionghoa Hokkien
yang berasal dari daerah Fukien Selatan ialah imigran terbesar di negara-negara
Asia pada abad ke-19. Mereka mempunyai sifat dagang yang kuat, karena daerah
asal mereka dikenal sebagai pusat dagang (Noordjanah, 2007). Berdagang dan berusaha memang merupakan suatu mata
pencaharian hidup yang paling penting bagi orang Tionghoa (Vasanty dalam
Koentjaranigrat, 2007) .
2.4. Motivasi Berwirausaha pada Suku Tionghoa
Data
statistik tahun 1930 memperlihatkan bahwa secara persentase di Indonesia lebih
banyak orang Tionghoa berkecimpung dalam kegiatan perdagangan dibandingkan
dengan orang pribumi atau Eropa (Suryadinata, 1984). Dalam konteks budaya,
masyarakat suku Tionghoa selain mengambil strategi ekonomi dari nenek moyang,
mereka sekaligus mengadopsi sistem ekonomi yang berlaku di dunia modern. Pola
penyesuaian dengan lingkungan budaya mereka tinggal merupakan ciri dari budaya
bisnis yang diturunkan dari peradaban China. Demikian juga sumber daya manusia
yang memadai menjadikan mereka sangat unggul. Dengan semangat dan sumber daya China
yang handal, pengusaha suku Tionghoa mampu menjalankan bisnisnya sehingga
hampir 80% perekonomian Indonesia (Usman, 2009). Banyak pengusaha-pengusaha
sukses justru adalah orang Tionghoa atau keturunan Tionghoa, meskipun suku
Tionghoa jumlahnya minoritas. Ciri-ciri positif budaya suku Tionghoa dalam
perilaku pengusaha antara lain adalah teguh memegang janji, ulet berusaha,
tekun, hemat dan kokohnya solidaritas kelompok. Perilaku-perilaku yang juga
menonjol dalam dunia usaha adalah mementingkan hubungan antar pribadi, saling
percaya, mereka tidak melakukan negosiasi jika tidak yakin apa yang
dilakukannya, menjunjung tinggi kenikmatan hidup serta selalu mempelajari
situasi demi strategi yang tepat (Mariza dalam Aurora, 2003).
Hal-hal
yang dipandang positif bagi kelompok suku Tionghoa yang berpengaruh terhadap
perilaku usaha antara lain adalah baik untuk mempunyai tujuan, mengatur
perencanaan yang baik, tidak takut gagal, berjuang tanpa henti akan ide kreatif
dan inovatif, serta memikirkan masa depan secara matang. Etos kerja mereka dipengaruhi
ajaran Konfusius, yang menekankan bahwa keseriusan dan kerajinan sebagai aspek
penting dalam hidup (Mariza dalam Aurora, 2003).
Di samping itu
keunggulan suku Tionghoa dalam berbisnis lebih disebabkan mereka ulet dan tekun
serta tahan menderita sekaligus sangat pandai menyesuaikan diri dengan
lingkungan mereka hidup. Pengusaha suku Tionghoa sangat berpengalaman, berani
dan dapat memahami peluang yang ditawarkan pasar serta membuat jaringan bisnis
(Usman, 2009).
Nasution
(2006) mengemukakan bahwa dalam berwirausaha yang paling perlu dikembangkan
adalah motif berprestasi. Persaingan yang ketat dalam berwirausaha menuntut
kemauan keras serta kesanggupan berpacu dalam keunggulan. Motif berafiliasi
juga perlu diperhatikan karena wirausaha harus pandai meningkatkan kemampuan
manajerial, menggerakkan orang lain dengan sebaik-baiknya, yaitu yang dilandasi
dengan hubungan antar sesama yang baik.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Asal Mula Suku
Tionghoa Indonesia
Tionghoa
adalah salah satu suku di Indonesia. Orang Tionghoa-Indonesia
mayoritas berasal dari China selatan yang menyebut diri mereka sebagai orang Tang. Orang dari
Tiongkok daratan telah ribuan tahun mengunjungi dan mendiami kepulauan Nusantara.
Beberapa catatan tertua ditulis oleh para agamawan, seperti Fa Hien
pada abad
ke-4
dan I
Ching pada abad
ke-7.
Fa Hien melaporkan suatu kerajaan di Jawa ("To
lo mo") dan I Ching ingin datang ke India
untuk mempelajari agama Buddha dan singgah dulu di
Nusantara untuk belajar bahasa
Sansekerta dahulu. Di Jawa
ia berguru pada seseorang bernama Jñânabhadra.
Dengan
berkembangnya kerajaan-kerajaan di Nusantara, para imigran Tiongkok pun mulai
berdatangan. Leluhur orang Tionghoa-Indonesia
berimigrasi secara bergelombang sejak ribuan tahun yang lalu melalui kegiatan
perniagaan.
Sebenarnya
ada 4 kelompok Tionghoa yang telah menetap di Indonesia. Ini adalah 4 kelompok
berdasarkan bahasa dan daerah asal di China. Namun, bagi masyarakat Indonesia 4
kelompok itu tidaklah menjadi hal yang penting, karena mereka jauh lebih
dikenal sebagai kelompok Tionghoa Indonesia atau “peranakan” dan China asli.
Setelah negara Indonesia merdeka, orang Tionghoa yang
berkewarganegaraan Indonesia digolongkan sebagai salah satu suku dalam lingkup
nasional Indonesia, sesuai Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia.
3.2. Populasi Suku Tionghoa di Indonesia
Berdasarkan
Volkstelling ( sensus
) di masa Hindia Belanda, populasi Tionghoa - Indonesia mencapai 1.233.000 ( 2,03%
) dari penduduk Indonesia di tahun 1930. Tidak ada data resmi mengenai jumlah
populasi Tionghoa di Indonesia dikeluarkan pemerintah sejak Indonesia merdeka.
Namun ahli antropologi Amerika, G.W. Skinner, dalam risetnya pernah
memperkirakan populasi masyarakat Tionghoa di Indonesia mencapai 2.505.000 ( 2,5%
) pada tahun 1961.
Dalam
sensus penduduk
pada tahun 2000, ketika untuk pertama kalinya responden sensus ditanyai
mengenai asal etnis mereka, hanya 1% dari jumlah keseluruhan populasi Indonesia
mengaku sebagai Tionghoa. Perkiraan kasar yang dipercaya mengenai jumlah Suku
Tionghoa - Indonesia saat ini ialah berada di antara kisaran 4% - 5% dari
seluruh jumlah populasi Indonesia. Pada tahun 2006 diperkirakan jumlah penduduk
Tionghoa di
Indonesia sebanyak 7.670.000 jiwa.
Dan dinyatakan
bahwa 26,45% dari jumlah seluruh warga Suku Tionghoa di Indonesia, tinggal di
Jakarta yaitu 460.002 orang ( 5.53% dari seluruh penduduk Jakarta ).
3.3. Suku Tionghoa dan Budaya Berdagang
Budaya
berdagang adalah hasil karya, cipta, dan rasa manusia dalam kegiatan jual beli,
yakni dimana penjual menawarkan produk yang dijualnya kepada pembeli. Dalam hal
ini, budaya meliputi kaidah-kaidah, nilai-nilai, ajaran, teori, dan aturan
aturan yang membentuk dan terwujud dalam perilaku manusia.
Hopeng,
Hongsui dan Hokki. Ketiga nilai tradisional Tionghoa ini sangat berpengaruh
baik dalam kehidupan sosial maupun aktivitas ekonomi dimanapun mereka berada.
Ketiga nilai ini merupakan kepercayaan dan mitos yang diyakini orang Tionghoa
dalam menjalankan kehidupan dan berbagai usaha yang mereka tekuni. Melihat
secara jernih nilai-nilai dalam praktek bisnis Tionghoa ini akan menunjukkan
betapa suatu nilai kebudayaan bisa berperan dalam siasat ekonomi politik dan
mampu menunjukkan hasil yang luar biasa.
3.3.1.
Hopeng
Hopeng adalah
cara untuk menjaga hubungan baik dengan relasi bisnis. Bagi orang Tionghoa,
hubungan dengan relasi sangat penting. Sebagian besar usaha orang Tionghoa
berasal dari keluarga atau teman-teman dekat. Sebagaimana ditulis Vleming,
peneliti mengenai perilaku dagang masyarakat Tionghoa di Hindia Belanda sebelum kemerdekaan, “Selama berabad-abad
bangsa Tionghoa mempunyai pandangan bahwa individu adalah sebagian dari
keluarga, keluarga bagian dari klan, dan klan merupakan bagian dari bangsa.
Oleh karena itu, dapat dimengerti mengapa dalam berdagang pengusaha Tionghoa
selalu bermitra dengan anggota keluarga dan sahabatnya.”
Bentuk usaha
perkongsian (hui) tumbuh subur di kalangan Tionghoa karena dianggap sebagai bentuk yang
paling tepat untuk mewadahi kepentingan ekonomi keluarga, klan, atau bahkan
bangsa. Tujuan orang Tionghoa dalam mengepalai suatu kongsi atau perseroan
adalah untuk menggalang kerja sama dengan sesama anggota keluarga atau kawan
dekat mereka. Hopeng dalam hal ini berkisar seputar relasi keluarga, suku, dan
bangsa.
3.3.2.
Hongsui
Kepercayaan
terhadap hongsui adalah kepercayaan pada faktor-faktor alamiah yang menunjang
nasib baik dan buruk manusia. Hongsui menunjukkan bidang atau wilayah yang
sesuai dengan keberuntungan, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun
peruntungan perdagangan. Misalnya, peruntungan sebuah rumah memerlukan
perhitungan rumit dari para ahli hongsui agar rumah tersebut membawa rejeki
bagi yang menempatinya. Dengan teori geomancy, keberadaan sebuah
tempat disesuaikan dengan waktu dan suasana.
3.3.3.
Hokki
Nilai yang
satu ini masih memiliki kaitan dengan unsur hongsui. Hokki merupakan
peruntungan nasib baik. Para pengusaha Tionghoa memegang suatu konsep
pengelolaan resiko yang dilandasi dengan melakukan suatu pengelolaan nasib atau
takdir melalui hongsui, sehingga terlihat bahwa hokki ini tidak terpaku pada
sikap fatalistik. Hokki lebih dipersepsikan bagaimana menyiasati nasib agar
selalu mendapat nasib baik dan keuntungan.
Sistem yang
dianut oleh pengusaha dan pedagang Tionghoa di Indonesia, berakar kuat pada
sistem kongsi. Kongsi adalah suatu permufakatan antara dua orang atau lebih
untuk melakukan usaha secara bersama dengan tujuan menikmati secara bersama
manfaat / keuntungan yang diperoleh dari usaha itu. Titik berat tujuan kongsi
tersebut bagi masyarakat Tionghoa adalah
menumbuhkembangkan kehidupan perekonomiannya. Kongsi dilakukan antar keluarga,
masyarakat sekitar, atau dengan para pejabat demi menjaga keamanan dan
kelancaran usahanya. Misalnya, masyarakat Tionghoa menjalin hubungan dengan
penguasa, baik kolonial atau pribumi. Hubungan ini terjadi karena kesamaan
kepentingan, dimana pedagang Tionghoa memerlukan perlindungan dari hukum dan
pesaing dagang mereka, sementara penguasa membutuhkan uang untuk menjaga
prestise sosial mereka. Hubungan saling membutuhkan ini yang dijaga oleh orang Tionghoa
agar mereka bisa memanfaatkannya untuk mengembangkan aktivitas ekonomi mereka.
Etos kerja
masyarakat Tionghoa adalah etos yang luar biasa. Sejak kecil warga keturunan di
Indonesia selalu diajarkan untuk tahu diri karena mereka merupakan kaum
minoritas, sehingga dalam bertindak tidak boleh terlalu menonjol atau
berlebihan meminta bantuan kepada orang lain. Dalam pekerjaan, masyarakat Tionghoa harus mampu menguasai banyak jenis
pekerjaan, mulai dari yang paling mudah hingga yang paling sulit. Mereka
menanamkan suatu ideologi bahwa setiap usaha / pekerjaan tidak selalu permanen,
seperti layaknya roda berputar, suatu saat di atas, lain waktu di bawah. Modal
bagi masyarakat Tionghoa bukan
berupa uang saja, tapi juga berupa keterampilan, semangat, dan kepercayaan dari
relasi, yang kesemuanya itu akan membuahkan suatu hasil. Ajaran Konfusianisme
atau Kong Hu Chu sangat berpengaruh dalam membentuk perilaku dagang atau bisnis
masyarakat Tionghoa.
3.4. Prinsip Keberhasilan Pedagang
Tionghoa
Suku Tionghoa Indonesia
merupakan salah satu masyarakat keturunan Tionghoa yang
hidup di luar negara asalnya, mereka mendominasi kegiatan ekonomi wilayah di
asia termasuk Indonesia. Menguatnya jaringan-jaringan kerja lintas negara ini
mendominasi pula cara atau perilaku Suku Tionghoa di Indonesia dalam menyikapi
galobalisasi. Suku Tionghoa di Indonesia sebagian besar lebih siap menyongsong
globalisasi.
Keistimewaan perilaku
ekonomi Suku Tionghoa yang pertama
terletak pada jaringan sistem kerja yang kuat. Walaupun demikian sikap
kompetitif antara mereka tetap terpelihara secara sehat. Hal ini semakin
memperketat jaringan bisnis diantara mereka. Bahkan saat terjadi krisis ataupun
munculnya tantangan besar, mereka saling bekerja sama. Oleh sebab itu bisnis
keluarga menjadi salah satu ciri jaringan kerja yang mereka bentuk.
Perilaku hubungan
jaringan kerja antara Suku Tionghoa terbentuk karena pengalaman yang
mereka lalui. Sesama imigran Suku Tionghoa dimanapun berada saling menjaga dan
membantu pendatang-pendatang baru di bumi Nusantara yang mereka tempati sebagai
negara harapan. Manfaat dari adanya hubungan jaringan kerja yaitu:
·
Memaksimalkan “contact points” untuk ( informasi ) pekerjaan
·
Menyebarluaskan berita
termasuk tukar menukar berita, dan
·
Memperkuat dukungan
psikologis antar anggota.
Karakteristik lain yang
dimiliki Suku Tionghoa Indonesia adalah kemauan kerja kerasnya, keuletan,
kegigihan, ketekunan, sikap pantang menyerah, sikap tidak mudah puas dan
kebiasaan hidup hemat. Mereka mampu bekerja dalam waktu yang panjang dan jarang
beristirahat kecuali untuk hari besar mereka. Senantiasa menghasilkan uang,
sudah menjadi kebiasaan sekaligus kesenangan mereka. Setiap hari adalah untuk
bekerja dan menghasilkan banyak rejeki. Sesulit apapun keadaannya senantiasa
kerja keras dan pantang mundur.
Salah satu kesamaan
karakteristik antara Suku Tionghoa
Indonesia dengan masyarakat pribumi berkaitan dengan konflik adalah
sama-sama lebih menyukai penyelesaian perbedaan melalui negoisasi, dibandingkan
pemecahan konflik secara formal. Hal ini terlihat dari kentalnya jaringan kerja
yang telah menjadi kebiasaan Suku Tionghoa, tentunya kondisi ini menjawab
mengapa “guan xi” (kontak personal) menjadi penting dalam perilaku ekonomi
mereka.
Suku
Tionghoa Indonesia juga selalu menjunjung tinggi nilai kejujuran.
Dalam berdagang mereka lebih berani untuk mengambil keuntungan yang tipis
sehingga lebih banyak pembeli yang membelanjakan uang mereka di toko orang
Tionghoa. Berbeda dengan toko pribumi yang cenderung mengambil
keuntungan berlipat. Orang Tionghoa juga memiliki kecenderungan untuk membelanjakan uang
mereka di toko sesama orang Tionghoa dan lebih sering membeli produk buatan mereka sendiri
(swadeshi).
3.5. Suku Tionghoa dan Perdagangan di Indonesia
Bisnis
Indonesia Tionghoa sangat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah indonesia. Pada
massa orde baru Presiden Soeharto dinilai memulai
penekanan terhadap suku Tionghoa, melarang penggunaan tulisan Tionghoa, dan
menutup organisasi Tionghoa karena tuduhan simpati mereka terhadap komunis.
ketika jumlah mereka mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat
Indonesia, dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air.
Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai
pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh
komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan. Hingga akhirnya, pada
masa pemerintahan presiden Abdurahman Wahid mencabut kepres yang
mendeskriminasikan Suku Tionghoa serta ajakan bagi Suku Tionghoa untuk
menjalankan usahanya kembali ke atau di tanah air.
3.6.
Pusat Perdagangaan Suku Tionghoa di Jakarta, Indonesia
3.6.1. Pasar Glodok.
Dahulu di sepanjang kanal ini
masyarakat Tionghoa sering mengadakan lomba sampan atau
Peh Cun. Kanal ini juga digunakan sebagai sarana cuci dan mandi oleh
penduduk sampai sekitar tahun 1950-an ketika airnya masih belum tercemar
seperti sekarang. Sebelumnya kanal ini tidak lurus sepaerti sekarang namun
bentuknya berkelok-kelok, baru diluruskan pada tahun 1632. Bangunan yang kini
terlihat di kedua sisi kanal sebagian besar dibangun sejak sekitar tahun 1870
hingga awal abad abad 20. Namun ketika terjadi huru-hara pada tahun 1740 banyak
rumah di daerah ini yang hancur atau hangus dibakar, dan baru dibangun kembali
pasca kejadian tersebut. Arsitektur bangunan di daerah ini cukup unik dengan
bagian depan setiap bangunan yang memiliki canopy yang saling berhubungan
dengan bangunan di sebelahnya sehingga membentuk semacam koridor panjang yang
nyaman untuk pejalan kaki.
Di sisi Kali Besar, tepatnya Kali
Besar Timur V, terdapat sebuah bangunan berbata merah yang akrab disebut “Toko
Merah”. Dibangun oleh Gustaff Baron Van Imhoff, salah seorang Gubernur
Jendral VOC sebagai kediamannya pada tahun 1730.
Tiga belas tahun kemudian, gedung
ini juga dijadikan Akademi Maritim (Academiede Marine), yang selain
menjadi kampus juga berfungsi sebagai asrama para kadet yang dilatih.
Jalan kecil yang sekarang bernama
Pancoran V dahulu dikenal dengan nama Gang Kali Mati. Kini di gang kecil banyak
terdapat pedagang yang menjual makanan khas Tionghoa. Dahulu,
gang ini menampung sejumlah rumah opium, seperti penuturan warga asli setempat
bernama Akey yang masih sempat menyaksikan keberadaan rumah-rumah opium
tersebut, “Dulu di Gang Kali Mati ada 2 atau 3 rumah tempat ngisep
opium”.
Masih menurut Akey, dahulu rumah
opium atau rumah madat itu direstui oleh pemerintah Hindia - Belanda. Siapapun
bisa masuk ke rumah-rumah madat asal membayar, rumah madat itu tidak dijaga
polisi. Tapi mulai tahun 1960-an keberadaan rumah opium ini pun memudar karena
pungutan liar atau tidak adanya pasokan barang. Kini rumah-rumah opium itu
sudah tergantikan keberadaannya oleh rumah-rumah makan yang menyajikan beragam
makanan dan jajanan khas Tionghoa.
3.6.4. Kantor Harian Indonesia
Gedung yang terletak di Toko Tiga
Seberang adalah kantor harian berbahasa Mandarin pertama di Indonesia, yaitu
Harian Indonesia. Saat ini gedung kantor itu tidak difungsikan dan dipagar
tinggi karena sekarang kegiatan kantor harian ini dipindahkan ke daerah Gajah
Mada, satu gedung dengan harian kantor Republika.
3.6.5. Kelenteng
Kim Tek Ie (Jin de Yuan)
Salah satu kelenteng tua yang
ternama dan bersejarah di kawasan Pecinan Jakarta adalah Kelenteng Kim Tek Ie
(Jin de Yuan). Mendirikan sebuah kelenteng untuk menghormati Guan Yin (Kwan Im)
di Glodok. Konon dari kata Kwan Im Teng inilah kemudian timbul istilah
kelenteng yang berarti “Kuil Tionghoa”.
Hampir satu abad kemudian kelenteng
ini mengalami pengerusakan dan pembakaran ketika terjadi peristiwa yang dikenal
dengan Pembantaian Angke pada tahun 1740. Lima belas tahun setelah itu, seorang
Kapitein Tionghoa memugar kembali kelenteng ini, kemudian mengganti namanya
dengan sebutan Kim Tek Ie (Jin De Yuan) atau Kelenteng Kebajikan Emas.
Kini kelenteng ini merupakan
kelenteng umum, artinya tidak secara khusus diperuntukkan sebagai tempat
pemujaan bagi salah satu agama/aliran saja, tetapi boleh digunakan untuk
pemujaan berbagai agama, seperti Tao, Khonghucu, dan Buddha.
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Bangsa Tionghoa masuk ke Indonesia secara bergelombang sejak ribuan
tahun yang lalu melalui kegiatan perniagaan. Setelah negara Indonesia merdeka, orang Tionghoa yang
berkewarganegaraan Indonesia digolongkan sebagai salah satu Etnis dalam lingkup
nasional Indonesia.
Pada zaman kolonial orang Tionghoa yang berada di indonesia dilarang memiliki lahan
pertanian, sehingga mayoritas dari mereka menghidupi diri dengan berdagang.
Pada masa orde baru Suku Tionghoa dilarang
untuk masuk ke dalam dunia politik, akademik, dan militer. Hal ini membuat
mereka memfokuskan diri dalam hal perdagangan.
Berdasarkan
hasil wawancara dengan narasumber, orang – orang dari Suku Tionghoa rajin dan
ulet serta bekerja keras dalam setiap menjalani pekerjaan seperti saat mereka
bekerja ikut dengan orang lain. Hasil dari bekerja tersebut mereka kumpulkan
untuk membuka usaha. Dalam menjalankan usaha, mereka optimis dalam menghadapi
semua permasalahan yang mereka alami dalam berdagang hal, ini diketahui apabila
mereka mengalami kesulitan dalam hal keuangan mereka berusaha untuk mencari
solusi menyelesaikan kesulitan tersebut dengan mencari-cari pinjaman.
Ada tiga kebudayaan yang masih dipegang teguh bangsa Tionghoa
dalam melakukan perdagangan yakni Hopeng, Hongsui dan Hokki. Ketiga nilai
tradisional Tionghoa ini sangat berpengaruh baik dalam kehidupan sosial maupun
aktivitas ekonomi dimanapun mereka berada. Ketiga nilai ini merupakan
kepercayaan dan mitos yang diyakini orang Tionghoa dalam menjalankan kehidupan
dan berbagai usaha yang mereka tekuni.
Keistimewaan perilaku
ekonomi Suku Tionghoa yang
pertama terletak pada jaringan sistem kerja yang kuat. Walaupun demikian sikap
kompetitif antara mereka tetap terpelihara secara sehat. Hal ini semakin
memperketat jaringan bisnis diantara mereka. Bahkan saat terjadi krisis ataupun
munculnya tantangan besar, mereka saling bekerja sama. Oleh sebab itu bisnis
keluarga menjadi salah satu ciri jaringan kerja yang mereka bentuk. Prinsip
lain yang dikembangkan bangsa Tionghoa dalam berdagang yaitu kemauan kerja
kerasnya, keuletan, kegigihan, ketekunan, sikap pantang menyerah, sikap tidak
mudah puas dan kebiasaan hidup hemat.
4.2. Saran
1. Narasumber
Saran
yang dapat diberikan oleh penulis kepada narasumber adalah agar mereka tetap
mempertahankan dan terus meningkatkan kemampuan-kemampuan mereka dalam
berwirausaha agar menjadi lebih baik lagi, serta harus meyakinkan diri bahwa
mereka sanggup dan mampu mengatasi semua permasalahan dan kesulitan yang di
hadapi dalam berwirausaha. Sebagai wirausaha mereka harus selalu bersikap sabar
dan ramah pada setiap pelanggan atau pada semua orang.
2. Wirausaha
Pribumi
Saran
yang dapat diberikan penulis untuk wirausaha lain atau wirausaha pribumi yang masih banyak
tertinggal dalam berwirausaha agar dapat mengembangkan juga kemampuan-kemampuan
yang dimiliki dan harus tetap yakin pada diri sendiri dalam menghadapi
kesulitan dalam berwirausaha. Bagi penelitian selanjutnya agar dapat terus
berupaya memperbaharui dan mengembangkan hasil penelitian ini secara lebih
mendalam dan dapat menjadi perbandingan bagi penelitian-penelitian lain dengan
tema yang sama seperti motivasi berwirausaha pada etnis Tionghoa.
DAFTAR PUSTAKA
Murtalim dan Elis susiana, Glodok Plasa Lt.G ( hall ), 12 oktober 2011
Yuli, Pasar Glodok, 12 oktober 2011
Komentar