BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pemilihan Kepala Daerah secara langsung merupakan pengalaman pertama dalam proses perekrutan seorang Kepala Pemerintah Daerah di Indonesia. Demam pilkada kini telah menyebar hampir merata di berbagai daerah. Pertarungan membangun citra kian hingar bingar seiring berbagai publisitas yang dimainkan oleh media. Di era industri komunikasi yang ditandai dengan maju pesatnya industri media massa, hampir mustahil seorang politisi yang hendak berlaga, menafikkan hubungan baik dengan media.
Pengaruh media dalam kehidupan politik sangatlah besar. Media mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi opini publik dan perilaku masyarakat. Hal ini menjadi sangat penting dalam kampanye partai politik. Cakupan yang luaas dalam masyarakat membuat media massa dianggap sebagai salah satu cara yang efektif dalam mengkomunikasikan program kerja, pesan politik, pembentukan image partai atau individu.
Dua kali putaran pemilihan gubernur periode 2013-2018 di Jakarta, pasangan Jokowi dan Basuki atau ahok selalu unggul dalam perolehan suara. Putaran pertama, Pasangan ini berhasil mendapat suara 42,6%. Menyisihkan kandidat lainnya seperti Alex-nono, Faisal-biem, Adji-Riza dan pasangan Hidayat-didik. Sedangkan pasangan Foke-nara mendapat dukungan sebesar 34,05% suara. Di putaran kedua, tepat di selenggarakan hari ini (20/09). Hasil sementara perhitungan cepat yang di lakukan kompas.com Pasangan Jokowi-ahok unggul 52,97% di banding pasangan Fauzi-bowo sebesar 47,03%.
Siapa Jokowi dan Ahok?, Jokowi adalah Walikota solo aktif bersuku Jawa. Sedangkan Ahok adalah warga Tionghoa yang beragama Nasrani. Menjelang putaran kedua, pasangan ini tidak henti mendapat serangan-serangan oleh pasangan rivalnya. Salah satunya adalah : ketika Raja dangdut Rhoma Irama berceramah mengajak kaum muslim memilih yang seiman. Ditambah lagi, Sang raja dangdut mengatakan jika orang tua Jokowi adalah penganut kristen. Tidak hanya itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga mengeluarkan surat edaran kepada masyarakat muslim agar memilih calon yang seiman.
Primodialisme, sering dilempar oleh kandidat agar mendapat suara dari kelompok dominan. Secara tidak langsung, serangan yang dilayangkan oleh MUI dan bang Haji terkesan tendensius demi kemenangan pasangan pertahanan foke-nara. Hasilnya malah berbalik. Ini dapat di lihat reaksi dan respon warga yang menolak isu Sara.
Kemenangan Jokowi-ahok bukan tanpa sebab. Strategi yang matang untuk mendapat suara rakyat di persiapkan dengan cara-cara yang kreatif dan cerdik. Pasangan ini tidak mau mengotori Jakarta. Tidak memasang baliho dan spanduk, atau banner yang menempel di setiap sudut kota. Brand yang diciptakan Jokowi-ahok bukan melalui foto narsis seperti yang dilakukan kandidat lainnya.
Jokowi-Ahok berhasil membangun personal branding melalui baju kotak-kotak. Ketika kandidat yang lain berpenampilan ‘umum’. Pasangan ini mengenalkan diri mereka dengan baju kotak-kotaknya yang sangat tidak seperti rata-rata. Kemeja kotak-kotak sontak menjadi trend dadakan. Masyarakat yang menginginkan sebuah adanya perubahan baru, melihatnya sebagai sesuatu yang baru dan beda. Setidaknya, kini muncul stigma yang mengatakan : baju kotak-kotak sebagai identitas pendukung calon gubernur bernomor urut tiga.
Kampanye yang dilakukan oleh duet walikota solo sangat strategis. Tidak memobilisasi masa, melainkan langsung menemui warga di lapangan. Alasanya ringan, agar mengetahui keadaan masyarakat secara langsung, Sehingga dapat menyerap aspirasi langsung dengan masyarakat. Pola kampanye seperti ini lebih hemat dan efisien. Secara psikologis, Masyarakat juga merasa punya pengalaman yang mengesankan. Pengalaman bertemu langsung dengan calon gubernur, bahkan kesan di peluk hangat oleh calon gubernur DKI Jakarta. kesan inilah yang menjadikan masyarakat merasa dekat dengan Calon gubernur yang masih menjabat sebagai walikota Solo itu.
Peran media sosial tidak bisa di remehkan. Ahok dan Jokowi memang sudah lama aktif di media Sosial. Bahkan Ahok mempunyai sebuah blog resmi (www.ahok.org) yang memuat tentang berita aktivitasnya secararealtime. Menjelang putaran kedua, Timses Jokowi ahok merilis sebuah game bertajuk Selamatkan Jakarta. Sebuah ide yang cerdas. Belum dirilis secara resmi, game yang dimainkan di halaman facebook ini telah dimainkan lebih dari 50.000 kali. Game online ini terbukti sukses menjadi instrument kampanye yang jitu. Sasarannya adalah kalangan muda yang aktif di jejaring sosial. Tentu saja, untuk membuat game ini tidaklah semahal jika dibandingkan dengan mencetak ratusan banner. Lagi, cara Jokowi-Ahok sangat murah dan efisien. Membuat Game seperti ini, menurut penulis paling besar dikenakan biaya Rp. 5 juta. Secara dinamis, dapat di lihat oleh ratusan pengguna jejaring sosial. efektif bukan?.
Video clip bernada hiphop, Rock hingga Dangdut juga berseliweran di line masa twitter dan Facebook. Memang tidak sulit, apalagi sekarang ini siapapun bisa mempublikasi video clip secara gratis melalui youtube. Lebih dari 10 video clip yang sudah diproduksi oleh pasangan ini. Tujuannya? Tentu untuk dikenal dan mendapat suara. Musik dan lagunya pun mudah di dengar, ringan dan tepat sasaran. Hampir tidak perlu lagi memasang iklan di TV. Cukup Upload di Youtube, lalu share linknya melalui jejaring sosial, lalu siapapun bisa melihatnya. Atau bahkan menjadikan lagu favoritnya.
Catatan penting yang dapat diambil dari pola kampanye Jokowi-Ahok adalah efisiensi dana kampanye. Tanpa mengurangi kualitas kampanye dan tepat sasaran. Dengan cara seperti itu pasangan nomor urut 3 lebih cepat di kenal masyarakat. Masyarakat tidak perlu ikut datang di panggung kampanye. Tidak perlu memperparah kemacetan Jakarta. Bagi calon gubernur, tidak perlu menyiapkan panggung dan sound system yang mahal.
Penting sekali, agar dapat di adopsi oleh para calon politisi lain. Penggunaan dana kampanye yang efisien dan hemat dapat menekan biaya politik. Kita sepakat, biaya politik yang besar, kerap di jadikan alasan korupsi balik modal bagi politisi yang memenangi sebuah pemilu. Pola jokowi-ahok bisa dikatakan pola yang dan perlu di contoh. Agar para politisi terhindar dari tindakan korupsi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Agenda Setting
Agenda-setting diperkenalkan oleh McCombs dan DL Shaw (1972). Asumsi teori ini adalah bahwa jika media memberi tekanan pada suatu peristiwa, maka media itu akan mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting. Jadi apa yang dianggap penting media, maka penting juga bagi masyarakat. Dalam hal ini media diasumsikan memiliki efek yang sangat kuat.
Agenda setting menjelaskan begitu besarnya pengaruh media--berkaitan dengan kemampuannya dalam memberitahukan kepada audiens mengenai isu - isu apa sajakah yang penting. sedikit kilas balik ke tahun 1922, kolumnis walter lippman mengatakan bahwa media memiliki kemampuan untuk menciptakan pencitraan - pencitraan ke hadapan publik. McCombs and Shaw melakukan analisis dan investigasi terhadap jalannya kampanye pemilihan presiden pada tahun 1968, 1972, dan 1976. pada penelitiannya yang pertama (1968), mereka menemukan dua hal penting, yakni kesadaran dan informasi. dalam menganalisa fungsi agenda setting media ini mereka berkesimpulan bahwa media massa memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap apa yang pemilih bicarakan mengenai kampanye politik tersebut, dan memberikan pengaruh besar terhadap isu - isu apa yang penting untuk dibicarakan.
asumsi utama dan pendapat – pendapat inti ; agenda setting merupakan penciptaan kesadaran publik dan pemilihan isu - isu mana yang dianggap penting melalui sebuah tayangan berita. dua asumsi mendasar dari teori ini adalah :
(1). pers dan media tidak mencerminkan realitas yang sebenarnya, melainkan mereka membentuk dan mengkonstruk realitas tersebut. (2). media menyediakan beberapa isu dan memberikan penekanan lebih kepada isu tersebut yang selanjutnya memberikan kesempatan kepada publik untuk menentukan isu mana yang lebih penting dibandingkan dengan isu lainnya. sedikit banyaknya media memberikan pengaruh kepada publik mengenai isu mana yang lebih penting dibandingkan dengan isu lainnya. salah satu aspek yang paling penting dari konsep agenda setting ini adalah masalah waktu pembingkaian fenomena - fenomena tersebut.dalam artian bahwa tiap - tiap media memiliki potensi - potensi agenda setting yang berbeda - beda satu sama lainnya
2.2 Media Literacy
“Media Literacy is a set of perspectives that we actively use to expose ourselves to the media to interpret the meaning of the messages we encounter. We build our perspectives from knowledge structures. To build our knowledge structures, we need tools and raw material. These tools are our skills. The raw material is information from the media and from the real world. Active use means that we are aware of the messages and are consciously interacting with them. “Potter,W.J.(2005).
Melek media adalah satu set perspektif yang aktif kita gunakan untuk membuka diri kepada media untuk menafsirkan makna pesan yang kita hadapi. Kita membangun perspektif kita dari struktur pengetahuan. Untuk membangun struktur pengetahuan kita, kita perlu alat dan bahan baku. Alat-alat adalah keterampilan kita. bahan baku adalah informasi dari media dan dari dunia nyata. aktif menggunakan berarti bahwa kita sadar akan pesan dan berinteraksi dengan mereka secara sadar.”
Istilah literasi media diciptakan di mid-2004 untuk menggabungkan literasi lainnya dengan visual (Ofcom, 2004). Ofcom mengatakan literasi adalah keterampilan untuk mengakses, menganalisa, mengevaluasi dan sekaligus mengkomunikasikannya dalam berbagai macam format. Lebih daripada itu adalah mampu mengenali dan mengerti informasi secara komprehensif untuk mewujudkan cara berpikir kritis, seperti tanya jawab, menganalisa dan mengevaluasi informasi itu.
Media Literacy timbul akibat isi (content) media massa yang cenderung negatif dan tidak diharapkan. Sehingga perlu diberikan suatu kemampuan, pengetahuan, kesadaran dan keterampilan secara khusus kepada khalayak sebagai pembaca media cetak, penonton televisi atau pendengar radio. Berikut ini dipaparkan tentang pengertian media literacy dari beberapa pakar (dalam Chang, Sup, 2001 : 424) Media literacy adalah :
1. Kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan mengkomunikasikan pesan (National leadership Confrence on Media literacy, 1992)
2. Pengetahuan tentang bagaimana fungsi media di masyarakat (Paul Messaris,1990)
3. Pemahaman kebudayaan, ekonomi, politik dan keterbatasan teknologi dalam suatu kreasi, produksi dan transmisi pesan.
4. Pengetahuan khusus, kesadaran dan rasionalitas sebagai proses kognitif dalam memperoleh informasi
5. Fokus utama mengevaluasi secara kritis tentang pesan dan cara mengkomunikasikannya. Kemudian memahami sumber dan teknologi komunikasi, simbol yang digunakan, pesan yang diproduksi, diseleksi, diinterpretasi dan akibat yang ditimbulkannya.
Media Literacy di Indonesia lebih dikenal dengan istilah Melek Media. James Potter dalam bukunya yang berjudul “Media Literacy” (Potter, dalam Kidia) mengatakan bahwa media Literacy adalah sebuah perspekif yang digunakan secara aktif ketika, individu mengakses media dengan tujuan untuk memaknai pesan yang disampaikan oleh media. Jane Tallim menyatakan bahwa media literacy adalah kemampuan untuk menganalisis pesan media yang menerpanya, baik yang bersifat informatif maupun yang menghibur.
Fokus utamanya adalah evaluasi kritis terhadap pesan. Media literasi merupakan sebuah pemahaman akan sumber-sumber dan teknologi komunikasi, kode-kode yang digunakan, pesan-pesan yang dihasilkan serta seleksi, interpretasi dan dampak dari pesan-pesan tersebut.
Terdapat dua pandangan mengenai media literacy yaitu dari Art Silverblatt dan James Potter (Potter dalam Kidia). Silverblatt menyatakan bahwa seseorang dikatakan memiliki keterampilan literasi media apabila dirinya memuat faktor-faktor sebagai berikut :
1. Sebuah kesadaran akan dampak media terhadap individu dan masyarakat
2. Sebuah pemahaman akan proses komunikasi massa
3. Pengembangan strategi-strategi yang digunakan untuk menganalisis dan membahas pesan-pesan media
4. Sebuah kesadaran akan isi media sebagai ‘teks’ yang memberikan wawasan dan pengetahuan ke dalam budaya kontemporer manusia dan diri manusia sendiri
5. Peningkatan kesenangan, pemahaman dan apresiasi terhadap isi media.
Di sisi lain, Potter (Baran and Davis, 2003 dalam Kidia) memberikan pendekatan yang agak berbeda dalam menjelaskan ide-ide mendasar dari media literacy, yaitu:
1. Sebuah rangkaian kesatuan, yang bukan merupakan kondisi kategorikal (Media Literacy is a continuum not a category
2. Media literacy perlu dikembangkan dengan melihat tingkat kedewasaan seseorang
3. Media literacy bersifat multidimensi, yaitu domain kognitif yang mengacu pada proses mental dan proses berpikir, domain emosi yaitu dimensi perasaan, domain estetis yang mengacu pada kemampuan untuk menikmati, memahami dan mengapresiasi isi media dari sudut pandang artistik, dan domain moral yang mengacu pada kemampuan untuk menangkap nilai-nilai yang mendasari sebuah pesan
Tujuan dari media literacy adalah untuk memberi kita kontrol yang lebih untuk menginterpretasi pesan. Tujuan dari melek media adalah untuk memberdayakan individu-individu dalam mengontrol media pemrograman. Istilah pemrograman dalam pengertian ini, tidak bermaksud program televisi atau media pesan. Seorang individu oleh dirinya sendiri tidak akan punya banyak pengaruh mengubah bagaimana massa kerajinan media pesan mereka.
2.3 Pencitraan
Pencitraan adalah sebuah gambaran atau persepsi seseorang atau banyak orang terhadap pribadi maupun non pribadi berkaitan dengan tampilan atau perilaku pribadi maupun non pribadi dalam kondisi tertentu
Citra (image) adalah salah satu aset terpenting Partai politik. Citra Partai politik positif atau baik di mata publik bergantung pada pengetahuan, kepercayaan dan persepsi publik tentang Partai politik dan pada gilirannya dapat mendorong publik untuk mendukung dan memberikan suara kepada Partai politik tersebut dalam Pemilu. Untuk menciptakan pengetahuan, kepercayaan dan persepsi publik ini diperlukan komunikasi politik melalui kegiatan seperti pemberitaan dan iklan politik di media massa, pampflet, bulletin, selebaran, press release atau konferensi press di surat kabar, media elektronik, dialog interaktif atau dialogis di radio-radio dan televisi, dll.
Politik pencitraan ini memperkuat kesadaran Partai politikakan pentingnya fungsi dan strategi kehumasan Partai politik secara tepat mampu menjembatani komunikasi politik efektif antara Partai politik dan konstituen. Fungsi dan peran kehumasan dinilai penting oleh Partai politik, termasuk juga penggunaan jasa konsultan kehumasan turut membantu merancang strategi komunikasi Partai politik ditujukan untuk kepentingan publik maupun kegiatan kampanye. Di Indonesia perkembangan politik kepartaian sejak Pemilu tahun 1990-an ditandai dengan kesadaran akan upaya kehumasan tampak tidak hanya terfokus pada kegiatan kampanye dengan metode orasi di tengah lapang, namun lebih pada komunikasi politik melalui berbagai media massa. Karena berdasarkan riset tentang pengaruh pesan disampaikan Partai politik melalui media masa memiliki nilai signifikan terhadap keputusan memilih masyarakat, meskipun ini memang bukan satu-satunya faktor. Partai politik tidak hanya memanfaatkan jasa Konsultan kehumasan, juga membuat media khusus untuk mengkomunikasikan visi, misi dan program Partai politik. Selain itu, ada Partai politik mempunyai website sebagai kelengkapan instrumen kampanye. Semua informasi Partai politik disajikan secara detil di website tersebut.
Teori pencitraan dalam komunikasi politik percaya, ada hubungan erat antara citra partai politik dan perilaku pemilih. Penciptaan dan pembentukan pencitraan positif Partai politik digarap dan dikelola sedemikian rupa baik sepanjang maupun pasca kampanye. Untuk menciptakan pengetahuan dan persepsi masyarakat ini diperlukan komunikasi politik. Dalam perkembangannya, teori pencitraan mendorong Partai politik untuk melakukan komunikasi politik melalui media massa. Pesan dan informasi politik Partai politik lebih mudah menjangkau rumah-rumah pemilih dalam Pemilu melalui media massa ini ketimbang melalui komunikasi interpersonal dengan kader-kader Partai politik pada strata masyarakat bawah umumnya di daerah perdesaan (rural areas)
BAB III
PEMBAHASAN
Kemenangan Joko Widodo dan Basuki Tjahya Purnama pada Pemilihan Umum Kepala Daerah DKI Jakarta 2012 ini sungguh luar biasa. Pasalnya, pasangan Jokowi-Ahok hanya didukung dua partai, yaitu PDI Perjuangan dan Partai Gerindra. Sedangkan pasangan Foke-Nara, didukung dari mulai partai besar seperti Partai Golkar, Partai Demokrat, PKS, PPP, PAN hingga partai gurem seperti, Partai Barisan Nasional, PDP, PPRN dan Partai Karya Perjuangan. Sehingga Jokowi menyebutnya sebagai semut melawan gajah.
Dalam Koran Harian Kompas edisi 24 September 2012 mengupas mengenai dukungan media sosial terhadap pasangan Jokowi-Ahok dan Foke-Nara. Dukungan media sosial berbanding lurus dengan pemberitaan di media massa.Dalam laman web analytics.topsy.com, salah satu situs menyediakan pelacakan brand, terutama di jejaring sosial Twitter, sejak 24 Agustus 2012, kata kunci Jokowi rata-rata dibicarakan 15.000-30.000 kali setiap hari.
Sebagai politisi, Jokowi cukup piawai sebagai komunikator politik. Menurut Nimmo (dalam Lely Arrianie, 2010: 17), komunikator politik memainkan peran sosial yang utama, terutama dalam proses pembentukan opini publik. Politisi atau politikus berkomunikasi sebagai wakil suatu kelompok dan pesan-pesan politikus itu adalah untuk mengajukan dan melindungi tujuan kepentingan politik.
Teori komunikasi massa mengkaji tentang komunikasi politik empati. Komunikasi politik diukur dari keberhasilan komunikator (subjek komunikasi) memproyeksi diri dalam sudut pandang orang lain. Komunikasi politik berhasil apabila dapat menanamkan citra diri si komunikator dalam suasana alam pikiran masyarakat atau secara ringkas membangun empati masyarakat (Gunawan Permadi, 2012).
Melihat teori tersebut, mobil Esemka, nama Jokowi menjadi tertanam di masyarakat. Sehingga masyarakat pun bersimpati kepadanya. Wacana mobil Esemka telah membuat nama Jokowi terkenal. Namanya dikenal bahkan ia dan mobil Esemka telah menjadi isu mobil nasional. Karena popularitasannya itulah sehingga ia masuk dalam bursa calon kepala daerah pada pemilukada DKI Jakarta.
3.1 Peran Media Sosial & Pencitraan
Tidak seperti media mainstream, media sosial (antara lain Facebook, Twitter, dan Youtube) memberi kesempatan pengguna untuk aktif saling berkomunikasi melalui tulisan, gambar, dan audio dan/atau video. Media sosial membuka peluang suatu komunitas besar untuk dapat saling terhubung secara mudah dan murah melalui berbagai bentuk layanan media sosial. Di era komunikasi seperti ini kendali Negara atas pola komunikasi menjadi lebih longgar dan lemah. Media sosial mampu membangkitkan energy yang mempengaruhi terbentuknya hubungan baru antara media, politik dan kehidupan masyarakat. Contoh dari dampak hubungan baru ini adalah klaim berbagai kalangan akan peranan media sosial dalam pergolakan politik di berbagai negara seperti di Moldova, Tunisia, Mesir, Lebanon, Syria, dan Libya.
Media sosial mampu mengubah dan memberdayakan seseorang untuk “berpolitik”. Menurut Clay Shirky, seorang professor di New York University, media sosial adalah sarana yang mampu menguatkan masyarakat sipil dan ruang publik. Melalui media sosial, kelompok-kelompok masyarakat yang berjumlah besar dan longgar mampu “bersatu” untuk melakukan gerakan massa seperti gerakan politik atau kampanye tanpa harus membentuk organisasi formal. Pada intinya media sosial mampu membangkitkan “kesadaran bersama” melalui jejaring sosial.
Sementara, istilah pencitraan yang diadopsi dari istilah marketing, dalam dunia perpolitikan seringkali lebih berkonotasi negatif. Pencitraan yang dimaksud adalah usaha merekayasa citra baik atas diri seseorang dan menghilangkan atau menutup kesan buruk orang tersebut. Dengan demikian masyarakat akan menilai baik orang tersebut meskipun pada kenyataannya mungkin tidak sebaik yang dicitrakan.
Indonesia adalah negara dengan jumlah pengguna Facebook no. 4 dan pengguna Twitter no. 5 terbesar di dunia. Pada tahun 2012, Jakarta adalah kota dengan rekor tertinggi di dunia dalam hal jumlah posting di Twitter oleh penggunanya, mengalahkan kota Tokyo, London, Sao Paulo dan New York. Bisa jadi ramainya perhelatan Pilgub DKI menyumbang tingginya frekuensi posting Twitter di Jakarta waktu itu. Dengan begitu fenomenalnya penggunaan Twitter di Jakarta, mungkinkah dilakukan pencitraan seseorang melalui media sosial? Jawabnya, sangat mungkin. Tetapi apakah mungkin pencitraan akan mampu mengubah opini publik, seperti yang dituduhkan kepada Jokowi-Ahok, dan memenangkan Pilgub DKI? Nanti dulu!!
media sosial adalah sarana pembangkit kesadaran bersama. Selama ini rakyat Indonesia sudah capek, putus asa, dan apatis dengan perilaku politik di Indonesia. Perilaku elite politik semakin membuat rakyat kehilangan jaminan kehidupan yang layak dan aman. Kemenangan Jokowi di putaran pertama Pilgub DKI mengejutkan semua orang. Jokowi yang ndeso dan tidak punya potongan pejabat dan Ahok yang China dan non-muslim tidak saja membuat shock pesaing-pesaingnya, tetapi juga membuat kaget tidak hanya rakyat Jakarta, tetapi juga rakyat Indonesia. Baru kali itu kita menyaksikan Pilgub yang mampu memompa adrenalin kita. Perang antar pendukung tidak terjadi di jalan-jalan, Pilgub berjalan relatif aman, tetapi perang sesungguhnya terjadi di media sosial. Melalui Facebook dan Twitter terjadi aksi saling mendukung dan menyerang, tak ketinggalan berbagai bentuk video kampanye di YouTube. Kemenangan Jokowi-Ahok tak pelak adalah bukti munculnya kesadaran bersama yang dikembangkan melalui media regular dan media sosial, bukan sekedar pencitraan seperti tudingan lawan politiknya. Jokowi-Ahok menyadarkan banyak orang bahwa masih ada harapan di tengah kehidupan pemerintahan di Indonesia yang amburadul ini.
3.1 Jokowi-Ahok Kesayangan Media
Banyak kalangan dari mulai politisi hingga pengamat politik yang meragukan pasangan Jokowi-Ahok. Bukan tanpa alasan, keduanya bukan orang Jakarta. Berbeda dengan politik terberatnya, Foke-Nara. Mereka adalah orang asli Jakarta. Jokowi dinilai berprestasi di Solo yang hanya terdiri dari beberapa kecamatan. Sungguh berbeda dengan Jakarta yang memiliki karakteristik dan kultur yang beranekaragam. “Pak Jokowi kalau mau jadi gubernur di Jawa Tengah, menang 100 persen. Tapi belum tentu di Jakarta” kata Max Sopacua, politisi dari Partai Demokrat (tempo.co, 20/03/2012).
Hal serupa juga diungkapkan pengamat politik, Dr Mahmudi Asyari, peneliti dari ICIS Jakarta dalam artikel tulisannya di koran Suara Merdeka (15/05/2012) bahwa, pencalonan Jokowi pada Pemilukada DKI Jakarta hanya bermodalkan popularitas karena mobil Esemka. Ia mengibaratkan, Jokowi dengan Jenderal McArthur. Arthur yang juga jenderal bintang lima mendapat pujian pada Perang Dunia Kedua, namun tidak mendapatkan tempat saat ia mencalonkan presiden. Menurut analisa Asyari, kondisi serupa juga bakal sama terjadi dengan Jokowi. Begitu juga Ahok, ia telah berprestasi di Singkawang, namun belum tentu ia bisa berprestasi di Jakarta. Singkawang memiliki kondisi penduduk yang homogen terdiri dari etnis melayu sementara Jakarta yang sangat beragam. Dengan kondisi tersebut, keduanya sangat berat untuk bisa memenangkan Pemilukada DKI Jakarta.
Faktor ketiga adalah, sentimen negatif publik pada kompetitor terdekat Fauzi Bowo. Pasangan Jokowi-Basuki dinilai publik kurang representatif dari mayoritas penduduk DKI. Unggulnya kandidat pertama tidak lepas dari perannya sebagai incumbent. Ia sudah melakukan sosialisasi dan pengenalan diri selama lima tahun. Pasangan pertama juga rawan sekali dengan penyalahgunaan kewenangan. Contoh paling kecilnya adalah, menjelang pemilukada ada peningkatan tunjangan untuk ketua RT dan RW dari yang sebelumnya hanya Rp 700.000 per triwulan menjadi Rp 750.000 (Majalah Detik, 9-15 Juli 2012).
Belum lagi mengenai biaya kampanye pasangan Foke-Nara yang jauh lebih besar dibandingkan dengan kandidat-kandidat lain. Biaya kampanye pasangan ini sebesar. Dengan biaya yang sangat besar, melalui marketing politiknya, incumbent berpotensi untuk memanipulasi opini publik dengan mengontrol media. Karena bagaimana pun masyarakat hanya dapat menerima informasi secara tidak langsung dari sumber berita (Firmanzah,2007: 329). Incumbent juga berpotensi untuk iklan atau branding politik secara jor-joran. Istilah ini dikenal dengan serangan udara. Tujuannya untuk mempengaruhi opini publik.
Mekipun kandidat petahana lebih siap, Jokowi berhasil mencuri perhatian media dalam cara dia berkampanye dan pencitraan. Pola pencitraan dia tidak menggunakan uang untuk menjadi mesin politik atau pun tergopoh-gopoh bertemu wartawan atau sibuk mencari slot talk show (Silih Agung Wasesa, 2011: Hal.4). Jokowi-Ahok menggunakan konsep buzzing, yaitu cara menjadikan pesan politik sebagai bahan pembicaraan positif di kalangan masyarakat sekaligus cara menggerakan target audiens dengan membangun kesadaran mereka sendiri (Silih Agung Wasesa, 2011: Hal.5). Ia berjualan baju kotak-kotak untuk mencari dana kampanye, lalu turun ke lapangan dengan cara blusukan ke pasar, hingga bersantap siang dengan pedagang kaki lima. Ia juga naik kereta rel listrik dari Tanah Abang ke Universitas Indonesia guna memberikan kuliah umum dan lain-lain.
Cara-cara tersebut ternyata ampuh. Tidak sedikit warga khususnya dari kalangan menengah ke bawah yang mengaguminya (Majalah Detik, 9-15/04/2012). Begitu juga media massa. Porsi pemberitaan-pemberitaan lebih banyak kepada pasangan Jokowi-Ahok. Dari 3448 berita yang berasal dari 16 media: terdiri dari 4 media online, 8 media cetak dan 4 stasiun televisi, hasil riset Aliansi Jurnalis Independen merilis (5/8/12) pasangan Jokowi-Ahok ditampilkan secara tunggal dalam 599 berita atau sekitar 17,37 persen.
Selain itu, AJI juga menemukan bahwa Jokowi merupakan kandidat yang kerap mendapatkan berita positif yaitu 441 berita atau 12,79 persen. Sebaliknya, Fauzi Bowo mendapat pemberitaan bernada negatif paling banyak, yaitu 98 berita atau 2,84 persen (tempo.co, 5/8/12). Banyaknya pemberitaan terhadap Jokowi, membuat pasangan Foke-Nara iri. Ia sudah merasa kalah dalam sisi pencitraan. Kalah di media massa, kalah juga di dunia nyata mengutip Wiston Churcill menyatakan bahwa untuk dapat menguasai dunia, cukup hanya dengan menguasai pikiran masyarakat luas (Firmanzah, 2008: xxx). Berdasarkan hasil resmi KPU DKI Jakarta, Jokowi-Ahok menang. Baik diputaran pertama maupun putaran kedua.
Kedudukan media sebagai alat untuk merekonstruksi dan mempengaruhi opini publik mampu mengarahkan pemikiran khalayak untuk mendukung, menentang atau netral terkait kandidat gubernur di Pemilukada DKI 2012. Sikap media tersebut tentunya ada kaitannya baik dalam urusan bisnis maupun politik. Ibu Hamad (dalam Zia El Muttaqin, Susilastuti DH, Christina Rochayanti, 2008, hal: 192), dalam kerangka pembentukan opini publik media massa umumnya melakukan tiga kegiatan sekaligus. Pertama, menggunakan simbol-simbol politik (language of politic). Kedua, melaksanakan strategi pengemasan pesan (framing strategis). Ketiga, melakukan fungsi agenda setting (agenda setting fungtion).
Media sebagai simbol-simbol politik, semua media baik yang dimiliki swasta atau pun pemerintah, sebenarnya merupakan aparatur ideologi karena kemampuannya untuk menyebarluaskan pendapat, dinilai sebagai sumber kekuasaan (Astrid, 1981 dalam modul materi Kuliah Komunikasi Politik Fisip UR dengan judul Media Massa Sebagai Sumber Pengaruh Politik). Ditinjau dari pengusaan media massa, struktur politik suatu negara, mengenal proses sebagai berikut:
Pertama, fase pengaruh politik melalui aparatur ideologi (ditinjau dari segi kepemilikan media. Kedua, fase informasi oleh aparatur ideologi (ditinjau dari kegiatan komunikasinya sendiri dan penilaian komunikan terhadap komunikator serta kesadaran komunikator akan kehadiran komunikan. Ketiga, fase pembentukan /perwujuduan pemupukan pengaruh politik aparatur ideologi yang bersangkutan (ibid.
Kedudukan media sebagai pelaku framing strategis, cara media membingkai sebauh peristiwa untuk dijadikan sebuah berita yang akan disajikan kepada khalayak (Danang, 2006: 223). Informasi yang diolah menjadi berita bisa merekonstruksi dan mempengaruhi opini publik sesuai dengan bingkai visi perusahaan media tersebut (Zia El Muttaqin dkk, 2008: 193). Media sejalan dengan konstruksi realitas. Realitas menurut Peter L Burger (dalam Danang, 2006: 224) tidak dibentuk secara alamiah. Tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan. Tetapi dibentuk dan dikonstruksi. Bingkai berita yang disampaikan ke publik terkait kandidat calon gubernur DKI Jakarta pada pemilukada tergantung dari pihak media itu sendiri, bisa berupa dukungan, sebaliknya atau juga netral. Dengan banyaknya media yang memberikan opini positif terhadap Jokowi, bisa dikatakan bahwa media tersebut memberikan dukungan kepada Jokowi.
Sedangkan media sebagai fungsi agenda setting, media tidak selalau berhasil memberitahu apa yang kita pikir, tetapi media benar-benar berhasil memberitahu kita berpikir apa (Bernard Cohen dalam Stanley J Baran dan Dennis K Davis yang dikutip lagi…). Media selalu mengarahkan kita pada apa yang kita harus lakukan. Media juga memberikan agenda-agneda, sedangkan masyarakat mengikutinya. Asumsi dari teori ini adalah media mempunyai kemampuan menyeleksi dan mengarahkan perhatian masyarakat pada gagasan atau peristiwa tertentu. Media mengatakan pada kita apa yang penting dan apa yang tidak penting (Nurudin dalam Muh.Bahruddin, ende).
BAB IV
KESIMPULAN
Kampanye yang dilakukan oleh jokowi berbeda dengan yang dilakukan oleh kandidat lainya, jokowi tidak memasang foto di posko bencana alam seperti posko banjir, tidak juga memasang baliho besar di jalanan ibu kota. Jokowi hadir sebagai sosok sederhana yang dianggap lebih dekat dengan warga. Jokowi menbangun citranya melalui media massa terutama di media social, tanpa disadari kampanye ini justru berhasil dan lebih efisien dari perspektif ekonomi
Jokowi-Ahok menggunakan konsep buzzing, yaitu cara menjadikan pesan politik sebagai bahan pembicaraan positif di kalangan masyarakat sekaligus cara menggerakan target audiens dengan membangun kesadaran mereka sendiri
Daftar Pustaka
Arrianie, Lely. 2010. Komunikasi Politik: Politisi dan Pencitraan di Panggung Politik. Bandung: Widya Padjadjaran
Danial, Akhmad. 2009. Iklan Politik TV: Modernisasi Kampanye Politik Pasca Orde Baru. Yogyakarta: LKiS
Firmanzah. 2008. Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di Era Demokrasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
————–, 2007. Marketing Politik: Antara Pemahaman dan Realitas. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Wisesa, Silih Agung. 2011. Political Branding & Public Relations: Saatnya Kampanye Sehat, Hemat dan Bermartabat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Jonkman, Ndhlovu, 2006 dalam Tesis Managment of Conflict by Principals in Selected Soshanguve Secondary School. Departemen of Educational Studies Faculty of Education, Tshwane University of Technology.
Komentar