Langsung ke konten utama

Riset Tentang Gay "interaksi simbolik pria Homoseksual (Gay) didaerah Margonda (Suatu fenomenologi interaksi simbolik pria Homoseksual pada sosok pekerja dan mahasiswa)"

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan Untuk mengetahui interaksi simbolik pria Homoseksual (Gay) didaerah Margonda (Suatu fenomenologi interaksi simbolik pria Homoseksual pada sosok pekerja dan mahasiswa). Untuk menjawab tujuan di atas maka peneliti mengangkat sub focus konsep diri, kepribadian, dan proses komunikasi untuk mengukur fokus penelitian.
Tipe penelitian adalah kualitatif, metode penelitian adalah deskriptif (descriptive reaserch). Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan wawancara mendalam dan observasi langsung kelapangan, Studi Literatur dan internet searching.
Informan penelitian adalah dua orang pria homoseksual (gay) pada sosok pekerja dan mahasiswa didaerah Margonda dari pekerja dan seorang mahasiwa serta pekerja freeland. Teknik yang digunakan adalah purposive sample (teknik sampel bertujuan) dimana sample diambil dengan melalui pertimbangan tertentu sesuai  dengan tujuan penelitian. Sebelum melakukan wawancara, peneliti terlebih dahulu menyusun pertanyaan wawancara sesuai dengan apa yang akan diteliiti. Jawaban yang diperoleh dari hasil wawancara kemudian di analisis dan dibahas pada pembahasan.
Hasil penelitian menunjukan konsep diri Pria Homoseksual (Gay) pada sosok pekerja memiliki konsep dirinya sendiri. Pria Homoseksual pada sosok pekerja melakukan proses komunikasinya yang sangat memperhatikan etika dalam berkomunikasi, pria homoseksual pada sosok pekerja dan mahasiswa serta pekerja freeland memperhatikan dengan tepat dalam penggunaan komunikasi verbal dan non verbalnya. Kepribadian yang dimiliki oleh pria homoseksual (gay) pada pekerja dan mahasiswa serta pekerja freeland didaerah Margonda menunjukan kepribadian yang sangat di atur. terlihat dalam penampilan, sikap terhadap orang lain dan rasa bersahabat yang selalu ditunjukan kepada setiap orang.
Kesimpulan Penelitian ini memperhatikan bahwa interaksi simbolik Pria Homosekssual (Gay) pada sosok pekerja dan mahasiswa serta pekerja freeland ingin menunjukan kepada lingkungan sekitarnya, bahwa Pria Homoseksual adalah pribadi yang menarik dan ingin mendapatkan penghargaan melalui simbol-simbol yang mereka miliki.
Saran pada penelitian ini untuk masyarakat adalah dapat melihat bahwa potensi Pria Homoseksual pada sosok pekerja dan mahasiswa pekerja serta mahasiswa sudah memasuki didaerah Margonda. Hendaknya masyarakat memandang pria Homoseksual adalah bagian dari lingkungan dan menghargai lingkungannya.


BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Kehidupan perkotaan atau masyarakat urban belakangan ini berkembang dengan pesat. Bukan hanya soal gaya hidup, tatanan nilai dan norma – norma kehidupan pun mulai bergeser dan berkembang untuk sebagian masyarakat. Suatu masyarakat memiliki kecenderungan menerima perkembangan dan perubahan itu. Namun sebagian lagi menolak karena mengikuti tatanan norma, dan etika moral (Anonim, 2005).
Di kalangan masyarakat saat ini fenomena homoseksual (gay) dapat dijumpai di setiap sudut kota, mereka berbaur dengan masyarakat setempat seperti orang normal biasanya. Banyak gay yang menunjukan secara langsung identitasnya dengan cara interaksi sosial yaitu: berpakaian, gaya bicara, cara berjalan, dan simbol-simbol ciri khas mereka kepada khalayak umum.
Homoseksual adalah ketertarikan / dorongan / hasrat untuk terlibat secara seksual dan emosional (ketertarikan yang bersifat romantic) terhadap orang yang berjenis kelamin sama dari seorang manusia (Naele, Davidson, & Haaga, 1996). Istilah umum untuk kaum homoseksual adalah gay. Sebutan ini seringkali digunakan untuk menyebut pria yang memiliki kecenderungan mencintai sesama jenis. Definisi gay yakni lelaki yang memunyai orientasi seksual terhadap sesama lelaki (Duffy & Atwater, 2005).
Pemahaman tentang homoseksual dapat di pahami melalui indentitas gender dan identitas kelamin. Identitas gender merupakan persepsi internal dan pengalaman seseorang tentang gendernya yang menggambarkan identifikasi psikologis dalam otak seseorang sebagai perempuan atau laki-laki. Menurut Kaplan, Sadock, & Grebb (dalam Fausiah & Widuri, 2003). Dan identitas jenis kelamin (gender identity) adalah keadaan psikologis yang mencerminkan perasaan dalam (inner sense) diri seseorang sebagai laki – laki atau wanita. Identitas jenis kelamin didasarkan pada sikap, pola perilaku, dan atribut lain yang ditentukan secara kultural yang biasa berhubungan dengan maskulinitas dan feminitas. Sedangkan peran gender adalah cara hidup dalam masyarakat dan bagaimana berinteraksi dengan orang lain berdasarkan identitas gender mereka yang dipelajari dari lingkungannya (Iswandi, dkk., 2005).
Pada istilah sehari-hari mereka inilah yang sering disebut sebagai “waria”, “wadam”, “banci”, “bencong”, ataupun istilah semacam itu. Terdapat penelitian bahwa gangguan identitas gender enam kali lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan (Zucker, Bradley & Sanikhani, dalam Davison & Neale, 2001). Homoseksual secara tradisional dianggap sebagai stigma atau hal yang dianggap tercela, dan hal yang dianggap tabu. Topik ini menjadi lebih dikenal di negara-negara Barat pada abad ke-20 karena revolusi seksual, tetapi tetap menjadi topik kontroversial.
Dunia gay belum banyak dikenal. Kurangnya pemahaman, tentu saja, mudah membangkitkan buruk sangka. Begitulah, sehingga “alih–alih“ menerimanya sebagai suatu takdir, justru banyak orang memandang gay itu menentang kodrat. Akibatnya, kaum gay kurang mendapat tempat di dalam di masyarakat, kalau tidak kaum gay diperlakukan sebagai wabah yang “menjijikan”, gay khususnya di Indonesia adalah bagian dari sub komunitas yang tidak bersuara bebas untuk merepresentasikan kepentingan - kepentingannya, dari kepentingan yang umum hingga kepentingan yang khusus.
Perkembangan isu gay di Indonesia meskipun tidak dikatakan pesat, kini masyarakat mulai menyadari akan adanya keberadaan kaum gay disekitar mereka. Data yang dilansir dalam portal gaya nusantara (Oetomo, 2008) mengatakan bahwa jumlah kaum gay di Indonesia sudah mencapai 20.000 juta orang hingga saat ini. Jumlah ini akan mencapai dua kali lipatnya jika ditambah dengan kaum biseksual. Merujuk pada penelitian Kinsey menyebutkan bahwa satu dari tiga dari responden memiliki pengalaman hubungan seksual paling tidak satu kali semenjak masa pubertas (Oetomo, 2008). Besarnya jumlah gay dan makin gencarnya kampanye tentang hak-hak kaum gay secara sosiologis tentunya dapat menggesser nilai-nilai yang ada dalam masyarakat (Oetomo, 1999).
Depok adalah sebuah kota penyangga ibu kota Jakarta, kota megapolitan pertama di Indonesia. Tiap harinya orang datang dari dan menuju Jakarta. Depok menjadi sebuah kota yang banyak dihuni oleh kaum urban. Banyak orang berkumpul dari berbagai tempat dan membetuk sebuah komunitas. Salah satunya adalah komunitas kaum homoseksual.
Perubahan orientasi seksual, dimana seseorang memiliki ketertarikan terhadap sesama jenis. Sebagai contoh kaum gay. Gay adalah penyimpangan seksual dimana seorang pria memiliki ketertarikan kepada pria. Dewasa gay telah menjadi sebuah gaya hidup dimana para pelakunya cenderung lebih berani dalam mengungkapkan identitas orientasinya. Gay juga masuk ke dalam berbagai segmen dan lapisan masyarakat.
Seorang gay mempresentasikan dirinya melalui cara-cara yang dianggap tabu oleh kalangan mayarakat. Melalui interaksi komunikasi, gay menyadari keadaan jiwanya dan membentuk suatu konsep diri dalam dirinya. Bagaimana suatu konsep diri dan kessadaran tentang kondisi dirinya terbentuk, itu semua karena kecenderungan psikologis, lingkungan, social dan fisis dari bagaimana gay tersebut melakukan interaksi komunikasi.
Dalam sebuah interaksi social sesama gay atau komunikasi interpersonal yang dilakukan antar prribadi (gay dengan gay) akan terjalin suatu hubungan yang efektif. Dengan komunikasi interpersonal seorang gay bisa mempresentasikan atau membuka indentitas dirinya. Komunikasi interpersonal juga menjadi tolak ukur, dimana gay bisa berkembang dan menjadi sebuah awal ikatan suatu hubungan. Dari interaksi interpersonal kemudian akan terjaddi sebuah interaksi simbolis.
Mereka melakukan interaksi simbolis yang saling dipahami dan digunakan untuk saling mengenal satu sama lain. Sebuah symbol adalah “sebuah instrument pemikiran“.  Symbol adalah konseptualisasi manusia tentang suatu hal, Interaksi simbolik ini diciptakan, dan dipahami bersama untuk saling mengenali identitas seorang gay di dalam sebuah keramaian umum maupun di keramaian komunitasnya sendiri.

1.2    Rumusan Masalah
·         Bagaimana cara berinteraksi seorang gay dengan sesama gay dalam komunikasi interpersonal ?
·         Apakah ada hubungan antara proses interaksi yang dilakukan gay dengan ketertarikan  menjalin suatu hubungan sesama gay ?
·         Dari sebuah interaksi komunikasi yang menimbulkan sebuah hubungan, bagaimana konsep diri seorang gay memposisikan dirinya sebagai “pria” atau “waanita” ?
·         Bagaimana konsep diri dari seorang gay bisa terbentuk ?
·         Bagaimana cara penerimaan diri seorang gay yang cenderung tidak diterima keberadaannya dalam lingkungan social ?

1.3    Tujuan Masalah
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji suatu interaksi interpersonal pada  sesama gay dan pembentukan konsep diri dalam penentuan jati diri seorang gay serta pengaruh proses interaksi dalam terjadinya ketertarikan untuk menjalin suatu hubungan sesama jenis sehingga memprioritaskan sebagai apa seorang gay tersebut (pria atau wanita) dalam hubungannya.

1.4    Manfaat Penelitian
1.4.1   Manfaat Teoritis
Penelitian ini dapat memberikan masukan yang bermanfaat bagi perkembangan ilmu psikologis klinis dan sosiologis, serta sosiologi komunikasi dengan memberikan tambahan data yang empiris yang teruji secara statistic, baik hipotesis tersebut terbukti ataupun tidaknya.

1.4.2   Manfaat Praktis
a.    Memberikan pengetahuan interaksi sosial kepada masyarakat tentang bagaimana menilai seorang gay atau suatu komunitas gay.
b.    Bagi kaum homoseksual (gay), membantu untuk membuat suatu perubahan diri dalam menghadapi realitas social dalam kehidupan dan membuat suatu cerminan diri dalam suatu komunikasi dalam interaksi social yang bersifat umum maupun khusus.
1.5    Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan metode fenomenologi (phenomenological philosop) yang memfokuskan kepada pemahaman mengenai respon atas kehadiran atau keberadaan manusia bukan sekedar pemahaman atas bagian-bagian yang spesifik atau perilaku khusus. Oleh karena itu, peneliti mengumpulkan data dengan observasi, studi dokumen, atau melakukan interview bersifat terbuka, lalu kemudian mendeskripsikan nya, serta memberikan interpretasi-interpretasi terhadapnya.
Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.5.1   Wawancara Mendalam
Untuk memperoleh data informasi secara akurat dari narasumber langsung sebagai data primer, peneliti melakukan metode wawancara. Wawancara adalah pengumpulan data yang dalam pelaksanaan nya adalah mengadakan tanyaa jawab terhadap orang-orang yang erat kaitannya dengan permasalahan, baik tertulis maupun lisan guna memperoleh masalah yang di teliti.
Wawancara menurut Koentjaraningrat adalah:
“Percakapan dengan maksud tertentu, yang dilakukan oleh kedua belah pihak, yaitu pewawancara (interviewer) sebagai orang yang mengajukan pertanyaan dan yang di wawancarai (interviewee) sebagai orang yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.” (Koentjaraningrat, 1996).
Wawancara dapat beberapa kali dilakukan untuk mendapatkan data-data yang benar-benar aktual. Seperti juga dalam metode penelitian lainnya, kualitatif sangat bergantung dari data di lapangan dengan melihat fakta-fakta yang ada. Data yang terus bertambah dimanfaatklan untuk verifikasi teori yang timbul dilapangan kemudian terus menerus disempurnakan selama penelitian berlangsung.
1.5.2   Studi Literatur
Peneliti juga menggunakan pencarian data melalui sumber-sumber tertulis untuk memperoleh informasi mengenai objek penelitian ini, sebagai data sekunder. Diantaranya studi literatur untuk mendapatkan kerangka teoritis dan untuk mendapatkan kerangka teoritis dan memperkaya latar belakang penelitian melalui jurnal-jurnal yang berkaitan dengan penelitian, kliping dari berbagai media cetak yang mendukung penelitian.
1.5.3   Internet Searching
Perkembangan teknologi kini telah banyak membantu dalam kegiatan penelitian. Perkembangan teknologi dijadikan sebagai alat untuk mendapatkan data yang berkaitan dengan penelitian. Internet digunakan sebagai salah satu pilihan peneliti untuk sebagai salah satu teknik pengumpulan data. Internet menjelma menjadi ensyklopedia raksasa yang memuat berbagai informasi termasuk informasi mengenai penelitian dari berbagai daerah di berbagai penjuru didunia.
Peneliti menggunakan internet searching karena didalam internet terdapat banyak bahasan dan sumber data yang beragam dan dinamis tentang perkembangan penelitian yang dalam hal ini tentang pria homoseksual (gay).
Peneliti menggunakan internet sebagai media teknologi informasi yang mendunia untuk mendapatkan informasi terbaru dan informasi yang telah ada sebelumnya. Dalam penggunaannya, peneliti mencari berbagai data yang brkenaan dengan penelitian seperti buku para ahli dari luar negeri dan lain-lain tanpa ada batasan ruang dan waktu. Teknik pengumpulan data internet searching ini sangat efektif untuk mendapatkan berbagai informasi yang kemungkinan bentuk fisiknya belum terdapat di dalam masyarakat, sehingga memungkinkan mendapatkan informasi untuk mendapatkan informasi diberbagai tempat.

1.5.4   Observasi
Cara observasi dilakukan peneliti untuk menunjang data yang telah ada. Observasi penting dilakukan agar dalam penelitian tersebut data-data yang diperoleh dari wawancara dan sumber tertulis dapat di analisis nantinya dengan melihat kecenderungan yang terjadi melalui proses dilapangan. Observasi penelitian dilakukan dengan cara mendatangi dan melihat langsung sebuah Brand di Bandung yang menggunakan tenaga pria homoseksual (gay) untuk memasarkan brand nya tersebut.
1.5.5   Dokumentasi
Dokumentasi merupakan merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumentasi dapat berupa tulisan, gambar atau karya-karya monumental seseorang.
1.5.6   Teknik Analisis Data
Dalam penelitian diperlukan tahap-tahap penelitian yang memungkinkan peneliti untuk tetap berada dijalur yang benar dan memiliki langkah-langkah yang akan diambil dalam penelitian. Tahapan-tahapan iniberguna sebagai sistematika proses penelitian yang akan mengarahkan peneliti dengan patokan jelas sebagai gambaran dari proses penelitian dan digunakan sebagai analisis data. Teknik analisis data dilakukan dengan langkah:
1)        Penyeleksian data, pemeriksaan kelengkapan dan kesempurnaan data dan serta kejelasan data. Memilah data yang didapatkan untuk dijadikan sbagai bahan laporan penelitian. Hal ini dilakukan agar data yang didapatkan sesuai dengan kebutuhan penelitian dan dianggap relevan untuk dijadikan sebagai hasil laporan penelitian. Data yang diperoleh kemungkinan tidak sejalan dengan tujuan penelitian sebelumnya, oleh karena itu penyeleksian data yang dianggap layak sangat dibutuhkan. Penyeleksian data ini juga berfungsi sebagai cara untuk dapat memfokuskan pembahasan penelitian tertentu yang dianggap menunjang.
2)        Klasifikasi data yaitu mengelompokan data dan dipilih-pilih sesuai dengan jenisnya. Klasifikasi data ini dilakukan untuk memberikan batasan pembahasan dan berusaha untuk menyusun laporannya secara tersistematis menurut klasifikasinya. Klasifikasi ini juga membantu penulis dalam memberikan penjelaan secara lebih detail dan jelas.
3)        Merumuskan hasil penelitian, Semua data yang diperoleh kemudian dirumuskan menurut pengklasifikasian data yang telah ditentukan. Rumusan hasil penelitian ini memaparkan beragam hasil yang didapat dilapangan dan berusaha untuk menjelaskan dalam bentuk laporan penelitian yang terarah dan sistematis.
4)        Menganalisa hasil penelitian, tahap akhir yang diperoleh dan berusaha membandingkan nya dengan berbagai teori atau penelitian sejenis lainnya dengan data yang diperoleh secara nyata dilapangan. Menganalisa jawaban atas penelitian yang dilakukan dan berusaha menguatkan yang ada.
5)        Penarikan kesimpulan dan saran, tahap ini mengambil satu intisari yang diperoleh selama penelitian dilakukan. Dengan penarikan kesimpulan diharapkan seluruh penelitian dapat tercakup secara menyeluruh pada bagian ini. Agar mudah di mengerti dan dipahami.


BAB II
KERANGKA TEORITIS

2.1 Tradisi Sosiokultural
Pendekatan sosiokultural terhadap teori komunikasi menunjukkan cara pemahaman kita terhadap makna, norma, peran, dan peraturan yang dijalankan secara interaktif dalam komunikasi. Teori-teori tersebut mengeksplorasi dunia interaksi yang dihuni oleh manusia, menjelaskan bahwa realitas bukanlah seperangkat susunan di luar kita, tetapi dibentuk melalui proses interaksi di dalam kelompok, komunitas, dan budaya.

       2.1.1 Gagasan Utama dari Tradisional Sosiokultural
Tradisi ini memfokuskan diri pada bentuk-bentuk interaksi antarmanusia daripada karakteristik individu atau model mental. Interaksi merupakan proses dan tempat makna, peran, peraturan, serta nilai budaya yang dijalankan. Meskipun individu memproses informasi secara kognitif, tradisi ini kurang tertarik pada komunikasi tingkat individu. Tradisi ini ingin memahami cara-cara yang didalamnya manusia bersama-sama menciptakan realitas kelompok sosial mereka, organisasi, dan budaya. Tentu saja, kategori yang digunakan oleh individu dalam memproses informasi diciptakan secara sosial dalam komunikasi, berdasarkan pada tradisi sosiokultural.
Tradisi sosiokultural cenderung menganut ide bahwa realitas itu dibentuk oleh bahasa, sehingga apa pun yang “ditemukan” harus benar- benar dipengaruhi oleh bentuk-bentuk interaksi prosedur penelitian itu sendiri. Oleh karena itu, dalam pendekatan sosiokultural , pengetahuan benar-benar dapat diinterpretasi dan dibentuk. Teori-teori tersebut cenderung berhubungan dengan bagaimana makna diciptakan dalam interaksi sosial dalam situasi nyata. Dalam penggunaan tradisi sosiokultural, tertarik dengan apa yang dibuat oleh bentuk-bentuk interaksi tersebut.
Banyak teori-teori sosiokultural juga memfokuskan pada bagaimana identitas-identitas dibangun melalui interaksi dalam kelompok sosial dan budaya. Identitas menjadi dorongan bagi diri kita sebagai individu dalam peranan sosial, sebagai anggota komunitas dan sebagai mahluk berbudaya. Para ahli sosiokultural memfokuskan diri pada bagaimana identitas dinegosiasikan dari satu situasi ke situasi lainnya. Budaya juga dilihat sebagai bagian penting atas apa yang dibuat dalam interaksi sosial. Pada gilirannya, budaya membentuk konteks bagi tindakan dan interpretasi. Komunikasi merupakan sesuatu yang terjadi diantara manusia, sehingga komunitas dianggap sangat penting dalam banyak teori tersebut.
Konteks secara eksplisit diidentifikasikan dalam tradisi ini karena penting bagi bentuk-bentuk komunikasi dan makna yang ada. Simbol-simbol yang penting dalam interaksi apa pun dianggap memiliki makna yang berbeda ketika pelaku komunikasi berpindah dari satu situasi ke situasi lainnya. Simbol dan makna yang penting bagi kelompok sosial serta budaya tertentu sangat menarik bagi para peneliti sosiokultural.

2.1.2 Keragaman Dalam Tradisi Sosiokultural
Layaknya semua tradisi, sosiokultural memiliki beragam sudut pandang yang berpengaruh, yaitu paham interaksi simbolis (symbolic interactionism), konstruksionisme (constructionism), sosiolinguistik, filosofi bahasa, etnografi, dan etnometodologi. Berdasarkan ide bahwa struktur sosial dan makna diciptakan serta dipelihara dalam interaksi soaial, paham interaksi simbolis sangat berpengaruh dalam tradisi.
a.    Paham interaksi simbolis
                        Paham interaksi simbiolis berasal dari kajian sosiologi melalui penelitian Herbert Blumer dan George Herbert Mead yang menekankan pentingnya observasi partisipan dalam kajian komunikasi sebagai cara dalam mengeksplorasi hubungan-hubungan sosial. Ide pokok paham interaksi simbolis telah diadopsi dan dielaborasi oleh banyak pakar sosial serta saat ini dimasukkan ke dalam kajian kelompok, emosi, diri, politik, dan struktur sosial.
b.    Paham kontrukstivisme sosial
Setelah hasil penelitian Peter Berger dan Thomas Luckmann, paham ini biasanya dikenal dengan istilah the social construction of reality, sudut pandang ini telah melakukan penyelidikan tentang bagaimana pengetahuan manusia dibentuk melalui interaksi sosial. Identitas benda ini dihasilkan dari bagaimana kita berbicara tentang objek, bahasa yang digunakan untuk menangkap konsep kita, dan cara-cara kelompok sosial menyesuaikan diri pada pengalaman umum mereka.
c.    Sosiolinguistik atau kajian bahasa dan budaya.
Hal penting dalam tradisi ini adalah bahwa manusia menggunakan bahasa secara berbeda dalam kelompok budaya dan kelompok sosial yang berbeda. Bukan hanya media netral untuk menghubungkan manusia, bahasa juga masuk ke dalam bentuk yang menentukan jati diri kita sebagai makhluk sosial dan berbudaya. Hal yang sangat erat kaitannya dengan sosiolinguistik adalah karya dari philosophy of language (filosofi bahasa), yang utamanya berupa “filosofi bahasa biasa”. Ludwig Wittgenstein, filsuf asal Australia yang mencetuskan sudut pandang ini, menyarankan makna bahasa bergantung pada penggunaan nyatanya. Bahasa, seperti yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari merupakan permainan bahasa karena manusia mengikuti aturan-aturan dalam mengerjakan sesuatu melalui bahasa.
d.   Etnografi
                        Etnografi adalah observasi tentang bagaimana kelompok sosial membangun makna melalui perilaku linguistik dan nonlinguistik mereka. Etnografi melihat bentuk-bentuk komunikasi yang digunakan dalam kelompok sosial tertentu, kata-kata yang mereka gunakan, dan apa maknanya bagi mereka, sebagaimana makna-makna bagi keragaman perilaku, visual, dan respons audio.
e.       Etnometodologi
Merupakan observasi yang cermat akan perilaku-perilaku kecil dalam situasi-situasi nyata. Etnometodologi terutama dihubungkan dengan ahli sosiologi Harold Garfinkel, pendekatan ini melihat bagaimana kita mengelola atau menghubungkan perilaku dalam interaksi sosial pada waktu tertentu. Dalam komunikasi, etnometodologi telah memengaruhi dalam bagaimana kita melihat percakapan, termasuk cara-cara partisipan mengelola alur percakapan dengan bahasa dan perilaku nonverbal.

2.2 Komunikasi Interpersonal
2.2.1 Definisi dan Peranan Komunikasi Antarpribadi
Terdapat beberapa definisi komunikasi antarpribadi menurut beberapa ahli, diantaranya adalah: 
a.    Menurut Joseph A.Devito dalam bukunya The Interpersonal Communication Book (Devito, 1989:4), komunikasi antarpribadi adalah proses pengiriman dan penerimaan pesan-pesan antara dua orang atau di antara sekelompok kecil orang-orang, dengan beberapa efek dan beberapa umpan balik seketika (the process of sending and receiving messages between two persons, or among a small group of persons, with some effect and some immediate feedback).
b.    Menurut Rogers dalam Depari, komunikasi antarpribadi merupakan komunikasi dari mulut ke mulut yang terjadi dalam interaksi tatap muka antara beberapa pribadi.
c.    Tan mengemukakan bahwa komunikasi antarpribadi adalah komunikasi tatap muka antara dua orang atau lebih. (Liliweri, 1991: 12). Komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang menimbulkan efek tertentu sesuai dengan tujuan yang diharapkan oleh komunikator. Efek yang ditimbulkan oleh komunikasi dapat diklasifikasikan pada:
1.    Efek kognitif, yaitu bila ada perubahan pada apa yang diketahui, dipahami, dipersepsi oleh komunikan atau yang berkaitan dengan pikiran dan nalar/rasio. Dengan kata lain, pesan yang disampaikan ditujukan kepada pikiran komunikan.
2.    Efek afektif, yaitu bila ada perubahan pada apa yang dirasakan atau yang berhubungan dengan perasaan. Dengan kata lain, tujuan komunikator bukan saja agar komunikan tahu tapi juga tergerak hatinya.
3.    Efek konatif, yaitu perilaku yang nyata yang meliputi pola-pola tindakan, kegiatan, kebiasaan, atau dapat juga dikatakan menimbulkan itikad baik untuk berperilaku tertentu dalam arti kita melakukan suatu tindakan atau kegiatan yang bersifat fisik (jasmaniah).
Dalam buku Komunikasi Antarpribadi, Alo Liliweri mengutip pendapat Joseph A.Devito mengenai ciri komunikasi antarpribadi yang efektif, yaitu:
a.         Keterbukaan (openness)
Kemauan menanggapi dengan senang hati informasi yang diterima di dalam menghadapi hubungan antarpribadi. Kualitas keterbukaan mengacu pada tiga aspek dari komunikasi interpersonal. Pertama, komunikator interpersonal yang efektif harus terbuka kepada komunikannya. Ini tidaklah berarti bahwa orang harus dengan segera membukakan semua riwayat hidupnya. Memang ini mungkin menarik, tetapi biasanya tidak membantu komunikasi. Sebalikanya, harus ada kesediaan untuk membuka diri mengungkapkan informasi yang biasanya disembunyikan, asalkan pengungkapan diri ini patut dan wajar. Aspek kedua mengacu pada kesediaan komunikator untuk bereaksi secara jujur terhadap stimulus yang datang. Orang yang diam, tidak kritis, dan tidak tanggap pada umumnya merupakan komunikan yang menjemukan. Bila ingin komunikan bereaksi terhadap apa yang komunikator ucapkan, komunikator dapat memperlihatkan keterbukaan dengan cara bereaksi secara spontan terhadap orang lain. Aspek ketiga menyangkut kepemilikan perasaan dan pikiran dimana komunikator mengakui bahwa perasaan dan pikiran yang diungkapkannya adalah miliknya dan ia bertanggung jawab atasnya.
b. Empati (empathy)
Empati adalah kemampuan seseorang untuk mengetahui apa yang sedang dialami orang lain pada suatu saat tertentu, dari sudut pandang orang lain itu, melalui kacamata orang lain itu. Berbeda dengan simpati yang artinya adalah merasakan bagi orang lain. Orang yang berempati mampu memahami motivasi dan pengalaman orang lain, perasaan dan sikap mereka, serta harapan dan keinginan mereka untuk masa mendatang sehingga dapat mengkomunikasikan empati, baik secara verbal maupun non-verbal.
c. Dukungan (supportiveness)
Situasi yang terbuka untuk mendukung komunikasi berlangsung efektif. Hubungan interpersonal yang efektif adalah hubungan dimana terdapat sikap mendukung. Individu memperlihatkan sikap mendukung dengan bersikap deskriptif bukan evaluatif, spontan bukan strategik.
d.   Rasa Positif (positiveness)
Seseorang harus memiliki perasaan positif terhadap dirinya, mendorong orang lain lebih aktif berpartisipasi, dan menciptakan situasi komunikasi kondusif untuk interaksi yang efektif.

e.    Kesetaraan (equality)
Komunikasi antarpribadi akan lebih efektif bila suasananya setara. Artinya, ada pengakuan secara diam-diam bahwa kedua belah pihak menghargai, berguna, dan mempunyai sesuatu yang penting untuk disumbangkan. Kesetaraan meminta kita untuk memberikan penghargaan positif tak bersyarat kepada individu lain. (Liliweri, 1991: 13)
Komunikasi antarpribadi sebenarnya merupakan suatu proses sosial dimana orang-orang yang terlibat di dalamnya saling mempengaruhi. Proses saling mempengaruhi ini merupakan suatu proses bersifat psikologis dan karenanya juga merupakan permulaan dari ikatan psikologis antarmanusia yang memiliki suatu pribadi.
Dalam komunikasi antar pribadi, Joseph Luft menekankan bahwa setiap orang bisa mengetahui dan tidak mengetahui tentang dirinya, maupun orang lain. Hal ini digambarkan dalam Johari Window (Jendela Johari) yakni:

I
OPEN AREA
Known by ourselves and known by others
II
BLIND AREA
Known by others but not known by ourselves
III
HIDDEN AREA
Known by ourselves but not known by others
IV
UNKNOWN AREA
Not known by ourselves and not known by others

Berdasarkan konsep tersebut, tingkah laku manusia dapat digambarkan secara skematis seperti terlihat pada skema di atas.
Bidang I, yakni Bidang Terbuka (Open Area) menunjukkan bahwa kegiatan yang dilakukan oleh seseorang disadari sepenuhnya oleh yang bersangkutan, juga oleh orang lain, yang berarti terdapat keterbukaan, dengan lain perkataan tidak ada yang disembunyikan kepada orang lain.
Bidang II, yakni Bidang Buta (Blind Area) menggambarkan bahwa kegiatan seseorang diketahui oleh orang lain, tetapi dirinya sendiri tidak menyadari apa yang ia lakukan.
Bidang III, yakni Bidang Tersembunyi (Hidden Area) yaitu bahwa kegiatan yang dilakukan oleh seseorang disadari sepenuhnya olehnya, tetapi tidak dapat diketahui oleh orang lain. Ini berarti bahwa orang seperti itu bersikap tertutup.
Bidang IV, adalah Bidang Tak Dikenal (Unknown Area). Bidang ini menggambarkan bahwa tingkah laku seseorang tidak disadari oleh dirinya sendiri dan tidak diketahui oleh orang lain. (Liliweri, 1991) Berdasarkan definisi Devito, maka komunikasi antarpribadi adalah komunikasi yang terjadi secara dialogis, dimana saat seorang komunikator berbicara maka akan terjadi umpan balik dari komunikan sehingga terdapat interaksi. Dalam komunikasi dialogis, baik komunikator maupun komunikan, keduanya aktif dalam proses pertukaran informasi yang berlangsung dalam interaksi
2.2.2 Ciri dan Sifat Komunikasi Antarpribadi
Dari beberapa definisi komunikasi harus ditinjau manakah ciri-ciri yang menunjukkan perbedaan yang khas antara komunikasi antarpribadi dengan bentuk komunikasi yang lain. Dari berbagai sumber di atas, maka Alo Liliweri menyimpulkan bahwa komunikasi antarpribadi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1.      Komunikasi antarpribadi biasanya terjadi secara spontan dan terjadi sambil lalu saja.
2.      Komunikasi antarpribadi tidak mempunyai tujuan terlebih dahulu. Kebanyakan komunikasi antarpribadi tidak mempunyai satu tujuan yang diprogramkan terlebih dahulu, seperti pertemuan di ruang perpustakaan kemudian merencanakan belajar bersama, saling mengajak makan bersama setelah bertemu di rumah makan. Namun bisa saja komunikasi antarpribadi telah dijanjikan dan mempunyai tujuan terlebih dahulu, namun konteksnya berbeda dengan komunikasi kelompok.
3.      Komunikasi antarpribadi terjadi secara kebetulan di antara peserta yang tidak mempunyai identitas yang jelas.
4.      Komunikasi antarpribadi mempunyai akibat yang disengaja maupun yang tidak disengaja
5.      Komunikasi antarpribadi seringkali berlangsung berbalas-balasan
6.      Komunikasi antarpribadi menghendaki paling sedikit melibatkan hubungan dua orang dengan suasana yang bebas, bervariasi, adanya keterpengaruhan.
7.      Komunikasi antarpribadi tidak dikatakan sukses jika tidak membuahkan hasil
8.      Komunikasi antarpribadi menggunakan lambang-lambang bermakna (Liliweri, 1991: 13-19)
Komunikasi antarpribadi dari mereka yang saling mengenal lebih bermutu karena setiap pihak mengetahui secara baik tentang lika-liku hidup pihak lain, pikiran dan pengetahuannya, perasaannya, maupun menanggapi tingkah laku seseorang. Mereka yang sudah saling mengenal secara mendalam memiliki interaksi komunikasi yang lebih baik daripada yang belum mengenal. Kesimpulannya bahwa jika hendak menciptakan suatu komunikasi antarpribadi yang lebih bermutu maka harus didahului dengan suatu keakraban.
Bagaimanapun juga suatu batasan pengertian yang benar-benar baik tentang komunikasi antarpribadi tidak ada yang memuaskan semua orang. Semua batasan arti sangat tergantung bagaimana kita melihat dan mengetahui perilakunya. Dengan kata lain tidak semua bentuk interaksi yang dilakukan antara dua orang dapat digolongkan komunikasi antarpribadi.
Ada tahap-tahap tertentu dalam interaksi antara dua orang haruslah terlewati untuk menentukan komunikasi antarpribadi benar-benar dimulai. Ada tujuh sifat yang menunjukkan bahwa suatu komunikasi antara dua orang merupakan komunikasi antarpribadi. Sifat-sifat komunikasi antarpribadi itu adalah:
1.    Komunikasi antarpribadi melibatkan di dalamnya perilaku verbal dan nonverbal
2.    Komunikasi antarpribadi melibatkan pernyataan atau ungkapan yang spontan
3.    Komunikasi antarpribadi tidaklah statis melainkan dinamis
4.    Komunikasi antarpribadi melibatkan umpan balik pribadi, hubungan interaksi dan koherensi (pernyataan yang satu harus berkaitan dengan yang lain sebelumnya)
5.    Komunikasi antarpribadi dipandu oleh tata aturan yang bersifat intrinsik dan ekstrinsik
6.    Komunikasi antarpribadi merupakan suatu kegiatan dan tindakan
7.    Komunikasi antarpribadi melibatkan di dalamnya bidang persuasif (Liliweri, 1991:30-31)

2.3 Interaksionisme Simbolik
Berdasarkan pendekatan sosiokultural yang telah dijelaskan diatas, ada beragam pandang yang berpengaruh, yaitu paham interaksi simbolis (symbolic interactionism), konstruksionisme (constructionism), sosiolinguistik, filosofi bahasa, etnografi, dan etnometodologi. Dalam penelitian ini, kamu lebih menitikberatkan pembahasan mengenai interaksionisme simbolik.
Selama awal perkembangannya, teori interaksi simbolik seolah-olah tetap tersembunyi di belakang dominasi teori fenomenologisme dari Talcott Parsons. Namun kemunduran fungsionalisme tahun 1950-an dan 1960-an mengakibatkan interaksionisme simbolik muncul kembali ke permukaan dan berkembang pesat hingga saat ini. Selama tahun 1960-an tokoh-tokoh interaksionisme simbolik seperti Howard S. Becker dan Erving Goffman menghasilkan kajian-kajian interpretif yang menarik dan menawarkan pandangan alternatif yang sangat memikat mengenai sosialisasi dan hubungan antara individu dan masyarakat (Mulyana, 2001 : 59).
Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orag lain yang menjadi mitra interaksi mereka. Definisi yang mereka berikan kepada orang lain, situasi,  objek dan bahkan diri mereka sendirilah yang menentukan perilaku mereka.  Perilaku mereka tidak dapat digolongkan sebagai kebutuhan, dorongan impuls,  tuntutan budaya atau tuntutan peran.  Manusia bertindak hanyalah berdasarkan  definisi atau penafsiran mereka atas  objek-objek di sekeliling mereka. Tidak  mengherankan bila frase-frase “definisi situasi” , “realitas terletak pada mata yang  melihat” dan “bila manusia mendefinisikan situasi sebagai riil, situasi tersebut riil dalam konsekuensinya” sering dihubungkan  dengan interaksionisme simbolik (Mulyana, 2001:70).
Mengikuti hasil kajian Paloma (1984), perspektif interaksionisme simbolik yang disampaikan Blumer mengandung beberapa ide dasar seperti berikut ini:
a.    Masyarakat terdiri dari manusia yang berinteraksi. Kegiatan tersebut saling bersesuaian melalui tindakan bersama, membentuk struktur sosial.
b.    Interaksi terdiri dari berbagai kegiatan manusia yang berhubungan dengan kegiatan manusia lain. Interaksi non-simbolis mencakup stimulasi respon, sedangkan interaksi simbolis mencakup penafsiran tindakan-tindakan.
c.    Objek-objek tidak mempunyai makna yang intrinstik. Makna lebih merupakan produk interaksi simbolis. Objek-objek tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori, yaitu objek fisik, objek sosial, dan objek abstrak.
d.   Manusia tidak hanya mengenal objek eksternal, mereka juga dapat melihat dirinya sebagai objek.
e.    Tindakan mausia adalah tindakan interpretatif yang dibuat manusia itu sendiri.
f.     Tindakan tersebut saling dikaitkan dan disesuaikan oleh anggota-anggota kelompok. Ini merupakan “tindakan bersama”. Sebagian besar “tindakan bersama” tersebut dilakukan secara berulang-ulang. Namun dalam kondisi yang stabil. Dan di saat lain ia bisa melahirkan suatu kebudayaan. (Soeprapto, 2002: 124)
Teori Interaksi Simbolik menempatkan sudut pandang mansuia sebagai subjek. Dalam bukunya Mind, Self and Society, sebagaimana dikutip Soeprapto (2002: 115), Mead memandang bahwa individu merupakan makhluk sensitif dan aktif. Karena itu, individu bukanlah budak masyarakat, melainkan individulah yang membentuk masyarakat itu. Dengan demikian, pikiran manusia (mind), dan interaksi sosial (diri/self) digunakan untuk menginterpretasikan dan memediasi masyarakat (society) (Elvinaro, 2007:136).

1.    Pikiran (Mind)
Pikiran, yang didefinisikan Mead sebagai proses percakapan seseorang dengan dirinya sendiri, tidak ditemukan di dalam diri individu, pikiran adalah fenomena sosial. Pikiran muncul dan  berkembang dalam proses sosial dan merupakan bagian integral dari proses sosial. Proses sosial mendahului pikiran, proses sosial bukanlah produk dari pikiran. Jadi pikiran juga didefinisikan secara fungsional ketimbang secara substantif. Karakteristik istimewa dari pikiran adalah kemampuan individu untuk memunculkan dalam dirinya sendiri tidak hanya satu respon saja, tetapi juga respon komunitas secara keseluruhan. Itulah yang kita namakan pikiran. Melakukan sesuatu berarti memberi respon terorganisir tertentu, dan bila seseorang mempunyai respon itu dalam dirinya, ia mempunyai apa yang kita sebut pikiran. Dengan demikian pikiran dapat dibedakan dari konsep logis lain seperti konsep ingatan dalam karya Mead melalui kemampuannya menanggapi komunitas secara menyeluruh dan mengembangkan tanggapan terorganisir. Mead juga melihat pikiran secara pragmatis. Yakni, pikiran melibatkan proses berpikir yang mengarah pada penyelesaian masalah (Ritzer & Goodman, 2004:280).

2. Diri (Self)
Banyak pemikiran Mead pada umumnya, dan khususnya tentang pikiran, melibatkan gagasannya mengenai konsep diri. Pada dasarnya  diri adalah  kemampuan untuk menerima diri sendiri sebagai sebuah objek. Diri adalah  kemampuan khusus untuk menjadi subjek maupun objek. Diri mensyaratkan proses sosial yakni komunikasi antar  manusia. Diri muncul dan berkembang melalui aktivitas dan antara hubungan sosial. Menurut Mead adalah mustahil membayangkan diri yang muncul dalam ketiadaan pengalaman sosial. Tetapi, segera setelah diri berkembang, ada kemungkinan baginya untuk terus ada tanpa kontak sosial.  Diri berhubungan secara dialektis dengan pikiran. Artinya, di satu pihak Mead menyatakan bahwa tubuh bukanlah diri dan baru akan menjadi diri bila pikiran telah berkembang. Di lain pihak, diri dan refleksitas adalah penting bagi perkembangan pikiran. Memang mustahil  untuk memisahkan pikiran dan diri karena diri adalah proses mental. Tetapi, meskipun kita membayangkannya sebagai proses mental, diri adalah sebuah proses sosial. Dalam pembahasan mengenai diri, Mead menolak gagasan yang meletakkannya dalam kesadaran dan sebaliknya meletakkannya dalam pengalaman sosial dan proses sosial. Dengan cara ini Mead mencoba memberikan arti behavioristis tentang diri. Diri adalah di mana orang memberikan tanggapan terhadap apa yang ia tujukan kepada orang lain dan dimana tanggapannya sendiri menjadi bagian dari tindakannya, di mana ia tidak hanya mendengarkan dirinya sendiri, tetapi juga merespon dirinya sendiri,  berbicara dan menjawab dirinya sendiri sebagaimana orang lain menjawab kepada dirinya, sehingga kita mempunyai perilaku di mana individu menjadi objek untuk dirinya sendiri. Karena itu diri adalah aspek lain dari proses sosial menyeluruh di mana individu adalah bagiannya. Mekanisme umum untuk mengembangkan diri adalah refleksivitas atau kemampuan menempatkan diri secara tak sadar ke dalam tempat orang lain dan bertindak seperti mereka bertindak. Akibatnya, orang mampu memeriksa diri sendiri sebagaimana orang lain memeriksa diri mereka sendiri. Seperti dikatakan Mead:
“Dengan cara merefleksikan, dengan mengembalikan pengalaman individu pada dirinya sendiri keseluruhan proses sosial menghasilkan pengalaman individu yang terlibat di dalamnya;  dengan cara demikian, individu bisa menerima sikap orang lain terhadap dirinya, individu secara sadar mampu menyesuaikan dirinya sendiri terhadap proses sosial dan mampu mengubah proses yang dihasilkan dalam tindakan sosial tertentu dilihat dari sudut penyesuaian dirinya terhadap tindakan sosial itu.”
 Diri juga memungkinkan orang berperan dalam percakapan dengan orang lain. Artinya, seseorang menyadari apa yang dikatakannya dan akibatnya mampu menyimak apa yang sedang dikatakan dan menentukan apa yang akan dikatakan selanjutnya. Untuk mempunyai diri, individu harus mampu mencapai keadaan “di luar dirinya sendiri” sehingga mampu mengevaluasi diri sendiri, mampu menjadi objek bagi dirinya sendiri. Untuk berbuat demikian, individu pada dasarnya harus menempatkan dirinya sendiri dalam bidang pengalaman yang sama dengan orang lain. Tiap orang adalah bagian penting dari situasi yang dialami bersama dan tiap orang harus memperhatikan diri sendiri  agar mampu bertindak rasional dalam situasi tertentu. Dalam bertindak rasional ini mereka mencoba memeriksa diri sendiri secara impersonal, objektif, dan tanpa emosi. Tetapi, orang tidak dapat mengalami diri sendiri secara langsung. Mereka hanya dapat melakukannya secara tak langsung melalui penempatan diri mereka sendiri dari sudut pandang orang lain  itu. Dari sudut pandang demikian orang memandang dirinya sendiri dapat menjadi individu khusus atau menjadi kelompok sosial sebagai satu kesatuan. Seperti dikatakan Mead, hanya dengan mengambil peran orang lainlah kita mampu kembali ke diri kita sendiri (Ritzer & Goodman, 2004:280-282).

3. Masyarakat (Society)
Pada tingkat paling umum, Mead  menggunakan istilah masyarakat (society) yang berarti proses sosial tanpa henti yang mendahului pikiran dan diri. Masyarakat penting perannya dalam membentuk pikiran dan diri. Di tingkat lain, menurut Mead, masyarakat mencerminkan sekumpulan tanggapan terorganisir yang diambil alih oleh individu dalam bentuk “aku” (me). Menurut pengertian individual ini masyarakat mempengaruhi mereka, memberi mereka kemampuan melalui kritik diri, untuk mengendalikan diri mereka sendiri. Sumbangan terpenting Mead tentang masyarakat,  terletak dalam pemikirannya mengenai pikiran dan diri. Pada tingkat kemasyarakatan yang lebih khusus, Mead mempunyai sejumlah pemikiran tentang pranata sosial (social institutions). Secara luas, Mead mendefinisikan pranata sebagai “tanggapan bersama dalam komunitas” atau “kebiasaan hidup komunitas”. Secara lebih khusus, ia mengatakan bahwa, keseluruhan tindakan komunitas tertuju pada individu berdasarkan keadaan tertentu menurut cara yang sama, berdasarkan keadaan itu pula, terdapat respon yang sama dipihak komunitas. Proses ini disebut “pembentukan pranata”.
Pendidikan adalah proses internalisasi kebiasaan bersama komunitas ke dalam diri aktor. Pendidikan adalah  proses yang esensial karena menurut pandangan Mead, aktor tidak mempunyai diri dan belum menjadi anggota komunitas sesungguhnya sehingga mereka tidak mampu menanggapi diri mereka sendiri seperti yang dilakukan komunitas yang lebih luas. Untuk berbuat demikian, aktor harus menginternalisasikan sikap bersama komunitas. Namun, Mead dengan hati-hati mengemukakan bahwa pranata tak selalu menghancurkan individualitas atau melumpuhkan kreativitas. Mead mengakui adanya pranata sosial yang “menindas,  stereotip, ultrakonservatif” yakni, yang dengan kekakuan, ketidaklenturan, dan ketidakprogesifannya menghancurkan atau melenyapkan individualitas. Menurut Mead, pranata sosial seharusnya hanya menetapkan apa yang sebaiknya dilakukan individu dalam pengertian yang sangat luas dan umum saja, dan seharusnya menyediakan ruang yang cukup bagi individualitas dan kreativitas. Di sini Mead menunjukkan konsep pranata sosial yang sangat modern, baik sebagai pemaksa individu maupun sebagai yang memungkinkan mereka untuk menjadi individu yang kreatif (Ritzer & Goodman, 2004:287-288).
Pandangan interaksi simbolik sebagaimana diakui Mulyana (2002: 70) menyarankan bahwa perilaku seseorang itu sewajarnya dipelajari sebagai proses yang membentuk dan mengatur perilakunya sendiri sekaligus mempertimbangkan harapan-harapan orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka. Seseorang itu mendefinisikan perilaku orang lain, situasi, objek, dan bahkan diri mereka sendiri. Dari pemahaman teori ini menghasilkan pencitraan manusia yang dinamis, anti-determinasi dan penuh dengan optimisme. Herbert Blumer mengemukakan tiga premis utama yang mendasari teori interaksionisme simbolis (Soeprapto, 2002: 120-121), yaitu:
a.       Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka.
b.      Makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan dengan orang lain.
c.       Makna-makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial sedang berlangsung.
Menurut Blumer, teori interaksi simbolik merujuk pada interaksi khusus yang berlangsung antar manusia. Aktor tidak akan beraksi begitu rupa atas tindakan orang lain, melainkan ia menafsirkan dan mendefinisikan setiap tindakan orang lain itu dengan makna tertentu. Oleh karena itu, esensi interaksi simbolik menurut Mulyana (2002: 68) adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Dalam konteks berkomunikasi, seorang aktor akan memilih, memeriksa, berpikir, mengelompokkan dan mentransformasikan makna dalam kaitannya dengan situasi di mana dan ke mana arah tindakannya dimaksudkan. Akan tetapi, situasi demikian tidak berarti seseorang itu selalu dilingkupi objek-objek potensial yang mempermainkannya dan membentuk perilakunya. Sebaliknya, individu itu justru yang membentuk objek-objek tersebut (Soeprapto, 2002: 121). Sebagaimana diterangkan Veeger (1993: 224-228) bahwa teori interaksi simbolik Blumer sebenarnya melanjutkan gagasan-gagasan Mead yang bertumpu pada lima hal, yaitu:
a.       Konsep Diri. Manusia merupakan organisme yang dilengkapi dengan kesadaran akan dirinya (an organism having a self). Ia memiliki kemampuan untuk mempelajari, berinteraksi dan sibuk dengan dirinya sendiri.
b.      Konsep Perbuatan. Konsep ini memperlihatkan bahwa perbuatan manusia itu dibentuk dalam dan melalui proses interaksi dengan dirinya sendiri. Perbuatan demikian menjadi khas atau unik.
c.       Konsep Objek. Manusia hidup di tengah berbagai hal yang menjadi perhatian aktif dirinya. Dis sini, hakikat objek tidak ditentukan oleh ciri-ciri instrinsik objek itu, melainkan ditentukan oleh pencitraan diri orang itu atas objek-objek tersebut.
d.      Konsep Interaksi Sosial. Manusia itu berusaha menempatkan dirinya dalam posisi orang lain. Mereka mencari, memahami dan menafsirkan arti dari suatu aksi yang diberikan orang lain untuk kemudian bertindak sesuai dengan arti tersebut. Dari sini muncul transaksi yang nilainya melebihi jumlah total unsur-unsur maksud, tujuan dan sikap masing-masing pihak.
e.       Konsep Joint Action. Konsep ini menunjukkan aksi kolektif yang lahir karena tindakan saling menyerasikan antara satu (seseorang) dengan lainnya. Menurut Blumer joint action mempunyai karir yakni mengalami perkembangan dan memerlukan waktu, sehingga organisasi bisa menghadapi kebimbangan, ketidakpastian, ketergantungan dan perubahan (Veeger, 1993: 227).
Implikasi pemahaman teori interaksi simbolik memperlihatkan bahwa realitas kehidupan sosial (masyarakat atau organisasi/sekolah), benar-benar amat tergantung pada keterlibatan aktif anggota dalam berinteraksi atau berkomunikasi. Peran diri seorang pengawas/penilikpun menjadi demikian penting dalam mewujudkan realitas perubahan sosialnya. Realitas perubahan itu sendiri merupakan suatu bentuk konstruksi sosial; entitas masyarakat yang aktif; muncul dari orang-orang yang berpikir; tumbuh dan terbentuk melalui kontak-kontak intensif; sebagai konsekuensi-konsekuensi logis; bahkan karir dari suatu joint action. Komunikasi interpersonal yang menyertai bekerjanya seorang pengawas/penilik menjadi keniscayaan (proses) sosial yang dinamis. Komunikasi tersebut menjadi demikian strategis sebagai karir dalam membentuk keteraturan segala tindakan pekerjaannya. Komunikasi tidak lagi cukup diungkapkan sebagai interaksi pengurusan pesan yang bersifat informatif dan terbatas. Komunikasi interpersonal itu memiliki makna yang karenanya bersifat transaktif, transformatif dan kultural.
Sumber: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28798/4/Chapter%20II.pdf
eprints.upnjatim.ac.id/3318/2/file2.pdf

2.4 Konsep Diri
2.4.1 Pengertian Konsep Diri
Konsep diri merupakan gambaran yang bersifat individu dan sangat pribadi, dinamis dan evaluatif yang masing-masing orang mengembangkannya didalam transaksi-transaksinya dengan lingkungan kejiwaannya dan yang dia bawa-bawa didalam perjalanan hidupnya. Konsep diri adalah suatu gambaran campuran dari apa yang kita pikirkan, pendapat orang mengenai diri kita dan seperti apa diri kita inginkan. Secara umum disepakati konsep diri belum ada sejak lahir, konsep diri dipelajari melalui kontak sosial dan pengalaman berhubungan dengan orang lain. Pandangan individu tentang dirinya dipengaruhi oleh bagaimana individu mengartikan pandangan orang lain terhadap dirinya. Konsep diri merupakan konsep dasar dan aspek kritikal dari individu.
Individu dengan konsep diri yang positif dapat berfungsi lebih efektif yang terlihat dari kemampuan interpersonal, kemampuan intelektual dan penguasaan lingkungan. Konsep diri yang negatif dapat dilihat dari hubungan individu dan sosial yang maladaptive.
Tingkah laku tidak hanya dipengaruhi oleh pengalaman-pengalamman masa lalu dan saat ini tetapi oleh makna-makna pribadi yang masing-masing individu pada persepsinya mengenai pengalaman tersebut. Dunia individu yang sangat berarti ini yang dengan kuatnya mempengaruhi tingkah laku.
Tingkah laku seseorang merupakan hasil bagaimana dia mengamati situasi dan dirinya sendiri. Konsep diri merupakan sebuah organisasi yang yang stabil dan berkarakter yang disusun dari persepsi-persepsi yang tampaknya bagi individu yang bersangkutan.
William D. Brooks di dalam buku Drs. Jalaludin Rakhmat yang berjudul “Psikologi Komunikasi” mendefinisikan konsep diri sebagai “those physical, social, and psychologicalperceptions of ourselve that we have derived from experiences and our interaction with other.” (Rakhmat, 2009: 99). Jadi konsep diri adalah pandangan dan perasaan tentang diri kita. Persepsi tentang diri ini boleh bersifat psikologi, sosial dan fisis.
2.4.2 Komponen Konsep Diri
Konsep diri memiliki lima komponen yaitu:
1.    Gambaran diri (body image)
Gambaran diri adalah sikap seseorang terhadap tubuhnya secara sadar dan tidak sadar. Sikap ini mencakup persepsi dan perasaaan tentang ukuran dan bentuk, fungsi, penampilan dan potensi tubuh saat ini dan masa lalu. Gambaran diri berhubungan erat dengan kepribadian. Cara individu memandang diri mempunyai dampak yang penting pada aspek psikologisnya. Pandangan diri yang realistik terhadap diri, menerima dan menyukai bagian tubuh akan memberi rasa aman sehingga terhindar dari rasa cemas dan meningkatkan harga diri. Individu yang yang stabil, realistic dan konsisteen terhadap gambaran dirinya akan memperlihatkan kemampuan mantap terhadap realisasi yang akan memacu sukses didalam kehidupannya.
2.    Ideal diri
Ideal diri adalah persepsi individu tentang bagaimana ia harus berperilaku sesuai dengan standar pribadi (Stuart & Sundeen, 375: 1991). Standar dapat berhubungan dengan tipe orang yang diinginkannya atau sejumlah aspirasi, cita-cita, nilai yang ingin dicapai. Ideal diri hendaknya ditetapkan tidak terlalu tinggi tapi masih lebih tinggi dari kemampuan agar tetap menjadi pendorong dan masih dapat dicapai. Ideal diri masing-masing individu perlu ditetapkan, apa yang ingin di capai/cita-citakan baik ditinjau dari pribadi maupun masyarakat.
3.    Harga diri
Harga diri adalah penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisa seberapa jauh perilaku mengetahui ideal diri (Stuard & Sundeen, 376: 1991). Frekuensi pencapaian tujuan akan menghasilkan harga diri jika individu selalu sukses maka cenderung harga diri akan tinggi, jika individu sering gagal maka cenderung harga diri akan rendah. Harga diri diperoleh dari diri sendiri dan orang lain. Aspek utama adalah dicintai dan menerima penghargaan dari orang lain. Sebagai mahluk sosial sikap negatif harus dikontrol sehingga setiap orang yang bertemu dengan diri kita dengan sikap yang positif merasa dirinya berharga. Harga diri akan rendah apabila kehilangan rasa kasih sayang dan penghargaan dari orang lain.
4.    Peran
Peran adalah pola sikap, perilaku, nilai dan tujuan yang diharapkan dari seseorang berdasarkan posisinya dimasyarakat. Harga diri yang tinggi merupakan hasil dari peran yang memenuhi kebutuhan dan cocok dengan ideeal diri. Posisi atau status di masyarakat dapat merupakan stressor terhadap peran. Stres peran terdiri dari konflik peran, peran yang tidak jelas, peran yang tidak sesuai dan peran yang terlalu banyak. Banyak faktor yang mempengaruhi dalam menyesuaikan diri dengan peran yang dilakukan yaitu kejelasan perilaku dan pengetahuan yang sesuai dengan peran, konsistensi respon orang yang berarti terhadap peran yang dilakukan, kesesuaian dan keseimbangan antar peran yang diemban, keselarasan budaya dan harapan individu terhadap perilaku peran dan pemisahan situasi yang akan menciptakan ketidak sesuaian perilaku peran.
5.    Identitas diri
Identitas diri adalah kesadaran akan diri sendiri yang bersumber dari observasi dan penilaian, yang merupakan sintesa dari semua aspek konsep dirisebagai suatu kesatuan utuh (Stuard & Sundeen, 378 : 1991). Seseorang yang mempunyai perasaan identitas diri yang kuat maka akan memandang dirinya berbeda dengan orang lain, unik dan tidak ada duanya. Individu yang memiliki identitas diri yang kuat akan memandang dirinya sebagai suatu kesatuan yang utuh dan terpisah dari orang lain dan individu tersebut akan mempertahankan identitasnya walau dalam kondisi sesulit apapun.
2.4.3   Konsep Diri Berdasarkan Kebutuhan
Menurut Abraham Masllow masing-masing individu memiliki lima kebutuhan dasar manusia, yang disususn sesuai dengan hirarkinya dari yang potensial samapai yanga paling tidak potensial:
1. Kebutuhan-kebutuhan fisiologis, seperti lapar dan haus.
2. Kebutuhan-kebutuhan terhadap rasa aman.
3. Kebutuhan-kebutuhan akan kasih sayang.
4. Kebutuhan penghargaan terhadap diri.
5. Kebutuhan aktualisasi diri. Kebutuhan aktualisasi diri mengakibatkan suatu usaha untuk mengembangkan kapasitas-kapasitas seseorang, pemahaman diri dan penerimaan diri yang terus diilakukan dan ditanamkan pada ‘sifat dalam’ diri seseorang.
2.4.4   Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Konsep Diri
1.    Orang Lain
Gabriel Marcell, filsuf eksistensialis dari dalam buku Drs. Jalaludin Rakhmat yang Berjudul psikologi komunikasi menulis tentang peranan orang lain dalam memahami diri kita, “The fact is that the we can understand ourselve by starting from the other, or from others, and only by starting from them” kita mengenal diri kita dengan mengenal diri orang lain terlebih dahulu. Bagaimana anda menilai saya akan membentuk konsep diri saya. (Rakhmat, 2009: 101)
2.  Kelompok Rujukan
Setiap kelompok mempunyai norma-norma tertentu. Ada kelompok yang secara emosional mengikat kita dan berpengaruh terhadap pembentukan konsep diri seseorang, ini disebut dengan kelompok rujukan. Dengan melihat kelompok ini, orang mengarahkan perilakunya dan menyesuaikan dirinya dengan ciri-ciri kelompoknya.
Orang yang memiliki konsep diri positif ditandai dengan lima hal yaitu:
a.     Ia yakin akan kemampuannya mengatasi masalah.
b.    Ia merasa setara dengan orang lain.
c.     Ia menerima pujian tanpa rasa malu.
d.    Ia menyadari, bahwa setiap orang memiliki berbagai perasaan, keinginan dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui masyarakat.
e.     Ia mampu memperbaiki dirinya karena ia sanggup mengungkapkan aspek-aspek kepribadian yang tidak disenangi dan berusaha sebaliknya (Rakhmat, 2009: 105)
Dan ada empat tanda orang yang memiliki konsep diri negatif yaitu:
a.    Ia peka terhadap kritik. Orang ini sangat tidak terima dengan kritikan yang diterimanya.
b.    Responsitif sekali terhadap pujian. Berpura-pura menghindari pujian, ia tidak dapat menyembunyikan atusiasmenya pada waktu menerima pujian.
c.    Cenderung merasa tidak disenangi oleh orang lain.4. Bersikap pesimis terhadap kompetisi seperti terungkap dalam keengganannya untuk bersaing dengan orang lain dalam membuat prestasi (Rakhmat, 2009: 105)
Konsep diri merupakan dasar dari perilaku seseorang, oleh karena itu konsep diri memegang peranan penting dalam menentukan keberhasilan dari individu. Dengan adanya konsep diri yang positif maka individu akan dapat melihat kelebihan dan kelemahan dirinya, mempunyai harga diri yang sesuai serta memiliki identitas diri yang jelas sehingga individu akan peka terhadap dirinya dan lingkungan sekitarnya. Tingkah laku tidak dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman masa lalu dan saat ini, tetapi makna-makna pribadi pada masingmasing individu ikut mempengaruhi.
Makna pribadi bisa diartikan sifat-sifat yang dimiliki individu, dimana sifat pribadi ini merupakan salah satu faktor yang diturunkan. Salah satu faktor yang mempengaruhi konsep diri seseorang adalah lingkungan. Penghargaan lingkungan akan sangat berpengaruh terhadap konsep diri individu, karena individu akan merasa dihargai, dipertimbangkan dan dibutuhkan keberadaannya. Bentuk konkret dari penghargaan lingkungan terhadap diri yaitu dengan diberikannya status.

2.5    Tinjauan Mengenai Gay
Homoseksualitas adalah ketertarikan / dorongan / hasrat untuk terlibat secara seksual dan emosional (ketertarikan yang bersifat romantis) terhadap orang yang berjenis kelamin sama dari seorang manusia (Neale, Davidson, & Haaga, 1996). Istilah umum untuk kaum homoseksual adalah gay. Sebutan ini seringkali digunakan untuk menyebut pria yang memiliki kecenderungan mencintai sesama jenis. Definisi gay yakni lelaki yang mempunyai orientasi seksual terhadap sesama lelaki (Duffy dan Atwater, 2005).
Sumber: library.binus.ac.id/eColls/.../2012-1-00565-PS%20bab%201.pdf
2.5.1   Perkembangan Homoseksual atau Gay di Dunia
Dalam sejarah di alkitab di ceritakan berbagai penelitian yang dilakukan, peristiwa atau lokasi kejadian diazabnya umat Luth AS ini adalah di Kota Sodom, di daerah yang sekarang dikenal dengan nama Laut Mati atau di danau Luth yang terletak di perbatasan antara Israel dan Yordania.
Ajakan Nabi Luth ini justru ditolak oleh umatnya. Bahkan, tatkala Allah SWT mengutus dua orang malaikat dalam wujud manusia kepada Nabi Ibrahim dan Luth (QS Adz-Dzaariyaat [51]: 32, Hud [11]: 62-81), mereka malah meminta Luth untuk menyerahkan kedua tamunya itu untuk dinikahkan kepada mereka. Lalu, Allah menghancurkan umat Luth ini akibat perbuatannya.
Penyimpangan Seksual ini juga terjadi di kota Pompei, Italia.Tercatat dari sejarah dan bekas - bekas mayat yang tertinggal karena letusan gunung Vesuvius, Mayat - Mayat yang telah menjadi fosil itu ditemukan saat berhubungan badan dengan sesama jenis.
Pada tahun 1869, dokter Dr K.M. Kertbeny yang berkebangsaan Jerman-Hongaria menciptakan isitilah homoseks atau homoseksualitas. Homo sendiri berasal dari kata Yunani yang berarti sama, dan seks yang berarti jenis kelamin. Istilah ini menunjukkan penyimpangan kebiasaan seksual seseorang yang menyukai jenisnya sendiri , misalnya pria menyukai pria atau wanita menyukai wanita.
Pada abad ke 20 semakin banyak homo atau bahasa gaulnya Maho-maho bermunculan, sehingga munculnya komunitas homoseksual  di kota-kota besar di Hinda-Belanda sekitar pada tahun 1920an.
Sekitar pada tahun 1968 mulai dikenal isitilah wadam yang diambil dari kata hawa dan adam. Kata wadam menunjukkan seseorang pria yang mempunyai prilaku menyimpang yang bersikap seperti perempuan.
Pada tahun 1969 di New York, Amerika berlangsung Huru-hara Stonewall ketika kaum waria dan gay melawan represi polisi yang khususnya terjadi pada sebuah bar bernama Stonewall Inn. Perlawanan ini merupakan langkah awal dari Waria dan Gay, dalam mempublikasikan keberadaan mereka.
Pada tahun yang sama mulai muncul organisasi Wadam yang bernama Himpunan Wadam Djakarta (HIWAD). Organisasi tersebut merupakan organisasi gay  pertama di Indonesia yang terletak di Jakarta. Organisai tersebut berdiri dan difasilitasi oleh Gubernur DKI Jakarta Raya, Ali Sadikin.
Pada tahun 1978 International Lesbian and Gay Association OLGA) berdiri di Dublin, Irlandia. Kemudian pada tahun1982 sampai sekarang muncullah Organisasi gay terbuka, yang merupakan organisasi Gay terbuka yang pertama di Indonesia, setelah itu diikuti dengan organisasi lainnya seperti : Persaudaraan Gay Yogyakarta (PGY) (Indonesian Gay Society (IGS)), dan GAYA NUSANTARA (GN) (Surabaya). Setelah banyaknya kemunculan-kemunculan tersebut, organisasi Gay mulai menjamur diberbagai kota besar seperti di Jakarta, Pekanbaru, Bandung dan Denpasar, Malang dan Ujungpadang.
Perkembangan Gay Menurut Wilayah:
·         Afrika

Meskipun sering diabaikan atau ditekan oleh penjelajah dan penjajah dari Eropa, penduduk asli Afrika memiliki berbagai bentuk ekspresi homoseksual. Antropolog Stephen O. Murray dan Will Roscoe melaporkan bahwa perempuan di Lesotho melakukan sanksi sosial berupa "hubungan erotis jangka panjang" yang disebut motsoalle. E. E. Evans-Pritchard juga mencatat bahwa prajurit laki-laki suku Azande di Kongo utara rutin mengambil kekasih laki-laki muda antara usia dua belas dan dua puluh, yang membantu tugas rumah tangga dan berpartisipasi dalam seks interkrural dengan suami mereka yang lebih tua. Namun, praktik ini telah mati sejak awal abad 20, setelah bangsa Eropa menguasai negara-negara Afrika, tetapi sempat diceritakan kalangan tetua kepada Evans-Pritchard.
·         Amerika

Di antara penduduk asli Amerika sebelum masa penjajahan Eropa, bentuk umum hubungan sesama-jenis terjadi dalam sosok individu Dua-Roh. Biasanya individu ini dikenali sejak awal, masing-masing diberi pilihan oleh orang tua mereka untuk mengikuti jalan, dan setelah sang anak menentukan pilihannya, ia akan dibesarkan dengan cara yang sesuai dan akan mempelajari kebiasaan dari gender yang telah dipilih. Individu Dua-Roh umumnya adalah seorang dukun terpandang dan dihormati karena kekuatannya yang melampaui dukun-dukun lainnya. Mereka biasanya berhubungan seksual dengan anggota suku biasa dengan jenis kelamin yang sama.
Individu homoseksual dan transgender juga umum didapati di sejumlah peradaban pra-penaklukan di Amerika Latin, seperti Aztek, Maya, Quechua,Moche, Zapotek, dan Tupinambá di Brasil.
·         Asia Timur

Di Asia Timur, cinta sesama-jenis telah tercatat sejak awal sejarah. Homoseksualitas di Cina, dikenal dengan sebutan "kenikmatan buah terlarang", "potongan lengan baju", atau "adat selatan", telah tercatat sejak tahun 600 SM. Istilah-istilah halus/eufemistik digunakan untuk menggambarkan perilaku, bukan identitas (baru-baru ini beberapa kalangan pemuda China cenderung halus menggunakan istilah "Brokeback,"断背duanbei yang merujuk kepada pria homoseksual, diadaptasi dari film Brokeback Mountain karya sutradara Ang Lee).
Hubungan homoseksual ditandai oleh perbedaan umur dan posisi sosial. Namun, contoh cinta dan interaksi seksual sesama-jenis tergambar dalam novel klasik Dream of the Red Chamber yang nampak familiar bagi pengamat sekarang seperti halnya cerita-cerita roman heteroseksual pada masa itu.
Homoseksualitas di Jepang, dikenal sebagai shudo atau nanshoku telah didokumentasikan selama lebih dari seribu tahun dan memiliki beberapa kaitan dengan kehidupan monastik Buddhis dan tradisi samurai. Budaya cinta sesama jenis melahirkan tradisi yang kuat dalam seni lukis dan sastra Jepang yang mendokumentasikan dan merayakan hubungan tersebut.
Di Thailand, Kathoey, atau "ladyboy", telah menjadi corak masyarakat Thailand selama berabad-abad, dan raja-raja Thailand memiliki pasangan baik laki-laki maupun perempuan. Meski kathoey meliputi kebancian atau kekedian, tapi secara umum keberadaan mereka diterima dalam budaya Thailand sebagai gender ketiga. Mereka umumnya diterima oleh masyarakat, dan negara tidak pernah memiliki hukum yang melarang homoseksualitas atau perilaku homoseksual.
·         Eropa

Description: http://bits.wikimedia.org/static-1.21wmf1/skins/common/images/magnify-clip.png                                Laki-laki Romawi berhubungan seks dengan seorang muda (kemungkinan budak) pada pertengahan abad ke-1. Piala ditemukan di Bittir, dekat Yerusalem.
Dokumen pertama dari Barat (dalam bentuk karya sastra, obyek seni, dan materi mitografik) yang menceritakan hubungan sesama jenis, berasal dariYunani Kuno.
Dalam dokumen-dokumen tersebut, homoseksualitas laki-laki digambarkan dalam sebuah dunia tempat hubungan dengan perempuan dan dengan para pemuda adalah fondasi penting kehidupan cinta seorang laki-laki. Hubungan sesama jenis dipandang sebagai bangunan institusi sosial yang berbeda dari waktu ke waktu dan antara satu kota dengan yang lainnya. Praktik formal homoseksualitas, seringkali berupa hubungan erotis (juga seringkali ditekan) antara laki-laki dewasa dan remaja lajang. Praktik ini dinilai atas keuntungan pedagogisnya dan sebagai alat kontrol populasi, meski kadang-kadang disalahkan karena menyebabkan gangguan.
Plato sempat memuji manfaat hubungan homoseksual dalam tulisan-tulisan awalnya tetapi dalam karya-karya terakhirnya, ia mengusulkan pelarangan terhadap praktik hubungan homoseksual.[] Dalam Simposium (182B-D), Plato menyamakan penerimaan homoseksualitas dengan demokrasi, dan penindasan terhadapnya dengan despotisme, "..homoseksualitas dipandang sebagai aib yang memalukan oleh kaum barbar di bawah pemerintahannya yang lalim, seperti halnya filsafat dan atletik, karena tampaknya bukanlah kepentingan terbaik bagi para penguasa barbar untuk membiarkan pemikiran-pemikiran besar tersebut tertanam dalam diri rakyatnya, atau persahabatan yang kuat atau persatuan fisik, seperti kebanyakan cenderung dilakukan oleh kaum homoseksual." Dalam karyanya Politik, Aristoteles menolak ide-ide Plato tentang penghapusan homoseksualitas (2,4); Ia menjelaskan bahwa kaum barbar seperti bangsa Kelt menempatkan kalangan homoseksual secara terhormat (2.6.6), sedangkan bangsa Kreta menggunakan homoseksualitas sebagai alat untuk mengatur populasi (2.7.5).
Homoseksualitas perempuan pada zaman kuno jarang diketahui. Sappho, lahir di pulau Lesbos, merupakan tokoh yang dimasukkan ke dalam daftar sembilan penyair lirik kanonik oleh bangsa Yunani. Kata sifat yang berasal dari nama dan tempat kelahirannya (Sapphic dan Lesbian) akhirnya diterapkan ke homoseksualitas perempuan pada abad ke-19. Puisi-puisi Sappho banyak bercerita tentang hasrat dan cinta tokoh-tokoh di dalamnya. Tokoh-tokoh di dalam banyak puisinya berbicara tentang cinta dan kegilaan pada perempuan (kadang berbalas, kadang tidak), namun hanya didapati sedikit deskripsi keintiman fisik antara perempuan yang kerap diperdebatkan. Selain itu, tidak ada bukti bahwa Sappho mendirikan sekolah khusus perempuan.
Pada zaman Romawi Kuno, kemolekan tubuh kaum lelaki muda tetap menjadi objek seksual para pria dewasa, tetapi sebuah ikatan hubungan hanya terjadi antara pria lajang yang lebih tua dan budak atau pemuda yang dibebaskan yang mengambil peran 'penerima' dalam seks. Semua kaisar kecuali Claudius memiliki kekasih laki-laki. Kaisar Hadrianus terkenal karena hubungannya dengan Antinous, tetapi kaisar Kristen Theodosius I menetapkan hukum pada 6 Agustus 390 M, mengutuk pasangan laki-laki pasif untuk dibakar di tiang. Menjelang akhir pemerintahannya, kaisar Yustinianus, memperluas pelarangan praktik homoseksualitas hingga ke pasangan aktif (pada tahun 558 M), memperingatkan bahwa perilaku tersebut dapat mengarah pada kehancuran kota karena "murka Tuhan". Meskipun demikian, pemungutan pajak dari rumah pelacuran laki-laki yang diperuntukan bagi kaum homoseksual terus dikumpulkan sampai akhir pemerintahanAnastasius I pada 518 M.
Selama era Renaisans, kota-kota kaya di utara Italia - Florence dan Venesia khususnya - terkenal karena praktik cinta sesama jenis, melibatkan sebagian besar populasi laki-laki dan terbentang di sepanjang pola klasik Yunani dan Roma. Meskipun banyak penduduk laki-laki yang terlibat dalam hubungan sesama jenis, Gli Ufficiali di Notte (Polisi Malam), tetap menuntut, menjatuhkan denda, dan memenjarakan sebagian besar mereka. Runtuhnya masa-masa kebebasan artistik dan erotisme dibawa oleh pendeta Girolamo Savonarola. Di Eropa Utara, diskursus artistik mengenai sodomi berbalik melawan pendukung awalnya seperti seniman Rembrandt, yang dalam karya Pemerkosaan Ganymede tidak lagi menggambarkan Ganymede sebagai pemuda yang menyerahkan kesediaannya sebagai abdi, tetapi seorang bayi menangis yang diserang oleh burung pemangsa.
Hubungan yang dimiliki oleh tokoh-tokoh terkemuka, seperti Raja James I dari Inggris dengan Adipati Buckingham, kerap menjadi sorotan. Pemberitaan tentang hubungan mereka tersebar di jalan-jalan dalam selebaran anonim bertuliskan: "Dunia ini b'rubah, entah gimana, sekarang pria mencumbu pria, tidak lagi wanita; ...Raja James I dan Buckingham: Benar adanya, ia telah melepaskan diri dari dekapan sang istri demi bermesraan dengan Ganimede tercintanya "(Mundus Foppensis, atau The Fop Display'd, 1691).
Love Letters Between a Certain Late Nobleman and the Famous Mr. Wilson diterbitkan tahun 1723 di Inggris dan dianggap sebagai novel oleh beberapa pemikir modern. Pada novel populer, Fanny Hill, edisi 1749 karya John Cleland, terdapat adegan homoseksual, tapi konten tersebut dihapuskan pada edisi tahun 1750. Pada era perjuangan awal homoseksualitas di Inggris, sekitar tahun 1749, Thomas Cannon menerbitkan sebuah buku berjudul Ancient and Modern Pederasty Investigated and Exemplified, tapi segera ditarik dari peredaran. Termasuk isi dalam buku yang menyebutkan, "Hasrat Tidak Wajar adalah Sebuah Istilah yang Kontradiktif; Sangat Tidak Masuk Akal. Hasrat adalah Dorongan Kasih Sayang yang Datang dari Bagian Terdalam Seorang Manusia." Sekitar tahun 1785, Jeremy Bentham menulis pembelaan yang lain, tapi tidak pernah diterbitkan sampai tahun 1978. Sementara itu, penghukuman mati untuk kasus-kasus sodomi terus berlanjut di Belanda hingga tahun 1803, dan di Inggris hingga 1835.
Antara tahun 1864 dan 1880 Karl Heinrich Ulrichs menerbitkan sebuah buku yang terdiri dari dua belas traktat, berjudul Research on the Riddle of Man-Manly Love. Pada tahun 1867, Ulrichs menjadi pria homoseksual pertama yang secara terbuka membela homoseksualitas dengan mengajukan resolusi untuk mendesak pencabutan Undang-Undang Anti-Homoseksual di Kongres Pakar Hukum Jerman di Munich. Buku berjudul Sexual Inversion karya Havelock Ellis, terbit pada tahun 1896, menantang teori yang menyatakan homoseksualitas adalah keabnormalan beserta stereotip-stereotip yang direkatkan pada individu-individu homoseksual, dan ia juga menekankan pada keberadaan homoseksualitas yang tersebar dimana-mana dengan prestasi intelektual dan prestasi di bidang seni.] Meskipun jurnal medis seperti ini (yang ditulis sebagian dalam bahasa Latin untuk mengaburkan rincian isi berbau seksual) tidak secara luas dibaca oleh masyarakat umum, tapi hal ini menjadi tonggak munculnya Komite Humanitarian Ilmiah Magnus Hirschfeld yang berkampanye selama tahun 1897-1933 melawan hukum anti-sodomi di Jerman, serta sebuah gerakan informal tersembunyi di kalangan intelektual dan penulis Inggris yang dipimpin oleh tokoh-tokoh seperti Edward Carpenter dan John Addington Symonds. Bermula pada tahun 1894 dengan Homogenic Love, aktivis dan penyair sosialis Edward Carpenter menulis sejumlah artikel dan pamflet pro-homoseksual, dan mengaku sebagai homoseksual dalam bukunya My Days and Dreams tahun 1916. Pada tahun 1900, Elisar von Kupffer menerbitkan sebuah antologi puisi homoseksual dari zaman kuno sampai eranya pada masa itu berjudul Lieblingminne Freundesliebe und in der Weltliteratur. Tujuannya adalah untuk memperluas sudut pandang publik terhadap homoseksualitas yang selama ini dipandang hanya sebagai masalah kedokteran dan biologi, tetapi juga dapat ditinjau sebgai kajian etika dan budaya. Sebagai bentuk penentangannya, Reich Ketiga menargetkan orang-orang LGBT dalam peristiwa Holocaust.
·         Timur Tengah, Asia Tengah, dan Asia Selatan

Dalam sejumlah budaya Muslim di Timur Tengah, praktik homoseksual yang bersifat egaliter dan tersebar di segala usia individu, masih tersebar luas dan terselubung. Di wilayah beriklim sedang dan sub-tropis yang membentang dari India Utara ke Sahara Barat, pola hubungan sesama jenis tersebar, pada tiap gender atau tiap rentang usia atau keduanya. Dalam beberapa tahun terakhir, hubungan egaliter yang muncul pada pola hubungan barat menjadi lebih sering ditemui, meskipun mereka tetap langka.
Pada hubungan seks sesama jenis di beberapa negara Muslim, pemerintahnya menerapkan hukuman mati seperti: Arab Saudi, Iran, Mauritania, Nigeria utara, Sudan, dan Yaman.
Tradisi seni dan sastra bermunculan membangun homoseksualitas di Timur Tengah. Di negara-negara Arab pada abad pertengahan dan Persia, penyair muslim - kadang Sufi - menulis syair-syair pujian bagi para remaja lelaki tampan pembawa anggur yang melayani mereka di kedai-kedai minum. Di mayoritas daerah, praktik ini bertahan hingga masa modern, seperti yang didokumentasikan oleh Richard Francis Burton, Andre Gide, dan lain-lain.
Di Persia homoseksualitas dan ekspresi homoerotik ditoleransi di banyak tempat umum, dari biara-biara dan seminari-seminari hingga bar, kamp militer, pemandian, dan kedai kopi. Pada masa Safawiyyah awal (1501-1723), rumah-rumah prostitusi laki-laki (amrad khane) secara hukum diakui, dan membayar pajak. Penyair Persia, seperti Sa'di (wafat tahun 1291), Hafiz (wafat tahun 1389), dan Jami (wafat tahun 1492), menulis puisi penuh dengan sindiran homoerotik. Dua bentuk paling umum yang didokumentasikan adalah perilaku seks komersial dengan transgender muda laki-laki atau laki-laki yang berpura-pura sebagai transgender yang dicontohkan oleh penari-penari köçek dan bacchá, dan praktik spiritual Sufistik saat para penyair mengagumi keindahan bentuk seorang anak untuk memasuki keadaan yang bahagia dan melihat sekilas keindahan Tuhan.
Sekarang, pemerintah di Timur Tengah sering mengabaikan, membantah keberadaan, atau mengkriminalkan homoseksualitas. Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad, pada pidatonya diUniversitas Columbia tahun 2007, menegaskan bahwa tidak ada kaum gay di Iran. Kaum gay ada di Iran, tetapi kebanyakan mereka tetap merahasiakan seksualitasnya karena takut sanksi pemerintah atau ditolak oleh keluarga mereka.
Hukum Manu, dasar hukum Hindu, menyebutkan "jenis kelamin ketiga", yaitu anggota-anggota yang mungkin terlibat dalam ekspresi gender non-tradisional dan aktivitas homoseksual.
2.5.2  Kriteria Homoseksual (gay)
Dalam Kelly (2001) dan Kalat (2007) ada beberapa teori yang menjelaskan alasan individu menjadi homoseksual, yakni:
a.       Teori Biologis
-     Faktor genetik
       Ada fakta yang ditemukan bahwa faktor genetik menyebabkan seseorang menjadi homoseks, terutama pada kembar identik dan pada kembar dizygotic (Kalat, 2001). Ada pula penelitian yang menyatakan bahwa gay kemungkinan besar diturunkan melalui garis keturunan ibu karena berkaitan dengan kromosom X yang diwariskan oleh ibu (Kelly, 2001).
       Dengan adanya fakta yang ditemukan maka seseorang yang menjadi seorang gay dapat disebabkan oleh faktor genetik dengan melihat kelainan yang terjadi dalam kromosom X yang diwariskan oleh ibu dan pada kelahiran kembar identik.

-          Faktor Hormon
       Ketidakseimbangan hormon diperkirakan menjadi salah satu penyebab seseorang menjadi homoseks. Orientasi seksual bergantung pada tingkat level testosteron selama periode sensitif dalam perkembangan otak manusia (Ellis & Ames dalam Klata 2007).

b.      Teori Psikoanalisa
       Freud percaya bahwa homoseksualitas dalah hasil dari kecendrungan biseksual bawaan pada semua orang. Di bawah keadaan biasa, dalam perkembangan psikoseksual anak akan berjalan dengan lancar di antara heteroseksual. Di bawah keadaan biasa, seperti resolusi yang tidak tepat pada Oedipux complex, perkembangan normal mungkin tertahan pada tahap yang “belum matang”, sehingga menyebabkan homoseksualitas pada orang dewasa. Lebih lagi, sejak pemikiran Freud bahwa setiap orang memiliki kecendrungan homoseksual yang tersembunyi, ia percaya bahwa di kondisi tertentu, seperti pengebirian kecemasan yang berlanjut pada laki-laki, perilaku homoseksual terbuka mungkin terjadi untuk pertama kalinya dalam masa dewasa (Hyde, 1990).

c.       Teori Belajar
       Menurut para ahli behaviorisme, reward dan punishment dapat membentuk perilaku individu terhadap kecendrungan orientasi seksualnya. Jika pengalaman pertama hubungan seksualnya adalah homoseksual dan hal tersebut menyenagkan, maka ia mungkin akan menjadi seorang homoseksual (dalam skripsi, Ni Luh Pratishita, 2008).


BAB III
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA

Pada bab ini akan membahas perumusan masalah hasil penelitian mengenai bagaimana interaksi simbolik yang tercermin dalam interaksi interpersonal mereka (sesama gay) di Margonda. Hasil penelitian ini diperoleh dengan teknik wawancara yang mendalam dengan narasumber sebagai bentuk pencarian data dan observasi langsung dilapangan yang kemudian peneliti analisis. Analisis ini terfokus pada interaksi interpersonal yang terjalin antara sesama gay yang nantinya akan terlihat bagaimanakah interaksi simbolik pada sosok gay di Margonda.
Jumlah yang dijadikan data penelitian sebanyak dua orang key informan dan satu orang supporting informan yang merupakan teman dekat si informan 1. Agar penelitian ini lebih objektif dan akurat maka peneliti mencari informasi-informasi tambahan dengan melakukan observasi dilapangan untuk melihat secara langsung bagaimana interaksi simbolik seorang gay terhadap sesama gay.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan teknik metode Deskriptif yang merupakan metode yang menggambarkan dan menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi atau bertujuan untuk melukiskan fakta atau karakteristik tertentu secara faktual. Penelitian ini juga menggunakan pendekatan kualitatif untuk melihat kondisi alami dari suatu feenomena. Pendekatan ini bertujuan memperoleh pemahaman dan menggambarkan realitas yang kompleks (Nasution, 1992: 3)
Penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data-data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan didasari oleh orang atau perilaku yang diamati. Pendekatannya diarahkan pada latar dan individu secara holistic (utuh). Jadi, tidak dilakukan proses isolasi pada objek penelitian ke dalam variabel atau hipotesis tetapi memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan.
Untuk tahap analisis yang dilakukan peneliti adalah membuat daftar pertanyaan wawancara, pengumpulan data dan analisis data yang dilakukan sendiri oleh peneliti. Untuk dapat mengetahui interaksi simbolik seorang gay terhadap sesama gay di Margonda, peneliti melakukan berbagai tahapan. Pertama, menyusun draft wawancara berdasarkan dari unsur-unsur interaksi simbolik yang akan ditanyakan kepada narasumber. Kedua, melakukan wawancara mendalam dengan masing-masing informan dari penelitian ini, Ketiga, memindahkan data penelitian yang berbentuk daftar dari semua pertanyaan yang diajukan kepada narasumber. Keempat, menganalisis data dari hasil wawancara yang telah dilakukan.
3.1    Deskripsi Data Informan
a.       Andra
Andra (nama samaran), pria berumur 24 tahun ini adalah seorang kasir di peerusahaan swasta. Andra adalah kakak yang baik untuk adik-adiknya. Andra lahir di Kota Jakarta. Ia tinggal di daerah Margonda bersama orang tua dan adiknya. Andra adalah anak pertama dari dua bersudara. Selain itu Andra  menjabat sebagai karyawan tetap di perusahaannya saat ini.
Andra  adalah pekerja keras dan ulet. Tak heran Andra terkadang melupakan kehidupan pribadinya tentang kebutuhan seorang wanita,  dan Andra lebih sering menggunakan waktunya untuk berbaur dengan teman-teman lelakinya. Menurutnya, berteman dan berbaur dengan sesama jenis itu lebih menarik dan nyaman. Semua waktu dihabiskan untuk bekerja dan hang out dengan teman-teman lelakinya.. Ia merasa senang menjadi pekerja keras dan nyaman dengan teman-teman lelakinya daripada memikirkan tentang kehidupan pribadinya dengan seorang wanita. Tak pernah mengeluh dalam menjalaninya. Ia lakukan semua dengan senang hati.
Menjadi seorang kasir adalah pekerjaan yang mengasyikan untuknya. Selain bisa bertemu dengan berbagai macam orang, Ia juga bisa mendapatkan keuntungan lain. Keuntungan lain disini adalah pengalaman dan wawasan yang mungkin tidak dia dapatkan sebanyak di tempat kerja Andra sebagai seorang karyawan tetap. Bahasa yang dipergunakan Andra terlihat tegas dan hangat sehingga membuat orang lain merasa bersahabat dengannya. Selera humornya juga tinggi, tak jarang sering membuat lelucon ringan yang keluar dari mulutnya saat bersama teman-temannya dan itu menjadi ketertarikan tersendiri pada dirinya. Di manapun Ia berada, Andra selalu berusaha tersenyum kepada setiap orang. Kedekatan akan dirasakan apabila berbincang-bincang dengan Andra.
Kehidupan kerja yang sering sekali membuatnya bertemu dengan pria yang rapi, manis, tampan dsb, membuat jembatan rasa tertariknya dengan sesama jenis, sering kali Ia menjalin suatu hubungan atau kedekatan dengan rekan kerja atau pengunjung di tempat kerjanya. Keramahan dan keunikan sifat dan sikapnya membuat orang di sekitar merasa nyaman dan dekat dengannya.
Andra memiliki hobby nge-gym. Dulu diakuinya kalau tubuhnya tidak seperti sekarang. Dulu tubuhnya cenderung kurus dan mungkin bisa dibilang ‘cungkring’. Sekarang sudah tidak lagi, dadanya sudah bidang dan lengannya pun berotot. Kegiatan gym ini dilakukan setiap Ia pulang kerja atau saat libur kerja. Selama kurang lebih dua jam Ia mengolah tubuhnya dan membuang keringat dalam tubuhnya. Dengan tinggi badan 175 cm dan berat badan 60 cm merupakan tubuh yang proporsional. Selalu tampil casual, polo shirt atau kaos, celana jeans, sepatu kets berwarna putih dan selalu terlihat rapih dan bersihh. Tak lupa jam tangan yang selalu menemainya dan selalu membawa Blackberry Smartphone Tour di sakunya. Tatanan rambut yang ‘spikey’, kulit yang putih bersih, wajah yang putih juga halus tak lupa selalu wangi dalam kesehariannya. Diakui olehnya, Andra memerlukan waktu kurang lebih setengah jam untuk menata rambutnya, satu jam untuk mandi dan lima belas menit untuk memilih pakaian yang akan digunakan.Ini menjadi salah satu alasan juga mengapa Andra memilih untuk tidak menjalin hubungan dengan wanita, karena dari tidak adanya ketertarikan dengan berbeda jenis, Ia juga lebih cenderung nyaman dengan sesama jenis.
Appearance (penampilan) dan Style (gaya) menurut Ia sangat penting untuk menjaga image dan Inner beauty yang ia ciptakan untuk membuat gay lain tertarik padanya. Apalagi kehidupan penyuka sesama jenis terkadang lebih menuntut image yang menarik dan unik dalam menarik perhatian dan menjalin suatu hubungan.
Andra kerap kali mengunjungi mall di daerah Margonda dan suka sekali menonton film di bioskop serta berkarokean dengan teman-teman lelakinya atau dengan pacar lelakinya. Kegiatan ini dilakukan saat libur kerja dan dilakukan saat sedang malas mendatangi pusat kebugaran dan menjadi hiburan sendiri untuk menghilangkan rasa jenuhnya.
b.      Velix
Velix (nama samaran) pria kelahiran Yogyakarta 1990 ini adalah seorang mahasiswa perguruan tinggi swasta yang juga bekerja di sebuah restoran. Pria berperawakan tinggi besar dengan tinggi badan 185 cm dan berat badan 80 kg ini berasal dari Yogyakarta yang kemudian memilih untuk berpindah ke Jakarta.
Pria asli jawa ini lahir di Yogyakarta pada tahun 1990. Saat ini Velix sedang berkuliah di salah satu Universitas Swasta di Jakarta. Velix adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Velix memiliki latar belakang dari keluarga yang bisa dibilang cukup untuk materi. Sekilas wajahnya mirip dengan penyanyi Afgansyah Reza.
Velix yang cenderung tidak suka berbaur dengan wanita dan merasa trauma akan pengalaman cintanya, membuat Ia lebih banyak mempunyai teman lelaki dan lama-kelamaan menimbulkan ketertarikan tersendiri bagi velix.
Velix memiliki hobby dibidang Olahraga, membuatnya menjadi pria yang mempunyai badan yang menarik serta di dukung dari penampilan dan wajahnya yang kharismatik. Ketampanan dan kharisma yang dimilikinya, tak jarang membuat orang mengalihkan matanya untuk melihat dan menimbulkan ketertarikan tersendiri pada dirinya.
Velix mengambil Jurusan Ilmu Komunikasi di Universitas Swasta di Jakarta. Ia berharap bisa menjadi seorang broadcast yang terkenal. Di tengah kesibukannya sebagai mahasiswa, Velix mengisi waktu luangnya dengan bekerja disebuah restoran. Ditempat kerjanya, Ia dituntut untuk mempromosikan dan menjual barang yang ada. Menurutnya, dengan kesibukan kuliahnya dan mengambil sebuah keputusan untuk bekerja itu akan menambah wawasan dan pengetahuannya. Lebih kepada pengalaman, dan bukan uang yang Ia cari. Menurutnya, pengalaman jauh lebih mahal dari apapun yang Ia miliki sekarang. Dengan pengalaman Ia bisa menjadi lebih matang dan dewasa.
Dalam dunia kerjanya Ia dituntut untuk selalu tetap tersenyum simpul apabila kita ditegur atasan atau ada konsumen yang komplain. Velix kini sudah pandai dalam mengatur waktu, ditengah kesibukannya sebagai mahasiswa, Ia juga harus bekerja, nge-gym dan melakukan perawatan didokter kulit atau pun salon. Bahkan velix  memiliki jadwal atau hari khusus dimana ia dimanjakan oleh banyak perawatan tubuh.
Kehomoseksualan Andra nampak terlihat pada cara dia perpenamilan dan perilakunya, serta wajahnya yang putih mulus dan harum tubuhnya. Tatanan busana yang rapi namun tidak standar. Stelan kemeja, kaos, jaket, jeans dan tas yang diselempangkan. Rambutnya biasa saja, tidak mengenakan wax ataupun gel rambut tapi tetap rapi. Tak lupa Blackberry Smartphones gemini yang selalu ada digenggamannya. Dalam bersosialisasi, Velix akan merasa tertarik sekali dengan karaoke. Tempat karaoke yang sering dikunjungi adalah di mall Margo City dan di tempat lainnya di daerah Margonda. Ia mampu menghabiskan waktu berjam-jam lamanya untuk berkaraoke. Tentunya ia tidak sendiri, ia selalu janjian dengan teman seprofesinya atau dengan teman di kampusnya ataupun pacar lelakinya.
Cukup lelah diakui olehnya, namun ia merasa senang dan enjoy dalam menjalankan aktifitasnya sebagai mahasiswa dan pekerja. Karena dengan kenyamanan bekerja dan aktifitasnya tersebut ia merasa nyaman dan terbiasa.

3.2    Deskripsi Hasil Penelitian
Setelah melakukan wawancara mendalam dengan informan, yaitu enam sales promotion boys yang berbeda dan melakukan observasi langsung dilapangan peneliti dapat menganalisa tentang interaksi simbolik pria homoseksual (gay) di daerah Margonda, Depok.
Peneliti mencoba menganalisa berdasarkan data-data yang didapat melalui wawancara dengan dua informan yang mana adalah seorang gay.
Untuk mengetahui bagaimana interaksi simbolik pria homoseksual (gay) di daerah Margonda dapat dilihat pada hasil analisa dibawah ini:
3.2.1 Konsep Diri Seorang Homoseksual (Gay)
Konsep diri adalah kesadaran akan pandangan, pendapat, penilaian, dan sikap seseorang terhadap dirinya sendiri yang meliputi fisik, diri pribadi, penampilan, diri sosial dan juga etik. Konsep diri tidak begitu saja timbul pada setiap individu. Bayi yang baru lahir tidak mengerti dan tidak memiliki konsep diri namun seiring berjalannya waktu, seorang bayi akan tumbuh menjadi dewasa. Dalam pendewasaannya karena sudah mampu untuk berpikir, maka konsep diri ada dan dimiliki oleh setiap individu.
Konsep diri berasal dari interaksi selama seseorang berhubungan dengan lingkungan. Jadi tidak serta merta saat seseorang baru lahir, dia sudah memiliki konsep diri. Lingkungan sekitar pun memiliki andil dalam pembentukan konsep diri. Seperti yang dikemukakan Andra ketika ditanya sejak kapan Ia menyadari bahwa dirinya berbeda, dan bagaimana Ia menyadari hal tersebut, Andra mengatakan:
“Kalau ditanya sejak kapan, saya tidak tahu. Mungkin sejak lahir. Namun saya menyadari kalo diri saya berbeda, sejak saya kecil yang cenderung lebih suka perrmainan anak perempuan, seperti mainan boneka, suka merias wajah, dsb. Tapi saya mulai menyadari bahwa saya tertrik kepada sesama jenis sejak saya berada di bangku SMA.”
Andra tidak tahu pasti sejak kapan Ia menjadi gay, namun sejak kecil Ia cenderung lebih menyukai permainan yang umumnya dimainkan oleh anak perempuan. Seiring berjalannya proses pendewasaan, Ia semakin meyakini bahwa dirinya lebih tertarik dengan sesama jenis atau biasa disebut gay.
Lain halnya dengan Velix, ketika Ia diberi pertanyaan yang sama, Ia mengatakan bahwa:
“Kalau ditanya sejak kapannya mungkin saya juga tidak tahu, tapi saya mulai menyadari sejak saya terlalu lama tidak menjalin suatu hubungan dengan lawan jenis, dan factor lingkungan yang mendukung saya untuk berubah seperti sekarang, dan memilih untuk menjadi seorang gay.”
Seperti yang telah dikemukakan, lingkungan berperan dalam pembentukan konsep diri. Sama halnya yang terjadi dengan Velix, dia menyadari bahwa dirinya menyukai sesama jenis karena lingkungan yang membentuknya seperti itu. Dia menemukan keadaan yang sama yang terjadi dalam dirinya pada orang lain, kemudian berangkat dari situ dia mulai menetapkan jalan hidupnya untuk menjadi penyuka sesama jenis (gay).
Ketika seoraang laki-laki menyadari bahwa dirinya gay, ada yang merasa bahwa gay adalah hal yang wajar. Adapula yang ketika menyadari dirinya gay, Ia belum yakin bahwa dirinya adalah seorang gay, namun lambat laun lingkungan sekitar yang membuat Ia yakin bahwa dirinya adalah seorang gay. Seperti yang dikemukakan informan, bahwa:
Andra: “Perasaan saya biasa saja, karena menurut saya ini wajar dan saya tidak menentang datangnya sebuah pilihan ini.”
Velix: “Waktu pertama merasakan perbedaan, saya cenderung bingung atau masih galau dalam memilih, tetapi karena lingkungan yang lambat laun membuat pilihan saya jadi pasti.”
Dalam konsep diri, tingkah laku tidak hanya dipengaruhi oleh pengalaman-pengalamman masa lalu dan saat ini tetapi oleh makna-makna pribadi yang masing-masing individu pada persepsinya mengenai pengalaman tersebut. Dunia individu yang sangat berarti ini yang dengan kuatnya mempengaruhi tingkah laku.
Saat seseorang menyadari bahwa dirinya gay, tentu saja terjadi perubahan tingkah laku dalam dirinya. Setelah itu mereka lebih memperhatikan penampilan, kebersihan tubuh, dan berperilaku lembut seperti wanita.
Kehadiran gay di tengah masyarakat memang belum mendapatkan tempat bebas. Masyarakat, khususnya di Indonesia masih menganggap tabu keberadaan gay di lingkungan mereka.  Namun dari pihak gay, mereka cenderung tidak peduli dengan opini masyarakat yang memandang mereka dengan anggapan miring dan menganggap bahwa gay adalah sebuah penyimpangan. Bagi mereka, itu adalah pilihan hidup mereka yang orang lain tidak bisa menginterupsinya. Seperti yang dikemukakan informan, bahwa:
Andra: “Menurut saya, itu tidak terlalu penting, dan saya pun berfikir terbuka, karena menurut saya gay itu bukan penyimpangan.”
Velix: “Saya cenderung tidak memikirkan apa yang dipikirkan orang, yang penting saya menjalani ini semua karna kemauan saya, dan saya merasa nyaman dengan yang sekarang menjadi pilihan saya.”
Dari sini dapat dilihat bahwa informan memiliki konsep diri positif. Informan sama sekali tidak menganggap bahwa gay adalah sebuah penyimpangan. Informan menganggap itu bagian dari hidup mereka. Informan berusaha untuk tidak membohongi dan jujur pada diri sendiri. Gay merupakan pilihan hidup, bahkan ada yang menganggap jadi gay adalah takdir. Dapat disimpulkan bahwa dalam pembentukan jati diri menjadi gay, ada yang meyakini diri sendiri bahwa Ia gay, adapula yang terbentuk karena lingkungan, namun hal ini berawal dari dugaan dirinya sendiri bahwa dirinya berbeda dan lingkungan lah yang memperkuat keyakinan dirinya bahwa Ia gay. Gay cenderung tidak peduli dengan anggapan masyarakat yang menganggap bahwa gay adalah sebuah penyimpangan.

3.2.2 Proses Komunikasi Interpersonal Sesama Gay
Sebagai mahluk sosial, setiap orang pasti melakukan kegiatan komunikasi didalam kehidupan sehari-hari. Tidak mungkin jika seorang individu dalam sehari tidak melakukan aktivitas komunikasi.
Komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi (pesan, ide, gagasan) dari satu pihak kepada pihak lain agar terjadi saling mempengaruhi diantara keduanya. Komunikasi ada dua yaitu komunikasi verbal dan komunikasi non verbal. Apabila komunikasi verbal tidak dapat dimengerti maka masih dapat menggunakan komunikasi non verbal.
Penelitian pada proses komunikasi adalah untuk mengetahui interaksi simbolik sesama gay yang berkaitan dengan proses komunikasinya di lingkungan sosialnya.
Dalam komunikasi diperlukan adanya sebuah proses. Proses itu melibatkan komunikator, pesan dan komunikan. Pesan yang disampaikan menggunakan komunikasi verbal dan non verbal. Komunikasi verbal contohnya adalah bahasa.
Secara sederhana bahasa dapat diartikan sebagai bunyi-bunyian yang dilakukan dan memiliki arti pada saat berinteraksi dengan orang lain. Maksud dari arti tersebut yaitu supaya komunikan mengerti apa yang disampaikan oleh komunikator.
Berbicara soal bahasa, seiring berjalannya waktu dan berkembangnya peradaban, kini banyak macam bahasa yang dipakai dan digunakan oleh komunitas tertentu seperti misalnya Bahasa Gaul yang banyak dipergunakan oleh remaja yang mengaku dirinya gaul. Ada juga bahasa gay yang dipakai didalam komunitas gay.
Dari hasil wawancara dengan saudara Andra, Andra mengungkapkan “Simbol ada, seperti pakai bahasa tubuh yang lenjeh, untuk mengkode seseorang. Bahasa yang digunakan misalnya Straight untuk cowok maco, Brondong/Twink untuk pria muda, Sissy untuk cowok feminin.”
Dari hasil jawaban Andra, dapat diketahui bahwa terdapat beberapa simbol dan bahasa yang mereka gunakan untuk mengenali sesama mereka. Sama halnya dengan pernyataan Velix, yakni: “Ada, seperti contoh seorang pria yang memakai anting-anting di sebelah kanan telinga. Dan biasanya kami becanda dengan candaan mengejek umur masing-masing,  contohnya sissy, twink, dsb.”
Selain simbol yang digunakan untuk mengenali sesama gay, peneliti juga menanyakan tentang perbedaan cara berkomunikasi gay dengan gay, dan gay dengan orang lain. Andra mengatakan, “Sama halnya jika kita berbicara pada teman dan pada pacar, kalau sama orang lain ya bicara seperti biasa, kalau sama pasangan baru jadi diri sendiri.”
Sama seperti yang dikatakan Velix, “kalau buat saya pasti ada, karena saya cenderung tertutup kepada masyarakat sekitar dan cenderung terbuka pada sesama gay.”
Dapat diketahui jika informan (gay) berbicara kepada sesama gay, maka mereka akan memposisikan dirinya seterbuka mungkin, sebagaimana mereka bersama kelompok sesamanya. Sebaliknya, jika mereka berinteraksi dengan orang lain yang bukan gay, maka mereka akan memposisikan diri mereka sebagai orang biasa.
Penampilan juga merupakan salah satu hal yang sangat diperhatikan dalam kehidupan seorang gay. Penampilan tersebut dapat berupa bentuk rambut, pakaian yang mereka kenakan, dan kebersihan tubuh mereka. Para informan sangat memperhatikan penampilannya. Bahkan dapat melebihi seorang wanita sekalipun. Peneliti menanyakan mengenai penampilan khusus yang mereka kenakan. Informan pertama, Andra menjawab “Penampilan khusus tidak ada, cuma kadang saya lebih suka rapih dan bersih.”
Informan kedua, Velix menjawab pertanyaan peneliti yaitu, “Penampilan khusus? Penampilan saya ya seperti gay yang lain, tampil rapih, cool, bersih dan ketat.”
Dari jawaban tersebut diambil kesimpulan bahwa, para gay sangat mementingkan penampilan mereka. Karena penampilan tersebut juga salah satu modal utama dalam menarik perhatian gay lainnya.
Selain penampilan, peneliti juga ingin mengetahui apakah bahasa tubuh juga diperlukan dalam menunjukkan bahwa diri orang tersebut adalah seorang gay. Terlebih lagi perbedan bahasa tubuh antara  gay yang berperan sebagai “pria” dan “wanita”. Andra menjawab, “Kalau bahasa tubuh sehari-hari yang dilakukan itu sebenarnya sama saja. Bisa dilihat dari cara penampilan dan berperilaku,tetapi kalau menjadi siapa dalam suatu hubungan  itu ditunjukan atau dirasakan ketika kita bersama pasangan kita.”. Begitu juga Velix menjawab, “Dari segi penampilan atau cara dia berjalan juga sudah keliatan, kalau jadi pria atau wanita, itu cenderung harus merasakannya ketika berhubungan.”
Melihat jawaban kedua informan, maka seorang gay akan lebih terbuka dengan sesama gay terlebih lagi dengan pasangannya. Meskipun ada perbedaan cara berkomunikasi antara si ”pria” dan “wanita”, pembagian peran antara siapa si “pria” dan si “wanita” tidak ditentukan.
Andra mengatakan, “Simbol akan diperlihatkan ketika kita menjalin sebuah hubungan, simbol itu akan muncul ketika ada perilaku yang mendasari, seperti manja, sedih, dewasa, kita tahu penempatan saat terjadi seperti itu.”
Kemudian Velix menyatakan. “Sebenarnya tidak ada symbol, kita berperan sebagaimana orang pacaran biasanya, saling melengkapi dan saling tahu harus seperti apa. Kalau perbedaan itu akan muncul saat kita menjadi pelaku dan menunjukan sisi kewanitaan atau lebih ke pria.”
Dari kedua pernyataan di atas, dalam menentukan siapa si “pria” dan siapa si “wanita” tidak disertai dengan simbol-simbol tertentu. Hal tersebut mengalir begitu saja sesuai dengan keadaan mereka saat itu, apakah situasi mereka pada saat itu sedang bermanja-manja atau bersikap dewasa. Dari situasi tersebut, mereka saling melengkapi posisi kapan mereka harus menjadi si “pria” dan kapan harus menjadi si “wanita”. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Andra, yakni: “Pada dasarnya saya dan pasangan saya sama-sama maskulin, tidak harus satu berperan jadi pria dan satu wanita, lebih kepada karakter individunya, ada yang sissy dan ada yang straight.” Begitu pula seperti yang dikatakan Velix, “Kalau saya dalam menjalin suatu hubungan, saya dan pasangan cenderung saling melengkapi, ketika saya ingin jadi sosok seperti cewek yang manja, otomatis pasangan saya mengerti untuk menjadi seorang cowok yang maskulin, begitupun sebaliknya.”
Keduanya menyadari betul posisi masing-masing untuk menempatkan kapan mereka harus berperan sebagai sissy dan straight, tergantung situasi, kondisi, serta komunikasi yang mereka lakukan. Tidak jarang terjadi pergantian peran diantara keduanya. Seperti yang dikatakan oleh Andra, “Iya pasti berbeda, kita sesama gay saling membutuhkan, ketika kita berperilaku manja, itu berarti salah satu sedang memerankan si wanita dan pasangannya cenderung lebih maskulin.” Sama halnya seperti yang  dikatakan oleh Velix, “Iya berbeda, seperti orang pacaran biasanya, kalau lagi  manja atau sedih, kita bisa berperan sebagaimana mestinya.”
Dari semua pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa memang pada umumnya interaksi yang mereka gunakan antarsesama gay, baik itu menggunakan simbol, bahasa verbal, maupun  nonverbal, memiliki kesamaan dan dapat mereka mengerti sehingga memudahkan mereka harus berperan seperti apa dan bagaimana ketika berkomunikasi dengan sesamanya.
Mengetahui hal ini, tidak diragukan lagi bahwa mereka memiliki komunitas tertentu yang menjadi wadah kegiatan mereka untuk sekedar bertemu, berkomunikasi, atau bahkan mencari pasangan mereka. Ini diperkuat dengan pernyataan Andra, “Di Depok Town Square dan Margo City, ya biasa ngobrol-ngobrol dan saling bertukar pikiran.” Kemudian Velix juga mengatakan hal yang sama, “Yang saya tahu, di sekitar Depok, terutama di Margo City. Tempat biasa berkumpul dan saling bertemu.”
Di tempat-tempat tersebut mereka saling bertemu, bertukar pikiran, dan tidak jarang mereka juga mencari pasangan. Kebiasaan berkumpul ini membuat ikatan mereka semakin kuat, dan membuat mereka menganggap bahwa apa yang mereka yakini adalah suatu kebenaran sera pilihan yang tepat dalam hidup mereka.
Melalui wawancara yang dilakukan peneliti kepada informan-informan tersebut, peneliti mendapatkan jawaban yang rata-rata hampir sama. Ini mengindikasikan bahwa tidak ada perbedaan signifikan dalam interaksi mereka terhadap sesama gay, kecuali jika mereka berinteraksi dengan orang di luar sesama mereka.
Pria homoseksual (gay) umumnya  tidak akan membuka tentang dirinya kepada orang yang baru mereka kenal, namun ketika mereka sudah mengenal orang lain cukup dekat dan merasa sudah nyaman dengan orang tersebut (bukan gay), mereka akan terbuka. Mereka juga bisa memberikan kenyamanan terhadap orang-orang selain sesamanya ketika mereka sudah mempercayai orang tersebut, seperti halnya seseorang yang memberikan kenyamanan kepada sahabat karibnya.


4.1  Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dan dianalisa pada BAB III, maka peneliti menarik kesimpulan sebagai berikut:

4.1.1        Konsep Diri
Pria Pria Homoseksual (Gay) Pada Sosok pekerja dan mahasiswa serta pekerja freeland didaerah Margonda  memiliki konsep dirinya sendiri yang membedakan dirinya dengan orang lain. Konsep diri pria Homoseksual (Gay) Pada Sosok pekerja dan mahasiswa serta pekerja freeland didaerah Margonda sesuai dengan harapan dan keinginan mereka sendiri. mereka mengenali betul dan paham betul dengan dirinya sendiri.
4.1.2        Proses Komunikasi
Pria Homoseksual (Gay) Pada Sosok pekerja dan mahasiswa serta pekerja freeland melakukan proses komunikasinya yang sangat memperhatikan etika dalam berkomunikasi. Pria homoseksual pada sosok pekerja dan mahasiswa serta pekerja freeland menggunakan Bahasa yang tepat dalam berkomunikasi dengan lingkungan sosial dan konsumennya. Bahasa yang digunakan juga melihat lawan bicaranya, agar pesan yang disampaikan dapat diterima oleh lawan bicaranya. Pria homoseksuaal yang pekerja dan mahasiswa serta pekerja freeland juga menggunakan komunikasi verbalnya dengan tepat mulai dari bahasa tubuh, posisi tubuh, isyarat dan bau-bauan. Dengan begitu, lingkungan sekitar dapat dengan mudah memahami apa saja yang disampaikan oleh pria pekerja dan mahasiswa serta pekerja freeland didaerah Margonda dan timbal balik (feedback) yang diterima pun bersifat positif.
4.1.3        Kepribadian
Pria Homoseksual (Gay) Pada Sosok pekerja dan mahasiswa serta pekerja freeland memiliki kepribadian yang sangat diatur. terlihat dari awal bagaimana seorang pria Homoseksual (Gay) Pada Sosok pekerja dan mahasiswa serta pekerja freeland didaerah Margonda  itu dalam berpenampilan. Penampilan adalah sesuatu yang dapat terlihat langsung oleh mata orang lain. Dari pengelihatan orang lain, akan tergambarkan bagaimana kepribadian orang tersebut. Walaupun sebagai pria yang menunjukan sisi femininnya, pria homoseksual tetap seorang pria yang lekat pada dunianya. Keterampilan dan hobby yang dimiliki tak jauh berbeda dengan pria lainnya. Kepribadian pria Homoseksual (Gay) Pada Sosok pekerja dan mahasiswa serta pekerja freeland dinilai kepribadian yang tangguh, kepribadian yang maskulin namun lembut dan sangat berperasaan.
4.1.4        Interaksi Simbolik
Interaksi Simbolik pria Homoseksual (Gay) Pada Sosok pekerja dan mahasiswa serta pekerja freelance terlihat dari bagaimana mereka dalam berpenampilan. Pria Homoseksual (Gay) Pada Sosok pekerja dan mahasiswa serta pekerja freeland ingin menunjukan kepada lingkungan sekitarnya bahwa seorang pria metroseksual adalah sebuah pribadi menarik. Melalui penampilannya, mereka ingin menyampaikan bahwa mereka ingin membuat siapapun yang melihat mereka merasa nyaman dan juga nyaman apabila berdekatan dengan mereka. Apa yang mereka miliki dan apa yang mereka tunjukan dengan simbol-simbolnya, ingin mendapatkan sebuah pengakuan dan penghargaan dari lingkungan sosialnya.
4.2  Saran
Dalam sebuah penelitian, seorang peneliti harus mampu memberikan sesuatu yang berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan, instansi atau lembaga yang berkaitan dengan penelitian ini. Ada pun saran-saran yang peneliti berikan setelah meneliti fenomena ini adalah:
4.2.1        Bagi Masyarakat
Masyarakat agar dapat melihat bahwa potensi pria Homoseksual (Gay) Pada Sosok pekerja dan mahasiswa serta pekerja freeland. Hendaknya masyarakat memandang pria homoseksual adalah bagian dari lingkungan dan menghargai keberadaan mereka didalam lingkungan. Dengan interaksi yang dilakukan bernilai positif maka masyarakat pun dapat menghargai dan tidak meragukan akan sisi maskulin dari pria homoseksual ini.



DAFTAR PUSTAKA

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teori Informasi Organisasi Karl Weick

Teori Informasi Organisasi Berdasakan Penelitian Karl Weick Tugas untuk mengelola informasi dalam jumlah besar adalah sebuah tantangan bagi khalayak organisasi. Ketika pilihan-pilihan kita untuk saluran-saluran komunikasi meningkat, jumlah pesan yang kita kirim dan terima, dan juga kecepatan kita mengirim pesan tersebut meningkat pula. Organisasi tidak hanya dihadapkan pada tugas untuk mengartikan pesan yang diterima, tetapi juga menghadapi tantangan untuk menentukan siapa yang harus menerima informasi tersebut demi mencapai tujuan organisasi. Media baru mampu membuat perusahaan menyelesaikan tujuan mereka dalam berbagai cara yang belum pernah dilihat sebelumnya. Konferensi video, teleconference, ruang chat, e-mail, dan televisi interaktif memungkinkan orang seperti Dominique untuk memberikan kesempatan kepada timnya untuk secara simultan berbagi dan memberikan reaksi terhadap banyak sekali informasi. Tiap tim diberikan kesempatan untuk memutuskan informasi apa yang penting untuk tug...

KONFORMITAS DALAM KELOMPOK

BAB I PENDAHULUAN 1.1        Latar Belakang Individu sebagai kesatuan organik yang terbatas memiliki karakter dan sifat yang berbeda satu sama lain. Manusia sebagai makhluk sosial akan membentuk sebuah kelompok untuk tetap bertahan hidup dan mencapai suatu tujuan tertentu. Kelompok adalah sekumpulan orang yang mempunyai tujuan bersama yang berinteraksi satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama, mengenal satu sama lainnya, dan memandang mereka sebagai bagian dari kelompok tersebut. Dalam sebuah kelompok terdapat orang-orang dengan latar belakang yang berbeda, memiliki kemampuan dan kelemahan yang berbeda, sehingga perbedaan ini akan menjadi kekuatan besar dalam suatu kelompok untuk mengambil suatu keputusan-keputusan terbaik dan kondisi ini akan memperkuat induvidu anggota kelompok dalam menutupi kelemahan-kelemahannya. Dalam kelompok terdapat kepercayaan tertentu (norma) yang cenderung akan diikuti oleh seluruh individu yang ada dalam kelomp...

ANALISIS SWOT dan COMPANY PROFILEPT. Frisian Flag Indonesia

Bab I 1.1   Latar belakang Industri produk berbasis susu di Indonesia berkembang cukup pesat. Hal ini ditandai dengan bermunculannya inovasi – inovasi baru di bidang pengolahan produk berbasis susu. Demikian pula dengan komposisi dan kemasannya, dibuat menarik perhatian dengan harga terjangkau. Selain itu, hal ini juga semakin teredukasinya dan meningkatnya kesadaran masyarakat Indonesia akan pentingnya mengkonsumsi susu setiap hari. Indoneia memiliki ladang yang baik untuk peternakan sapi sehingga akan menghasilkan susu yang berkualitas tinggi. Kini, produk susu termasuk produk yang sangat dibutuhkan semua orang, baik tua maupun muda. Fakta inilah yang akhirnya mendorong para pelakunya lebih giat merebut hati konsumen. Setidak-tidaknya, produk ini dibutuhkan oleh 150 juta penduduk Indonesia. Populasi dunia meningkat dengan cepat, daya beli meningkat, sementara pada saat yang sama, makanan, bahan baku, dan energi berada dalam pasokan pendek. Ini memberi Frisian Flag Indones...