POLA KOMUNIKASI ANTAR PRIBADI KAUM HOMOSEKSUAL TEHADAP KOMUNITASNYA (Studi Fenomenologi Komunikasi Antarpribadi Komunitas Gay di Margonda, Depok)
ABSTRACT
The
existence of homosexuals is now starting to develop in Serang. It can easily be
found in various social networking media about their existence whether in terms
of performing self-disclosure or even in seeking partner. The process of self-disclosure
starts from introduction phase until the homosexual decides to build a
relationship or to end the communication because of the absence of
relationships compatibility with their same-sex partner. The purposes of this
study are to investigate the process of how symbols and characters used by the
homosexuals in expressing themselves, such as the language they use, and to
find out the communication patterns used by the homosexuals in their
self-disclosure. Theory used in this research is symbolic interaction theory
referring to the interpersonal approaches using verbal and non verbal language
used by homosexuals. In this study, researcher uses qualitative methods refers
to the study of phenomenology. Research samples or informants in this study are
four people with different status and educational background. The
four-informant were taken from different areas in Serang, Banten. Data
collection techniques used in this study were interviews, observation and the
use of documentations. Data analysis was conducted using triangulation data.
Triangulation is the technique of checking the validity of the data that
utilize something other than the data for checking purposes or as a comparison
to the data. After doing some researches, the researcher obtains the following
results: there is no use of tangible symbols by the homosexual in Serang.
However, flirtatious eye-contact, body movements and any actions that invite
attention believed to be features of their existence. The language they use is
a language of argot that is similar to the language used by transvestite.
Communication patterns used by homosexual in terms of attracting another
homosexual are similar to heterosexual friendships’ ways, starting from
interaction phase until making-decision phase. The phases carried out by
homosexual cannot be separated from the symbolic interaction generated during
the interaction itself.
Keywords:
communication patterns, symbolic interaction, gay community.
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Di Indonesia, fenomena
tentang homoseksual sebenarnya bukanlah masalah baru. Secara kultural fenomena
ini ada dalam catatan sejarah kebudayaan di Indonesia, bahkan dalam kajian
budaya pop, beberapa media seperti buku ataupun film pernah pula mengangkatnya
sebagai suatu kajian sosial.
Sebut saja film “Istana
Kecantikan” yang beredar pada tahun 1988 bahkan memenangkan piala citra untuk
aktor terbaik bagi Mathias Muchus. Kemudian pada tahun 2003 film yang
bertemakan mengenai kehidupan para gay diangkat kembali dengan judul film
“Arisan”. Hingga akhirnya film terbaru pun muncul mengenai kehidupan remaja
yang mengangkat tema yang sama “Coklat Strawberry”.
Secara karakter
tokoh-tokoh dalam film ini digambarkan berbeda dengan stereotype kaum gay yang
selama ini berkembang di masyarakat Indonesia. Seperti gaya berdandan yang
kewanita-wanitaan dan kurang jantan, akan tetapi dengan permasalahan yang sama
dihadapi kaum gay secara umum yaitu perasaan terkungkung atas jati diri mereka,
sehingga mereka merasa kesulitan untuk mengaktualisasikan diri mereka sebagai
seorang gay serta terjadinya penolakan dari masyarakat mengenai pengakuan dan
keberadaan homoseksual.
Masyarakat Indonesia
dengan nilai-nilai ketimurannya menganggap bahwa hubungan sesama jenis adalah
tabu dan terlarang. Kondisi inilah yang menjadikan individu gay enggan untuk membuka
diri. Akan tetapi, jika melihat pada
sejumlah film sebagai potret kehidupan sosial yang mengangkat tentang
romantisme sejenis menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran nilai dalam
masyarakat.
Kehidupan kaum
homoseksual yang bertolak belakang dengan kebiasaan kehidupan manusia secara
normal dalam berperilaku dan menentukan sikap membuat komunitas maupun individu
homoseksual itu sendiri tidak mendapat tempat di masyarakat. Itu semua
dikarenakan pola kehidupan mereka dianggap akan mempengaruhi kehidupan
masyarakat lain. Dalam hal kehidupan kalangan gay di Serang, selain melalui
omongan dari mulut ke mulut, juga melalui faktor media, masyarakat Serang saat
ini dapat mengetahui di mana lokasi-lokasi di Serang yang disinyalir merupakan
tempat berkumpulnya kalangan gay. Jenis-jenis lokasi ini bahkan beraneka ragam,
mulai dari yang tertutup seperti cafe, KFC Serang, Ramayana Serang, klub
kebugaran seperti tempat fitness, kos-kosan yang tersebar di kota serang dan
sekitarnya, dan lokasi yang terbuka seperti alun-alun kota Serang dan
lain-lain.
Permasalahan yang
tengah dihadapi oleh kaum homoseksual sekarang ini yaitu bagaimana menempatkan
diri dalam kehidupan bermasyarakat. Karena keberadaan mereka masih dibilang
asing dalam kehidupan dan sedikit sulit untuk di terima. Banyak masyarakat luas
beranggapan menjadi seorang homoseksual hanya menjadi aib yang dapat memalukan
diri sediri, keluarga dan orang yang berada di sekitarnya. Namun kenyataannya
kaum homoseksual semakin menunjukan keberadaan mereka dengan membentuk
sekumpulan dari beberapa orang untuk membentuk komunitas yang ada. Sehingga
keeksistensian mereka semakin menunjukkan dirinya.
Dalam penelitian ini
peneliti lebih menekankan pengungkapan diri dengan pola komunikasi antarpribadi
yang dilakukan kaum gay di Margonda, Depok. Dalam artian pengungkapan
komunikasi antarpribadi bertujuan untuk mencari teman kencan, kekasih bahkan
mereka mengungkapkan semua perasaan yang tertahan ketika kehidupan normal menuntut
mereka untuk menutupi tingkah laku dan perilaku mereka dalam bermasyakat.
Selain itu penelitian juga membahas mengenai penggunaan simbol dan bahasa yang
digunakan dalam proses pengungkapan diri terbentuk sampai pada tahap
terbentuknya hubungan antar sesama homoseksual itu.
1.2
Rumusan Masalah
a)
Bagaimana pengungkapan diri tentang homoseksualitas yang dilakukan oleh gay
kepada komunitasnya serta temannya ?
b)
Bagaimana penggunaan simbol dan bahasa yang digunakan dalam proses pengungkapan
diri terbentuk sampai pada tahap terbentuknya hubungan antar sesama homoseksual
?
1.3
Tujuan Penelitian
a)
Mengetahui dan mendeskripsikan proses pengungkapan diri tentang homoseksualitas
yang dilakukan oleh gay kepada komunitasnya serta temannya.
b)
Mengetahui dan mendeskripsikan penggunaan simbol dan bahasa yang digunakan
dalam proses pengungkapan diri terbentuk sampai pada tahap terbentuknya
hubungan antar sesama homoseksual.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Penelitian
ini dapat memberikan masukan yang bermanfaat bagi perkembangan ilmu psikologis
klinis dan sosiologis, serta sosiologi komunikasi dengan memberikan tambahan
data yang empiris yang teruji secara statistik, baik hipotesis tersebut terbukti
ataupun tidaknya.
1.4.2
Manfaat
Praktis
· Memberikan
pengetahuan interaksi sosial kepada masyarakat tentang bagaimana menilai
seorang gay atau suatu komunitas gay.
· Bagi
kaum homoseksual, membantu membuat suatu perubahan diri dalam menghadapi
realitas sosial
dalam kehidupan.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1
Tinjauan tentang Pola
Secara umum kata “pola”
merupakan suatu standarisasi dari kumpulan perilaku (Hartini dan Kartasaputra
dalam Puspita, 2009:32). Sedangkan menurut Fowler dan Couslum, pola atau pattern adalah suatu model, desain,
rancangan, dari sesuatu yang dibuat. Hubungannya dengan komunikasi tergambar
dari proses komunikasi itu sendiri yang selalu mengikuti alur atau kaidah
tertentu. Kaidah ini juga mengatur gaya komunikasi dalam konteks sosial.
Seseorang akan mengubah gaya komunikasinya tergantung dari siapa yang berbicara
di hadapannya. Hubungan bentuk dan fungsi komunikasi inilah yang kemudian
membentuk suatu pola komunikasi.
Pemulaan terjadi pada
suatu tingkat komunikasi yaitu masyarakat, kelompok, dan individu. Pada tingkat
masyarakat, komunikasi biasanya berpola dalam bentuk-bentuk fungsi, kategori,
ujaran, sikap, dan konsepsi tentang bahasa dari penutur. Komunikasi juga
berpola menurut peran tertentu dalam suatu masyarakat, misalnya jenis kelamin,
usia, status sosial, dan jabatan. Cara berbicara juga berpola menurut tingkat
pendidikan, tempat tinggal perkotaan atau pedesaan, ciri geografis, dan
lain-lain.
Komunikasi berpola pada
tingkat individual yaitu pada tingkat ekspresi dan interpretasi kepribadian.
Memahami pola-pola komunikasi yang hidup dalam suatu masyarakat ataupun
komunitas yang memiliki kaidah yang sama untuk berkomunikasi, akan memberikan
gambaran umum dari peilaku komunikasi masyarakat tersebut (Hartini dan
Kartasaputra dalam Puspita, 2009:33).
2.2
Tinjauan tentang Komunikasi Antar Pribadi
Secara umum komunikasi
antarpribadi dapat diartikan sebagai proses pertukaran makna antara orang-orang
yang saling berkomunikasi (Komala, 2009). Komunikasi antarpribadi merupakan
komunikasi yang berlangsung antara dua orang atau lebih secara tatap muka (Canggara
(2007:32).
Karakteristik
komunikasi antarpribadi (Komala, 2009) diantaranya adalah:
a)
Komunikasi Antarpribadi dimulai dengan diri pribadi yang dibatasi oleh siapa
diri kita dan bagaimana permasalahan kita.
b)
Komunikasi Antarpribadi bersifat transaksional mengacu kepada tindakan
pihak-pihak yang berkomunikasi dan secara serentak menyampaikan dan menerima
pesan.
c)
Komunikasi Antarpribadi tidak hanya berkenaan dengan isi pesan yang diperlukan,
tetapi juga melibatkan siapa perantara komunikasi kita dan bagaimana hubungan
kita dengan partner tersebut.
d)
Komunikasi Antarpribadi mengisyaratkan adanya kedekatan fisik antara
pihak-pihak yang berkomunikasi.
e)
Komunikasi Antarpribadi melibatkan pihak-pihak yang saling tergantung satu
dengan lainnya dalam proses komunikasi.
f)
Komunikasi Antarpribadi tidak bisa diubah maupun diulang. Jika kita salah
mengucapkan sesuatu kepada partner komunitas kita, mungkin kita dapat meminta maaf
dan diberi maaf, tetapi itu tidak berarti menghapus apa yang pernah diucapkan.
Komunikasi Antarpribadi
diuraikan oleh Wayne Pace dalam canggara (2007:32-33) menurut jenisnya dapat
dibedakan menjadi 2 macam, antara lain:
1. Komunikasi Diadik
Proses yang berlangsung antara dua orang dalam
situasi tatap muka. Komunikasi diadik dapat dilakukan dalam tiga bentuk yakni
percakapan, dialog dan wawancara. Komunikasi diadik juga berlangsung dalam
situasi yang lebih intim, lebih dalam, dan lebih personal sedangkan wawancara
dilakukan dalam bentuk yang lebih serius, yakni ada yang lebih dominan pada
posisi bertanya dan menjawab.
2. Komunikasi Kelompok
kecil
Komunikasi dalam kelompok kecil adalah proses
komunikasi yang berlangsung antara dua orang atau lebih secara tatap muka,
dimana anggota-anggotanya saling berinteraksi satu sama lainnya.
Seperti penjelasan
sebelumnya, komunikasi Antarpribadi merupakan komunikasi paling efektif untuk
mengubah sikap, pendapat atau perilaku seseorang. Terdapat beberapa macam
efektifitas komunikasi Antarpribadi (Devito 1997: 259-263) antara lain:
1.
Keterbukaan (Openess), yaitu kemauan
menanggapi dengan senang hati informasi yang diterima di dalam menghadapi
hubungan Antarpribadi. Keterbukaan atau sikap terbuka sangat berpengaruh dalam
menumbuhkan komunikasi antarpribadi yang efektif.
2.
Empati (Empathy), yaitu merasakan apa
yang dirasakan orang lain. Komunikasi antarpribadi dapat berlangsung kondusif
apabila komunikator (pengirim pesan) menunjukkan rasa empati pada komunikan
(penerima pesan). Apabila empati tersebut tumbuh dalam proses komunikasi antarpribadi,
maka suasana hubungan komunikasi akan dapat berkembang dan tumbuh sikap saling
pengertian dan penerimaan.
3.
Dukungan (Supportiveness), yaitu situasi
yang terbuka untuk mendukung komunikasi agar berlangsung efektif. Dalam
komunikasi antarpribadi diperlukan sikap memberi dukungan dari pihak
komunikator agar komunikan mau berpartisipasi dalam komunikasi.
4.
Rasa positif (positivenes), seseorang
harus memiliki perasaan dan sikap positif terhadap dirinya, mendorong orang
lain agar lebih aktif berpartisipasi, dan menciptakan situasi komunikasi kondusif
untuk interaksi yang efektif.
5.
Kesetaraan atau kesamaan (Equality),
yaitu pengakuan secara diam-diam bahwa kedua belah pihak menghargai, berguna,
dan mempunyai sesuatu yang penting untuk disumbangkan.
Dalam interaksi
komunikasi antarpribadi terdapat karakteristik penting untuk menjelaskan
hubungan Antarpribadi. Hubungan Antarpribadi berlangsung melalui beberapa
tahap, mulai dari tahap interaksi awal sampai keputusan. Terdapat lima tahap
yang menguraikan tahap-tahap penting dalam pengembangan hubungan (De Vito,
1997). Kelima tahap ini adalah:
1.
Kontak (Contact)
Pada
tahap pertama kita membuat kontak, ada beberapa macam persepsi alat indera.
Anda melihat, mendengar, dan membaui seseorang. Tahap awal ini menentukan seseorang
untuk memutuskan tetap melanjutkan ketahap berikutnya atau menghentikan
langkahnya untuk melakukan komunikasi dengan lawan bicaranya.
2.
Keterlibatan (Invorment)
Tahap
ini merupakan tahap pengenalan lebih jauh yaitu ketika kita mengikatkan diri
kita untuk lebih mengenal orang lain dan juga mengungkapkan diri kita.
3. Keakraban (Intimacy)
Pada
tahap keakraban, anda mengikat diri anda lebih jauh pada orang lain. Anda
mungkin membina hubungan primer.
4. Perusakan
Pada
tahap perusakan Anda mulai merasa hubungan ini mungkin tidaklah sepenting yang
Anda pikirkan sebelumnya dan hubungan semakin menjauh. Makin sedikit waktu
senggang yang dilalui bersama dan apabila Anda berdua bertemu, hubungan atau
interaksi antara individu semakin merenggang. Apabila tahap ini semakin parah
sampai akhirnya timbul tahap akhir pemutusan.
5. Pemutusan (Solution/Disolution)
Tahap
pemutusan adalah tahap pemutusan ikatan yang mempertalikan kedua pihak.
Pemutusan bisa berupa dampak positif maupun dampak negatif.
2.3
Tinjauan tentang Pengungkapan Diri
Pengertian dari
pengungkapan diri itu sendiri dijelaskan sebagai satu bentuk terpenting dari
komunikasi antarpribadi di mana kita dapat melibatkan pembicaraan tentang diri
kita sendiri, atau membuka diri. Pengungkapan diri mengacu kepada
mengkomunikasikan informasi kita tentang diri kita kepada orang lain
(DeVito,1999:77).
Istilah pengungkapan
diri digunakan untuk mengacu pada pengungkapan informasi yang dilakukan secara
sadar. Dimana segala sesuatu baik itu pikiran, perasaan dan perilaku yang
diceritakan secara sadar dan terbuka kepada orang lain. Banyak hal yang
diungkapkan tentang diri kita melalui ekspresi wajah, sikap, tubuh, pakaian,
nada suara, dan melalui isyarat-isyarat non verbal lainnya yang tidak terhitung
jumlahnya, meskipun banyak diantara perilaku tersebut tidak disengaja, namun
penyingkapan diri yang sesungguhnya adalah perilaku yang disengaja.
Proses pengungkapan
diri pada lambang verbal dan non verbal terjadi ketika partisipan komunikasi
menggunakan kata-kata, baik itu melalui bahasa lisan maupun tulisan. Komunikasi
non verbal adalah ketika partisipan komunikasi menggunakan simbol selain
kata-kata seperti nada bicara, ekspresi wajah dan sebagainya (Kuswarno,
2009:103).
Penyingkapan diri tidak
hanya merupakan bagian internal dari komunikasi dua orang. Penyingkapan diri
lebih sering muncul dalam konteks hubungan dua orang dari pada dalam konteks
jenis komunikasi lainnya. Pengungkapan diri merupakan suatu usaha yang
disengaja untuk membiarkan keotentikan memasuki sosial seseorang, dan seseorang
mengetahui bahwa hal tersebut berkaitan dengan kesehatan mental
(Tubbs&Moss, 199:12-13).
2.4
Tinjauan tentang Homoseksual
Kaum homoseksual
termasuk kedalam kaum deviant atau
disebut juga kelompok yang menyimpang. Dimana dengan perilaku yang menyimpang
membuat sebagian besar komunitas bahkan individu homoseksual sulit untuk
berinteraksi dengan masyarakat luas. Bahkan untuk berinteraksipun dengan sesama
komunitasnya sendiri mengalami sedikit kesulitan. Banyak diantara kaum
homoseksual tidak terang-terangan menyatakan diri mereka adalah sebagai
homoseksual. Dengan alasan jati diri yang terbuka akan merubah pandangan orang
dan mempengaruhi posisi serta kehidupan bermasyarakat.
Sebagian masyarakat
Indonesia masih menganggap bahwa homoseksual, biseksual serta perilaku seks
lainnya yang tidak sesuai dengan norma agama dan budaya sebagai perilaku yang
menyimpang. Homoseksual sampai saat ini masih dianggap sebagai sesuatu yang
menyimpang karena perilaku seksual seperti ini belum berlaku secara umum dan
dapat diterima oleh masyarakat (Puspitosari&Pujileksono, 2005:44).
Homoseksualitas juga
dapat didefenisikan sebagai orientasi atau pilihan seks yang diarahkan pada
orang atau ketertarikan dari jenis kelamin yang sama (Oetomo, 2001:6). Dalam
pedoman penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa di Indonesia homoseksualitas
dimasukan dalam kategori gangguan psikoseksual, dan disebut sebagai orientasi
seksual egodistonik, yaitu “identitas jenis kelamin atau preferensi seksual
tidak diragukan, tetapi individu berharap yang lain disebabkan oleh gangguan
psikologis dan perilaku serta mencari cara untuk mengubahnya”, artinya
homoseksualitas dianggap sebagai suatu kelainan hanya bila individu merasa
tidak tenang dengan orientasi seksual dan bermaksud mengubahnya (Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 1998:115).
2.5
Tinjauan Teori Pertukaran Sosial
Teori Pertukaran Sosial
dari Thibault dan Kelley ini menganggap bahwa bentuk dasar dari hubungan sosial
adalah sebagai suatu transaksi dagang, dimana orang berhubungan dengan orang
lain karena mengharapkan sesuatu untuk memenuhi kebutuhannya. Teori ini
memandang hubungan interpersonal sebagai suatu transaksi dagang. Orang
berhubungan dengan orang lain karena mengharapkan sesuatu yang memenuhi
kebutuhannya. Thibaut dan Kelley, pemuka utama dari teori ini menyimpulkan
teori ini sebagai berikut:
“Asumsi dasar yang
mendasari seluruh analisis kami adalah bahwa setiap individu secara sukarela
memasuki dan tinggal dalam hubungan sosial hanya selama hubungan tersebut cukup
memuaskan ditinjau dari segi ganjaran dan biaya”.
2.6
Tinjauan Teori Interaksi Simbolik
Teori interaksi
simbolik menekankan pada hubungan antara simbol dan interaksi, serta inti dari
pandangan pendekatan ini adalah individu (Soeprapto, 2007). Menurut Ralph
Larossa dan Donald C. Reitzes (1993) dalam West-Turner (2008: 96), interaksi
simbolik pada intinya menjelaskan tentang kerangka referensi untuk memahami
bagaimana manusia, bersama dengan orang lain, menciptakan dunia simbolik dan
bagaimana cara dunia membentuk perilaku manusia.
Interaksi simbolik ada
karena ide-ide dasar dalam membentuk makna yang berasal dari pikiran manusia (Mind) mengenai diri (Self), dan hubungannya di tengah
interaksi sosial, dan bertujuan akhir untuk memediasi, serta menginterpretasi
makna di tengah masyarakat (Society)
dimana individu tersebut menetap. Seperti yang dicatat oleh Douglas (1970)
dalam Ardianto (2007: 136), Makna itu berasal dari interaksi, dan tidak ada
cara lain untuk membentuk makna, selain dengan membangun hubungan dengan
individu lain melalui interaksi.
Definisi singkat dari
ke tiga ide dasar dari interaksi simbolik (Ardianto, Elvinaro dan Bambang
Q-Anees, 2007), antara lain:
1.
Pikiran (Mind) adalah kemampuan untuk
menggunakan simbol yang mempunyai makna sosial yang sama, dimana tiap individu
harus mengembangkan pikiran mereka melalui interaksi dengan individu lain.
2.
Diri (Self) adalah kemampuan untuk
merefleksikan diri tiap individu dari penilaian sudut pandang atau pendapat
orang lain.
3.
Masyarakat (Society) adalah jejaring
hubungan sosial yang diciptakan, dibangun, dan dikonstruksikan oleh tiap
individu ditengah masyarakat, dan tiap individu tersebut terlibat dalam
perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela, yang pada akhirnya
mengantarkan manusia dalam proses pengambilan peran di tengah masyarakatnya.
Tiga tema konsep
pemikiran George Herbert Mead yang mendasari interaksi simbolik antara lain:
1. Pentingnya makna
bagi perilaku manusia
Tema
pertama pada interaksi simbok berfokus pada pentingnya membentuk makna bagi
perilaku manusia, dimana dalam teori interaksi simbolik tidak bisa dilepaskan
dari proses komunikasi, karena awalnya makna itu tidak ada artinya, sampai pada
akhirnya di konstruksi secara interpretif oleh individu melalui proses
interaksi, untuk menciptakan makna yang dapat disepakati secara bersama.
2. Pentingnya konsep
mengenai diri
Tema
kedua pada interaksi simbolik berfokus pada pentingnya ”Konsep diri” atau ”Self-Concept”. Dimana pada tema
interaksi simbolik ini menekankan pada pengembangan konsep diri melalui
individu tersebut secara aktif, didasarkan pada interaksi sosial dengan orang
lainnya.
3. Hubungan antara
individu dengan masyarakat
Tema
terakhir pada interaksi simbolik berkaitan dengan hubungan antara kebebasan
individu dan masyarakat, dimana asumsi ini mengakui bahwa norma-norma sosial
membatasi perilaku tiap individunya, tapi pada akhirnya tiap individulah yang
menentukan pilihan yang ada dalam social kemasyarakatannya.
Herbert Blumer
mengemukakan tiga premis utama yang mendasari teori interaksionisme simbolis
(Soeprapto, 2002: 120-121), yaitu:
a. Manusia
bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu
bagi mereka.
b. Makna
itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan dengan orang lain.
c. Makna-makna
tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial sedang berlangsung.
Sebagaimana diterangkan
Veeger (1993: 224-228) bahwa teori interaksi simbolik Blumer sebenarnya
melanjutkan gagasan-gagasan Mead yang bertumpu pada lima hal, yaitu:
1. Konsep
Diri, manusia merupakan organisme yang dilengkapi dengan kesadaran akan dirinya
(an organism having a self). Ia
memiliki kemampuan untuk mempelajari, berinteraksi dan sibuk dengan dirinya
sendiri.
2. Konsep
Perbuatan, konsep
ini memperlihatkan bahwa perbuatan manusia itu dibentuk dalam dan melalui
proses interaksi dengan dirinya sendiri. Perbuatan demikian menjadi khas atau
unik.
3. Konsep
Objek, manusia hidup di tengah
berbagai hal yang menjadi perhatian aktif dirinya. Disini, hakikat objek tidak
ditentukan oleh ciri-ciri instrinsik objek itu, melainkan ditentukan oleh
pencitraan diri orang itu atas objek-objek tersebut.
4. Konsep
Interaksi Sosial, manusia
itu berusaha menempatkan dirinya dalam posisi orang lain. Mereka mencari,
memahami dan menafsirkan arti dari suatu aksi yang diberikan orang lain untuk
kemudian bertindak sesuai dengan arti tersebut. Dari sini muncul transaksi yang
nilainya melebihi jumlah total unsur-unsur maksud, tujuan dan sikap
masing-masing pihak.
5. Konsep
Joint Action, konsep ini menunjukkan
aksi kolektif yang lahir karena tindakan saling menyerasikan antara satu (seseorang)
dengan lainnya. Menurut Blumer joint
action mempunyai karir yakni mengalami perkembangan dan memerlukan waktu,
sehingga organisasi bisa menghadapi kebimbangan, ketidakpastian, ketergantungan
dan perubahan (Veeger, 1993: 227).
2.7
Konsep Diri
2.7.1
Pengertian Konsep Diri
Konsep diri adalah
suatu gambaran campuran dari apa yang kita pikirkan, pendapat orang mengenai
diri kita dan seperti apa diri kita inginkan. Secara umum disepakati konsep
diri belum ada sejak lahir, konsep diri dipelajari melalui kontak sosial dan
pengalaman berhubungan dengan orang lain. Pandangan individu tentang dirinya
dipengaruhi oleh bagaimana individu mengartikan pandangan orang lain terhadap
dirinya. Konsep diri merupakan konsep dasar dan aspek kritikal dari individu.
Tingkah laku tidak
hanya dipengaruhi oleh pengalaman-pengalamman masa lalu dan saat ini tetapi
oleh makna-makna pribadi yang masing-masing individu pada persepsinya mengenai
pengalaman tersebut. Dunia individu yang sangat berarti ini yang dengan kuatnya
mempengaruhi tingkah laku. Tingkah laku seseorang merupakan hasil bagaimana dia
mengamati situasi dan dirinya sendiri. Konsep diri merupakan sebuah organisasi
yang yang stabil dan berkarakter yang disusun dari persepsi-persepsi yang
tampaknya bagi individu yang bersangkutan.
William D. Brooks di
dalam buku Drs. Jalaludin Rakhmat yang berjudul “Psikologi Komunikasi”
mendefinisikan konsep diri sebagai “those
physical, social, and psychologicalperceptions of ourselve that we have derived
from experiences and our interaction with other” (Rakhmat, 2009: 99). Jadi
konsep diri adalah pandangan dan perasaan tentang diri kita. Persepsi tentang
diri ini boleh bersifat psikologi, sosial dan fisis.
2.7.2
Komponen Konsep Diri
Konsep
diri memiliki lima komponen yaitu:
1. Gambaran
diri (body image) adalah sikap seseorang
terhadap tubuhnya secara sadar dan tidak sadar.
2.
Ideal diri adalah persepsi
individu tentang bagaimana ia harus berperilaku sesuai dengan standar pribadi
(Stuart & Sundeen, 375: 1991).
3. Harga
diri adalah
penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisa seberapa jauh
perilaku mengetahui ideal diri (Stuard & Sundeen, 376: 1991).
4. Peran adalah pola sikap,
perilaku, nilai dan tujuan yang diharapkan dari seseorang berdasarkan posisinya
dimasyarakat.
5. Identitas
diri adalah
kesadaran akan diri sendiri yang bersumber dari observasi dan penilaian, yang
merupakan sintesa dari semua aspek konsep dirisebagai suatu kesatuan utuh
(Stuard & Sundeen, 378 : 1991).
2.7.3
Konsep Diri Berdasarkan Kebutuhan
Menurut Abraham Masllow masing-masing individu
memiliki lima kebutuhan dasar manusia, yang disusun sesuai dengan hirarkinya
dari yang potensial sampai yang paling tidak potensial, yaitu:
1. Kebutuhan-kebutuhan
fisiologis, seperti lapar dan haus;
2. Kebutuhan-kebutuhan
terhadap rasa aman;
3. Kebutuhan-kebutuhan
akan kasih sayang;
4. Kebutuhan
penghargaan terhadap diri;
5. Kebutuhan aktualisasi diri.
2.7.4
Faktor-faktor
Yang Mempengaruhi Konsep Diri
a) Orang
Lain
Gabriel Marcell,
filsuf eksistensialis dari dalam buku Drs. Jalaludin Rakhmat yang Berjudul
psikologi komunikasi menulis tentang peranan orang lain dalam memahami diri
kita, “The fact is that the we can
understand ourselve by starting from the other, or from others, and only by
starting from them” kita mengenal diri kita dengan mengenal diri orang lain
terlebih dahulu. Bagaimana anda menilai saya akan membentuk konsep diri saya.
(Rakhmat, 2009: 101)
b) Kelompok
Rujukan
Setiap
kelompok mempunyai norma-norma tertentu. Ada
kelompok yang secara emosional mengikat kita dan berpengaruh terhadap
pembentukan konsep diri seseorang, ini disebut dengan kelompok rujukan. Dengan
melihat kelompok ini, orang mengarahkan perilakunya dan menyesuaikan dirinya
dengan ciri-ciri kelompoknya.
Orang
yang memiliki konsep diri positif ditandai dengan lima hal yaitu:
1. Ia
yakin akan kemampuannya mengatasi masalah;
2. Ia
merasa setara dengan orang lain;
3. Ia
menerima pujian tanpa rasa malu;
4. Ia
menyadari bahwa setiap orang memiliki berbagai perasaan, keinginan dan perilaku
yang tidak seluruhnya disetujui masyarakat;
5. Ia
mampu memperbaiki dirinya karena ia sanggup mengungkapkan aspek-aspek
kepribadian yang tidak disenangi dan berusaha sebaliknya (Rakhmat, 2009: 105)
Dan
ada empat tanda orang yang memiliki konsep diri negatif yaitu:
2. Responsitif
sekali terhadap pujian. Berpura-pura menghindari pujian, ia tidak dapat
menyembunyikan atusiasmenya pada waktu menerima pujian.
3. Cenderung
merasa tidak disenangi oleh orang lain.
4. Bersikap
pesimis terhadap kompetisi seperti terungkap dalam keengganannya untuk bersaing
dengan orang lain dalam membuat prestasi (Rakhmat, 2009: 105)
BAB
III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1
Paradigma Penelitian
Penelitian ini menggunakan
Paradigma Konstruktivis. Paradigma Konstruktivis melihat realitas kehidupan
sosial bukanlah realitas yang natural, melainkan hasil konstruksi. Paradigma
konstruktivis memandang komunikasi sebagai proses produksi dan pertukaran
makna, yang menjadi titik perhatian bukan bagaimana seseorang mengirim pesan
tapi bagaimana masing-masing pihak saling memproduksi dan mempertukarkan makna.
Dua karateristik utama
paradigma konstruktivis :
1. Pendekatan konstruktivis menekankan pada bagaimana
seseorang membuat gambaran tentang realitas.
2. Pendekatan konstruktivis memandang kegiatan komunikasi
sebagai proses yang dinamis.
Konstruktivisme sosial
meneguhkan asumsi bahwa individu – individu selalu berusaha memahami dunia
dimana mereka hidup dan bekerja. Mereka mengembangkan makna-makna subjektif
atas pengalaman-pengalaman mereka, makna-makna yang diarahkan pada objek-objek
atau benda-benda tertentu. Makna-makna ini cukup banyak dan beragam sehingga
peneliti dituntut untuk lebih mencari kompleksitas pandangan-pandangan
ketimbang mempersempit makna-makna menjadi sejumlah kategori dan gagasan
(Creswell, 2010 : 11).
3.2 Pendekatan Penelitian
Penelitian ini
menggunakan metode pendekatan kualitatif.
Metode ini merupakan metode yang mengeksplorasi dan memahami makna yang
dianggap berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan. Proses penelitian ini
melibatkan upaya-upaya penting, seperti mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan
prosedur-prosedur, mengumpulkan data yang spesifik dari para partisipan,
menganalisis data secara induktif mulai dari tema – tema yang khusus ke tema
-tema yang umum dan menafsirkan makna data ( Creswell, 2010 : 5 ).
3.3
Sifat Penelitian
Sifat
dari penelitian ini adalah deskriptif. Penelitian deskriptif bertujuan untuk
memberikan gambaran tentang suatu gejala serta menampilkan gambaran mengenai
setiap detail situasi, setting sosial, atau hubungan ( Moleong, 2006 : 11).
3.4
Strategi Penelitian
Penelitian ini menggunakan strategi Fenomenologi.
Menurut Collin Fenomenologi mampu mengungkap objek secara meyakinkan, meskipun
objek itu berupa objek kognitif maupun tindakan ataupun ucapan. Fenomenologi
mampu melakukan itu karena segala sesuatu yang dilakukan oleh seseorang selalu
melibatkan mental.
Menurut Bogdan dan Taylor Fenomenologi harus menggunakan
metode kualitatif dengan melakukan pengamatan partisipan, wawancara yang
intensif, melakukan analisis dari kelompok kecil dalam memahami keadaan sosial.
Menurut Mehan dan Wood peneliti harus mampu membuka selubung praktik yang
digunakan oleh orang yang melakukan kehidupan sehari – hari. Hal ini penting
agar mengetahui bagaimana rutinitas itu berlangsung.
Menurut Scheglof dan Sacks dalam melakukan
penelitian dengan menggunakan perspektif ini peneliti merekam kondisi sosial
sehingga memungkinkan peneliti mendemonstrasikan tentang cara yang dilakukan
oleh informan. Pada saat itu peneliti melakukan interpretasi terhadap makna
perbuatan, dan pikiran mereka tentang struktur keadaan ( Wirawan, 2012 : 137 –
138 ).
Sebagai suatu gerakan dalam berfikir, Fenomenologi
dapat diartikan sebagai upaya studi tentang pengetahuan yang timbul karena rasa
kesadaran ingin mengetahui. Objek pengetahuan berupa gejala atau kejadian –
kejadian dipahami melalui pengalaman secara sadar ( councious experience ). Fenomenologi menganggap pengalaman yang
aktual sebagai data tentang realitas yang dipelajari. Kata gejala merupakan
asal istilah Fenomenologi dibentuk, dan dapat diartikan sebagi suatu tampilan
dari objek, kejadian, atau kondisi – kondisi menurut persepsi ( Little John dalam
Pawito, 2007 : 54 ).
Menurut Embree fenomenologi memiliki empat varian,
yaitu :
1. Fenomenologi
realistik yang lebih menekankan pada pengamatan serta penggambaran esensi –
esensi yang bersifat umum.
2. Fenomenologi
konstitutif, yaitu lebih memandang objek penelitian memiliki kesadaran terhadap
diri sendiri yang kemudian dapat berimplikasi objek menjadi subjek.
3. Fenomenologi
ekstensial, yaitu lebih memberikan penekanan pada aspek – aspek keberadaan
manusia di dunia ini.
4. Fenomenologi
Hermeneutik, yaitu lebih sering disebut dengan hermeneutik yang lebih
menekankan pada pemberian makna – makna dalam segala aspek kehidupan ( Pawito,
2007 : 55 – 58 ).
3.5
Objek Penelitian
Pemilihan informan atau
objek penelitian dilakukan berdasarkan teknik purposive sampling, yaitu dengan cara membuat kriteria informan
berdasarkan kebutuhan penelitian. Informan yang dipilih biasanya orang atau
kelompok yang mengetahui tentang masalah penelitian yang sedang diteliti.
Biasanya melibatkan pemuka, tokoh – tokoh, atau kelompok yang kaya akan
informasi yang sedang diteliti. Subjek pada penelitian ini yaitu individu yang
termasuk ke dalam kategori homoseksual dengan terlebih dahulu dilakukan
pengamatan kesehariannya yang bertempat tinggal di kawasan Margonda, Depok.
3.6 Data Yang Digunakan
3.6.1 Data Primer
Data yang diperoleh langsung dari objek penelitian
yaitu dengan melakukan wawancara dengan beberapa orang yang berorientasi
homoseksual. Individu yang dijadikan informan dipilih sesuai dengan kebutuhan
penelitian dan yang memiliki pengetahuan lebih tentang masalah yang sedang diteliti
( Moleong, 2006 : 157 ).
3.6.2
Data Sekunder
Data sekunder adalah data pendukung yang diambil
melalui sumber lain seperti buku, makalah, jurnal – jurnal, dan situs internet
yang berhubungan dengan objek penelitian yang sedang diteliti ( Moleong, 2006 :
157 ).
3.7 Metode Pengumpulan Data
3.7.1
Wawancara
Wawancara adalah bentuk komunikasi antara dua orang,
melibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi dari seorang lainnya
dengan mengajukan pertanyaan – pertanyaan berdasarkan tujuan tertentu (
Mulyana, Deddy, 2006 : 180 ). Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan
data pada penelitian apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk
menemukan permasalahan yang akan diteliti dan apabila peneliti ingin mengetahui
hal – hal yang lebih mendalam dari responden dan jumlah respondennya sedikit (
Sugiyono, 2009 : 137 ).
3.7.2
Observasi
Metode pengamatan atau observasi biasanya dilakukan
untuk melacak secara sistematis dan langsung gejala-gejala komunikasi terkait
persoalan-pesoalan sosial, politis, dan kultur masyarakat. Peneliti hadir langsung
dan mengamati kejadian-kejadian di lokasi. Peneliti menggunakan metode
observasi tidak terlibat ( nonparticipant
observation ) dimana peneliti ikut ambil bagian sampai tingkat tertentu
dalam kegiatan atau proses-proses penting di dalam komunitas gay, dengan kata
lain peneliti dalam hubungan ini tidak menjadi bagian dari komunitas gay (
Pawito, 2007 : 111 – 114 ).
3.7.3
Studi Literatur
Sedangkan untuk studi literatur, data diperoleh dari
buku – buku dan jurnal ilmiah yang mendukung dan memiliki tema sama dengan
penelitian yang sedang dilakukan. Selain itu, informasi dari internet pun turut
membantu memperkaya informasi pada penelitian yang sedang dilakukan ( Moleong, 2006 : 159 ).
3.8 Analisis Data
Peneliti melakukan
teknik analisis data menggunakan analisis interaktif Miles dan Huberman. Ada
tiga komponen utama dalam proses analisis, pertama reduksi data. Tahap pada reduksi
data melibatkan langkah-langkah editing, pengelompokan, dan meringkas data.
Komponen yang kedua yaitu penyajian data. Tahap pada penyajian data meliputi
langkah mengorganisasikan data. Dalam hubungan ini data yang tersaji berupa
kelompok-kelompok data yang saling dikaitkan sesuai dengan kerangka teori yang
digunakan. Komponen yang ketiga yaitu penarikan dan pengujian kesimpulan, peneliti
mengimplementasikan pola-pola data yang ada (Pawito, 2007 : 104 - 106 ).
3.9 Validitas Data
Penelitian
ini menggunakan teknik triangulasi yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu di luar data untuk pengecekan atau sebagai pembanding
terhadap data yang sudah ada. Menurut Denzin ( 1978 ) membedakan
empat macam triangulasi sebagai teknik pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan
sumber, metode, dan teori.
Penelitian ini
menggunakan teknik triangulasi sumber berarti dengan membandingkan dan mengecek
balik derajat kepercayaan suatu informasi yang di peroleh melalui waktu dan
alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif ( Patton dalam Moleong, 2006 : 330 ).
Hal itu dapat dicapai
dengan jalan : (1) membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil
wawancara; (2) membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa
yang dikatakannya secara pribadi; (3) membandingkan apa yang dikatakan orang –
orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu;
(4) membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan
pandangan orang seperti rakyat biasa, orang yang berpendidikan menengah atau
tinggi, orang berada, orang pemerintahan; (5) membandingkan hasil wawancara
dengan isi suatu dokumen yang berkaitan ( Moleong, 2006 : 331 ).
BAB
IV
PEMBAHASAN
4.1
Penggunaan Simbol Kaum Homoseksual
Berdasarkan hasil
observasi yang telah kami lakukan, dapat disimpulkan bahwa mayoritas kaum
homoseksual melakukan pengungkapan diri dengan cara langsung bergabung melalui
media dan situs-situs tertentu serta perkenalan dari teman ke teman. Sehingga
cara pendekatan komunikasi antarpribadi yang dilakukan kaum homoseksual itu
sendiri lebih cepat terjalin dan interaksi lebih cepat dalam pengenalan diri
satu sama lain.
Kebanyakan dari
homoseksual yang ada, melakukan pengungkapan diri dengan berperilaku menarik
perhatian orang yang ada di sekitar mereka baik menggunakan kata-kata tertentu
bahkan dengan penggunaan bahasa tubuh. Bahasa tubuh yang dimaksud disini
seperti berperilaku ngondek atau
berperilaku kemayu serta menirukan gerakan perempuan berjalan dengan
lenggokan-lenggokannya. Selain itu dengan ucapan-ucapan kata yang dikeluarkan
dengan bahasa tersendiri yang hanya diketahui sesama komunitas mereka.
Penggunaan simbol lebih
kepada komunikasi non verbal yaitu gerakan mata, permainan tangan dan
gerakan-gerakan yang memancing lawan mereka. tidak adanya penggunaan simbol
yang nyata dari kehidupan homoseksual di Margonda, Depok. Namun, permainan
mata, gerakan tubuh dan tindakan yang mengundang perhatian itu sebagai ciri
keberadaan mereka.
Contoh kongkritnya
adalah ketika dalam sebuah kafe seorang homoseksual akan mencari target mereka
dengan memasang mata tajam dan suka melirik-lirik orang. Ketika mereka melihat
targetnya, mereka akan fokus pada satu pandangan yaitu target mereka tersebut.
Mereka akan mencari tahu apakah targetnya tersebut adalah seorang homoseksual
dengan sering memperhatikan setiap gerak gerik yang dilakukan. Ketika target
melihat dan menoleh si pelaku homoseksual, maka homoseks akan memalingkan
matanya dan membuang pandangan, itu biasa dilakukan hingga berulang kali hingga
akhirnya pelaku homoseksual yakin kalau target yang dilihatnya adalah seorang
homoseksual juga atau tidak. Karena tanpa disadari setiap individu homoseksual
pasti telah memiliki filling atau
insting tersendiri ketika mereka melihat pasangan mereka masing-masing. Hingga
akhirnya homoseksual tahu targetnya adalah pelaku sesama jenis dan dia akan
melakukan interaksi simbolik sebagai wujud pola komunikasi langkah awal yang
dilakukan untuk berinteraksi dan meyakinkan kembali akan keberadaan mereka
masing masing.
Bahasa yang digunakan termasuk
kedalam bahasa argot. Dimana penggunaan bahasa hampir mirip dengan bahasa
waria. Penggunaan bahasa kaum homoseksual dalam kehidupan berkomunitas tidak
semuanya diterapkan. Bahkan dalam berkomunikasi pun hanya sebagian dari mereka
yang menggunakan bahasa tersebut. Mayoritas dari homoseksual yang tergolong
dengan sikap kecowok-cowokan (Manly)
lebih cenderung menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa daerah.
Hal yang sama juga
disampaikan oleh Satria bahwa “...dalam bergaul bahasa ini bukan menjadi bahasa
yang diwajibkan oleh homoseksual. Namun penggunaan bahasa “Slang” ini digunakan
dalam joke tertentu”.
Serta pola komunikasi
homoseksual dilakukan dengan tahap-tahap pendekatan layaknya pertemanan
heteroseksual. Mulai dari tahap interaksi awal sampai keputusan.tahap-tahap
yang dilakukan homoseksual tidak terlepas dari interaksi simbolik yang
dihasilkan dalam berinteraksi. Hasil penelitian yang dilakukan terhadap
informan ada beberapa tahap pola komunikasi yang dijalani oleh informan.
Seperti yang disampaikan oleh Adi 25 Tahun. Cara berinteraksi yang dilakukan
informan yaitu dengan trik sendiri.
4.2
Pola Komunikasi kaum homoseksual
Terdapat dua cara
pendekatan komunikasi yang dilakukan oleh kaum homoseksual dalam berinteraksi
dengan sesamanya, yaitu penggunaan media online
seperti jejaring sosial merupakan salah satu media yang prioritas
dilakukan. Efek yang ditimbulkan pun yaitu semakin banyaknya peluang yang
dihasilkan oleh informan untuk berinteraksi dengan komunitas mereka. Dari tahap
pencarian setiap individu akan lanjut ke tahap proses lebih mendalam dengan
cara mengajak berkenalan satu sama lain. Hingga akhirnya mereka memutuskan
untuk menjalin hubungan. Komunikasi pun layak dilakukan seperti kehidupan biasa
dengan berinteraksi sesama komunitas tanpa ada simbol atau sandi tertentu yang
dibuat berdasarkan kesepakatan komunitas homoseksual. Dalam arti kata pola
komunikasi terjalin dengan sendirinya setelah menggunakan perantara. Berikut
ini Langkah-langkah Perkenalan Homoseksual dan pola
komunikasi yang terbentuk dari interaksi kaum homoseksual:
BAB
V
KESIMPULAN
DAN SARAN
5.1
Kesimpulan
a) Pola komunikasi antarpribadi
yang dilakukan homoseksual berdasarkan 4 informan berbeda-beda sesuai
kepribadian individu, begitu juga dengan penggunaan simbol/tanda yang digunakan
oleh kaum homoseksual. Untuk menentukan seseorang itu homoseksual atau bukan
dapat dilihat dari gaya berbicara yang ditampilkan. Artinya hasil penelitian
dari informan menyatakan bahwa setiap individu homoseksual memiliki insting
tersendiri ketika mereka bertemu dan berhubungan dengan sesama jenis untuk
memutuskan laki-laki tersebut homoseksual atau tidak.
Namun, simbol-simbol
tersebut diganti dengan bahasa non verbal seperti gaya bicara, berjalan,
tingkah laku, bahasa tubuh yang menunjukkan bagaimana seorang homoseksual
menyatakan diri mereka adalah homoseksual secara tidak langsung. Sedangkan
ciri-ciri yang ada dalam realita homoseksual di Margonda, Depok dilihat dari
cara mereka berpakaian dengan tampilan lebih fashionable, dengan memperhatikan
cara style berpakaian. Pola hidup (lifestyle) kehidupan ingin tampil glamour dalam kehidupan. Dapat diartikan
mereka baik dari segi berbusana, kehidupan serta pola hidup serba instan dan
mewah. Sesuai dengan interaksi simbolik yang melambangkan adannya simbol atau
ciri tertentu yang membedakan homoseksual itu sendiri. Dimana dalam interaksi
simbolik ditinjau dari bahasa verbal dan non verbal. Ini semua terjadi di Margonda,
Depok.
b)
Penggunaan bahasa yang digunakan terdapat dua pengelompokkan bahasa yaitu
bahasa verbal dan non verbal. Bahasa verbal dapat berupa penggunaan kata yang
disampaikan secara langsung. Sedangkan bahasa non verbal berupa isyarat-isyarat
kata yang dikeluarkan dari gerakan tubuh, ekspresi wajah, vara berperilaku
serta simbol yang dihasilkan dari panca indera individu. Namun, hasil
penelitian berikut mengenai bahasa verbal yang digunakan kaum homoseksual di
Margonda, Depok dalam pengungkapan diri dalam kehidupan sehari-hari kaum
homoseksual menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa daerah untuk berkomunikasi.
Namun, dalam bergaul sesama komunitas, mereka cenderung menggunakan bahasa
tersendiri. Dimana bahasa yang diucapkan identik dengan penggunaan bahasa
waria. Realita penggunaan bahasa homoseksual dalam melakukan pengungkapan diri
tergantung situasi dan kondisi lingkungan mereka. Yaitu dilihat dari keberadaan
mereka. Namun, lebih ditekankan pada bahasa Indonesia dan bahasa tersendiri.
c) Pola komunikasi
menjelaskan bagaimana proses pengungkapan diri yang digunakan dalam
pengungkapan diri mereka terhadap komunitas dengan menggunakan alur komunikasi.
Komunikasi yang dilakukan tidak lepas dari penggunaan media. Seperti jejaring
sosial serta grup tertentu. Berawal dari tahap perkenalan pola komunikasi
berkembang ke tahap selanjutnya seperti pendekatan, pembinaan hubungan, pacaran
dann berakhir dengan tahap klimaks yaitu pemutusan hubungan. Pola komunikasi yang
dijalin oleh kalangan setiap homoseksual dapat saja berakhir. Dikarenakan telah
menemukan penggantinya. Dalam artian kehidupan homoseksual diibaratkan dalam
lingkaran setan karena pertemanan dan hubungan homoseksual akan berputar pada
tempat yang sama dengan orang yang sama dan terperangkap nafsu seks. Karena
seksualitas menentukan seseorang.
5.2
Saran
a) Penggunaan simbol
atau ciri yang digunakan lebih diperjelas kemana arahnya. Sehingga pihak luar
juga dapat memprediksikan dari dalam berinterkasi dengan homoseksual. Dengan simbol
atau ciri yang jelas, sesama homoseksual juga dapat mengenal satu sama lain.
b) Penggunaan bahasa
yang digunakan dalam pengungkapan diri sebaiknya memakai bahasa formal
(Indonesia/daerah) agar konsep penggunaan bahasa waria tidak sama dengan bahasa
homoseksual/ karena banyak persepsi yang muncul di masyarakat bahasa waria
hampir sama dengan homoseksual.
c) Pola komunikasi yang
terjadi sudah dinarasikan secara jelas. Sehingga telah mengetahui alur
komunikasi yang terjadi. Namun, berusaha keluar dari alur pola komunikasi yang
biasa dilakukan, akan menjadi perubahan dan cara tersendiri bagi komunitas
homoseksual untuk melakukan pengungkapan diri. Sehingga dengan adanya cara
tersendiri membuat individu atau komunitas homoseksual lainnya dapat dengan
mudah mengetahui lawan bicaranya.
d) Homoseksual
merupakan perilaku menyimpang. Namun, keberadaan komunitas yang ada baik dari
individu maupunkelompok untuk tidak mendeskriminasikan keberadaan mereka. Serta
mendapatkan pengucilan dari kehidupan sosial.
e) Tidak selamanya
keberadaan homoseksual itu dalam pola pikir negatif. Banyak dari homoseksual
termasuk dalam kategori individu yang cerdas dan berprestasi dalam bidangnya.
f) Sampai kapanpun
keberadaan homoseksual tidak akan hilang dari realita kehidupan. Jadi,
berperilaku sewajarnya dalam bermasyarakat serta mengetahui norma-norma yang
berlaku agar tidak mendapatkan diskriminasi dalam kehidupan sosial.
Komentar