Langsung ke konten utama

Arah Sistem Politik Indonesia

BAB II PEMBAHASAN 2.1. Arah Sistem Politik Indonesia 2.1.1. Sejarah Singkat Sistem Politik Indonesia 2.1.1.1. Zaman Demokrasi Liberal Di Indonesia demokrasi liberal berlangsung sejak 3 november 1945, yaitu sejak sistem multi-partai berlaku melalui maklumat pemerintah. Sistem multi-partai ini lebih menampakkan sifat instabilitas politik setelah berlaku sistem parlementer dalam naungan UUD 1945 periode pertama.Demokrasi liberal dikenal pula sebagai demokrasi – parlementer oleh karena berlangsung dalam sistem pemerintahan parlementer ketika berlakunya UUD 1945 periode pertama, konstitusi RIS, dan UUDS 1950. dengan demikian demokrasi –liberal secara formal berakhir pada 5 juli 1959, sedang secara material berakhir pada saat gagasan Demokrasi –Terpimpin dilaksanakan melalui pidato Presiden di depan Konstituante tanggal 10 November 1956 atau pada saat konsepsi Presiden tanggal 21 Januari 1957 dengan dibentuknya Dewan Nasional, seperti telah di uraikan . Dalam periode demokrasi – liberal ini ada beberapa hal yang secara pasti dapat dikatakan telah melekat dan mewarnai prosesnya, yaitu sebagai berikut : A. Penyaluran Tuntutan Tuntutan terlihat sangat intens (frekuensinya maupun volumenya tinggi) dan melebihi kapasitas sistem yang hidup, terutama kapabilitas atau kemampuan mesin politik resmi. Melalui sistem multi-partai yang terus berkembang biak, penyaluran input-pun sangat besar, namun kesiapan kelembagaan belum seimbang untuk menampungnya. Timbulah krisis akibat meningkatnya partisipasi dalam wujud tuntutan itu kurang efektif berfungsi, karena “gatekeeper” (elit politik) belum mempunyai konsensus untuk bekerja sama, atau pola kerjasama belum cukup tersedia. B. Pemeliharaan dan Kontinuitas Nilai Keyakinan atas hak asasi manusia demikian tingginya, sehingga menumbuhkan kesempatan dan kebebasan luas dengan segala eksesnya. Ideologisme atau aliran pemikiran ideologis bertarung dengan aliran pemikiran pragmatik. Aliran pragmatik diilhami oleh paham / aliran sosial – demokrat melalui PSI, sedang yang ideologik diilhami oleh nasionalisme radikal melalui PNI.. C. Kapabilitas Kekayaan alam dan manusia Indonesia ketika itu masih potensial sifatnya dan belum didayagunakan secara maksimal. Namun beberapa kabinet, sesuai dengan sifat pragmatik yang mengilhaminya, lebih menekankan pada pengolahan potensi tadi dan mengambil tindakan pengaturan distribusi. Dalam kabinet yang beroreintasi pragmatik tadi, usaha bidang perekonomian lebih diarahkan pada pola ekonomi bebas, sedangkan pada kabinet yang lebih menonjolkan konsep kemakmuran lebih kentara dalam kabinet yang pragmatik, sedang konsep menuju keadilan mendapat perhatian kabinet yang ideologis. Hanya kabinet-kabinet tertentu saja yang mempunyai kapabilitas untuk menata perimbangan antara konsep keadilan dan konsep kemakmuran tersebut secara serasi. D. Integritas Terjadi hubungan antara elit dengan massa berdasarkan pola integrasi aliran. Integrasi aliran. Integrasi ini tidak selalu harus berati bahwa prosesnya dari atas (elit) ke bawah (massa) saja, melainkan juga dari massa ke kalangan elit berdasarkan pola paternalisti E. Integrasi Horizontal Agak sukar mengatakan bahwa antara elit politik yang satu dengan elit politik lainnya terjalin integrasi yang dapat di andalkan. Kendatipun pernah terjadi semacam integrasi kejiwaan antar elit, tetapi akhirnya berproses ke arah disintegrasi juga. Di lain pihak, pertentangan antar elit itu bersifat menajam dan terbuka. Kategori elit Indonesia yang disebut penghimpunan solidaritas (solidarity markers) lebih menampak dalam periode demokrasi-liberal itu. Walaupun demikian, waktu itu terlihat pula munculnya kabinet-kabinet yang terbentuk dalam suasana keselang-selingan pergantian kepemimpinan dalam mana kelompok administrator memegang peranan. Kulminasi krisis politik akibat pertentangan antar elit demikian mulai sejak terbentuknya Dewan banteng, Dewan gajah, dan PRRI pada tahun 1958. F. Gaya Politik Bersifat ideologis, artinya lebih menitikberatkan faktor yang membedakan, sebabnya ialah karena ideologi cenderung bersifat kaku dan tidak kompromistik atau reformistik. Adanya kelompok-kelompok yang mengukuhi ideologi secara berlainan, bahkan bertentangan pada saat berhadapan dengan kebuntuan penetapan dasar negara pada sidang konstituante. Gaya Politik yang ideologik dalam konstituante ini oleh elitnya masing-masing dibawa ke tengah rakyat, sehingga timbul ketegangan dan perpecahan dalam masyarakat. G. Kepemimpinan Berasal dari angkatan Sumpah Pemuda yang lebih cenderung,belum permisif untuk meninggalkan pikiran-pikiran partenal, primordial terhadap aliran, agama, suku, atau kedaerahan .(dari sudut ini, Sumpah Pemuda tahun 1928 barulah merupakan ucapan dan ikatan resmi dan belum membudaya secara material pada waktu itu). H. Perimbangan Partisipasi Politik Dengan Kelembagaan Massa Dapat dicatat bahwa partisipasi massa sangat tinggi ,sampai –sampai tumbuh anggapan bahwa seluruh lapisan rakyat telah berbudaya politik partisipasi. Anggapan bahwa rakyat mengenal hak-haknya dan dapat melaksanakan kewajibannya menyebabkan tumbuhnya deviasi penilaian terhadap peristiwa-peritiwa politik yang timbul ketika itu. Percobaan kudeta dan pemberontakan, di mana di belakangnya sedikit banyak tergambar adanya keterlibatan / keikutsertaaan rakyat, dapat diberi arti bahwa kelompok rakyat yang bersangkutan memang telah sadar, atau mereka hanya terbawa bawa oleh pola-pola aliran yang ada ketika itu. Veteran dan Militer Karena dalam periode tersebut pengaruh demokrasi-barat lebih dominan ,maka keterlibatan militer dalam arena politik (dalam hal ini partisipasi politik) tidak terlalu kentara. Justru supremasi sipilah yang menonjol ;salah satu indikator nya ialah jabatan menteri pertahanan selalu dipegang oleh tokoh sipil. Dalam periode itu pula, militer yang mempunyai kepangkatan tertentu tidak diperbolehkan duduk dalam DPR melalui pemilihan umum. Tetapi partisipasi militer reguler tidak dibedakan dengan partisipasi kelompok sipil ,misalnya dalam hal hak pilih aktif dalam pemilihan umum. Hanya beberapa kasus tertentu saja,a.1.peristiwa 17 oktober 1952, yang menyebabkan meningkatnya usaha militer untuk berpartisipasi aktif, dan beberapa tahun kemudian, menjelang pemilihan umum 1955, tumbuh partai politik yang pimpinannya terdiri atas eksponen militer. Tetapi ikatan korps antara purnawirawan dengan tentara reguler belum menunjukan keeratan seperti sekarang (lihat peranan Pepabri dll). Pola Pembangunan Aparatur Negara Diselenggarakan menurut pola yang bebas, artinya di tolerir adanya ikatan dengan kekuatan –kekuatan politik yang berbeda secara ideologis. Akibatnya fungsi aparatur negara yang semestinya melayani kepentingan umum tanpa perkecualiaan, menjadi cenderung melayani kepentingan golongan menurut ikatan primordial. Pengangkatan pejabat, yang merupakan salah satu kewenangan eksekutif, di lakukan atas dasar senang dan tidak senang.maka tumbuhlah semacam sistem “anak emas” Loyalitas kembar anggota aparatur negara ,yaitu setia kepada golonganya dan setia kepada negara sekaligus ,adakalanya membuat mereka leluasa setia kepada negara sekaligus ,adakalanya membuat mereka leluasa dan dengan semena-mena mentorpedo kebijaksanaan pemerintah yang berkuasa. Perlu dicatat bahwa kesetiaan kepada negar dalam beberapa segi sama dengan kesetiaan kepada pemerintah ,karena dalam beberapa hal pula negara itu identik dengan pemerintah. Pemerintah sebagai perwujudan negara tidak dalam segala kodisi identik dengan negar. Perbedaan konsep pandangan mengenai negara dan pemerintah ini dapat menajam dalam sistem multi-partai seraya menumbuhkan oposisi yang eksesif, tidak seperti konsep permaneni civil service di inggris yang disertai sistem dua partai. Tingkat stabilitas Akibat berinteraksinya variabel yang diuraikan dalam a sampai h, timbullah labilitas pemerintahan / politik yang kemudian menjadi sebab utama yang kemudian menjadi sebab utama keterlambatan pembangunan. 2.1.1.2. Zaman Demokrasi Terpimpin Dalam periode demokrasi terpimpin ini pemikiran ala demokrasi barat banyak ditinggalkan. Tokoh politik (Soekarno) yang memegang pimpinan nasional ketika itu menyatakan bahwa demokrasi-liberal (demokrasi-parlementer) tidak sesuai dengan kepribadian bangsa indonesia. Prosedur pemungutan suara dalam lembaga perwakilan rakyat dinyatakannya pula sebagai tidak efektif dan ia kemudian memperkenalkan apa yang disebut musyawarah untuk mufakat. Sistem multi partai oleh tokoh politik tersebut dinyatakan sebagai salah satu penyebab inefektivitas pengambilan keputusan ,karena masyarakat lebih didorong ke arah bentuk yang fragmataris. Untuk merealisasikan Demokrasi-Terpimpin ini, kemudian dibentuk badan yang disebut Front Nasional. Periode ini disebut pula periode pelaksanaan UUD 1945 dalam keadaan ekstra-ordiner; disebut demikian, karena terjadi penyimpangan terhadap UUD 1945. 1) Penyaluran tuntutan dalam periode ini pun masih berlanjut besarnya tuntutan yang melebihi kapasitas sistem. Setelah penyerdahanaan kepartaian dan pembentukan FN tersbut ,diperolehlah suatu stabilitas. kadar stabilitas ini dapat dinilai sebagai berwatak semu oleh karena ternyata kemudian tidak meletakkan dasar yang kuat dalam proses pergantian pimpinan nasional. Titik berat stabilitas itu lebih mengandalkan pada adanya tokoh politik yang dapat mengelola FN tersebut. 2) Pemeliharaan dan Kontinuitas Nilai Sesuai dengan orientasi menuju satu nilai mutlak, maka secara konsisten pula hak asasi manusia sering dikesampingkan sebaliknya, mobilisasi kekuatan ke arah tujuan yang bernilai mutlak lebih digiatkan melalui Front Nasional (Amati dukungan untuk mengangkat Ir.Soekarno sebagai presiden seumur hidup yang sebenarnya inkonstitusional). Dalam periode ini orientasi yang ideologis melalui indoktrinasi lebih mendapat angin ketimbang orientasi yang bersifat pragmatis. Karena konfigurasi yang sebenarnya dalam FN tersebut masih mengembangkan aneka ideologi masing-masing anggotanya, yaitu partai politik, maka konflik kecil dan konflik yang terselubung muncul keluar. Bahwa tidak terjadi konflik ideologi yang lebih terbuka adalah karena pengaruh tokoh politik dalam menjaga keseimbangan antar-ideologi tersebut masih cukup efektif. Yang lebih berkecamuk ialah konflik kejiwaaan yang akhirnya meledak dan mengakibatkan hancurnya nilai sistemnya sendiri. 3) Kapabilitas Serta merta dengan lebih diarahkannya aktivitas terhadap nilai-nilai yang bersifat mutlak,maka pemerintah cenderung untuk lebih berperan dalam mengelola bidang ekstraktif dan distributif. Sejalan dengan nilai tersebut diatas , timbullah keterlibatan pemerintah dalam bidang perekonomian yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak (sesuai dengan pasal 33 UUD 1945 yang bersifat normatif), ditandai dengan reaksi yang menentang kebebasan ekonomi yang diperoleh dalam periode demokrasi-liberal. Perusahaan-perusahaan negara yang dibentuk dalam rangka pelaksanaan nasionalisasi beberapa waktu sebelum Dekrit Presiden, merupakan hal dirasakan sesuai dengan konsepsi Demokrasi Terpimpin. 4) Integrasi vertical Dengan adanya intensifikasi pembangunan bangsa maka sifat primordial (daerah, kesukuan) dan pola aliran yang ada sebelumnya, secara formal dibatasi. Oleh karena itu,hubungan antara elit dari atas ke bawah, atas dasar pola saluran konvensional. Nyatalah dalam hal ini paternalisme dapat hidup lebih subur. 5) Integrasi Horizontal Pertentangan antar-elit menyebabkan elit tertentu diisolir dan diasingkan secara politis. Dalam pertarungan ini elit yang biasa menghimpun solidaritaslah yang dapat muncul diarena politik, sehingga elit administrator tersisihkan. Partai Sosialis Indonesia dan Masyumi sebagi wajah kaum Sosial-Demokrat dan Islam modernis yang juga berkaitan tenaga adminstrator kemudian di potong garis hidupnya. 6) Gaya Politik Ideologi masih tetap mewarnai periode ini , walaupun sudah dibatasi secara formal melalui penpres tentang syarat-syarat dan penyerdahanaan kepartaian. (penpres. No.7-1959) Tokoh politik memperkenalkan gagasan Nasionalisme, Agama, dan Komunisme (Nasakom). Kompetisi Nasakomis masih dibenarkan, karena dalam kondisi tersebut tokoh politik dapat memelihara keseimbangan, ”jor-joran” 7) Kepemimpinan Para pemimpin berasal dari Angkatan 1928 dan Angkatan 1945, dengan tokoh politik Soekarno sebagai titik pusatnya. Kepemimpinan tokoh politik ini berdasar pada politik mencari kambing hitam. Karena sifat kharismatik dan paternalistiknya, tokoh politik ini dapat menengahi dan kemudian memperoleh dukungan dari pihak-pihak bertikai, baik dengan sukarela maupun terpaksa. 8) Perimbangan Partisipasi Politik dan Kelembagaan Massa Partisipasi dibatasi saluran inputnya,yaitu hanya melalui FN Untuk menunjukkan kesiapan kelembagaannya, maka di tumbuhkanlah output simbolik dalam bentuk rapat-rapat raksasa yang menguntungkan rezim yang berkuasa ketika itu. Akibatnya ,partisipasi pad hakikatnya lebih besar daripada kesiapan kelembagaan pemerintahan. Hal ini dapat berarti daya responsif pemerintah dimanipulasikan melalui pambentukan dukungan sebagai kamuflase, yang oleh karena itu hanya bersifat maya (imaginer) belaka. Rakyat dalam rapat-rapat raksasa tidak dapat di anggap telah memeliki budaya politik sebagai partisipan, melainkan menunjukkan tingkat budaya politik kaula, karena diciptakan atas usaha dari rezim. Veteran dan Militer Sejak Denas dan FN terbentuk, penyaluran kepentingan bekas pejuang lebih meningkat. Organisasi bekas pejuang ini lebih dikenal dengan nama Angkatan 1945, yang termasuk golongan fungsional. Di lain pihak, partisipasi militer mulai menampakkan diri dengan jelas , juga sejak pembentukan Denas dan FN . Indikator meningkatnya partisipasi ini ialah bertambah banyaknya jabatan penting dalam pemerintahan, yang biasanya dipegang oleh kaum sipil,kini dipegang oleh eksponen ABRI. 9) Pola Pembangunan Aparatur Negara Loyalitas kembar pegawai negeri telah diganti dengan monoloyalitas, walaupun hanya terbatas pada tingkat kepangkatan tertentu saja (golongan F 1 ke atas) Artinya, pegawai negeri golongan F 1 ke atas harus menanggalkan keanggotaannya dari partai politik. 10) Tingkat Stabilitas, ditinjau dari segi tersedianya jangka waktu yang cukup lama untuk melaksanakan program pemerintahan dan kotinuitas pemerintahan, sebenarnya cukup dapat menelurkan prestasi pembangunan. Namun stabilitas ini tidak diarahkan guna melancarkan pembangunan bagi kesejahteraan dalam arti luas. 2.1.1.3. Zaman Demokrasi Pancasila Penelaahan terhadap Demokrasi-Pancasila tentu tidak dapat bersifat final disini , karena masih terus berjalan dan berproses Herbert Feith pernah menulis artikel yang berjudul suharto’s search for a political format pada tahun 1968, yaitu pada awal Demokrasi Pancasila ini diperkenalkan dan mulai dikembangkan. Oleh karena itu semua hal yang di kemukakan disini semata-mata hanya dalam usaha mencari format Demokrasi-Pancasila tersebut. Praktek-praktek mekanisme Demokrasi – Pancasila masih mungkin berkembang dan berubah,atau mungkin belum merupakan bentuk hasil proses yang optimal, sebagai prestasi sistem politik indonesia. A. Penyaluran Tuntutan Dalam periode Demokrasi-pancasila ini (setidak-tidaknya sampai dewasa ini) penyaluran berebagai tuntutan yang hidup dalam masyarakat menunjukkan keseimbangan. Melalui hasil penyederhanaan sistem kepartaian ,muncullah satu kekuatan politik yang dominan. Banyak akibat yang ditumbuhkan oleh pola penyaluran tuntutan semacam ini , yang dalam kenyataannya disalurkan secara formal melalui tiga kekuatan sosial politik ,yaitu: Golongan karya, Partai Persatuan Pembangunan (fusi NU,Partai Muslimin Indonesia, PSII, dan perti), dan Partai Demokrasi Indonesia (fusi PNI, Parkindo, Partai Katholik, IPKI, dan Partai Murba). Secara material penyaluran tuntutan lebih dikendalikan oleh koalisi besar (cardinal coalition) antara Golkar dan ABRI, yang pada hakekatnya berintikan teknokrat dan perwira-perwira yang telah kenal teknologi modern. Dalam sistem Demokrasi-Pancasila ini sudah tiga kali berlangsung pemilihan umum, yaitu tahun 1971 ,1977,dan 1982 . Dengan demikian penyaluran tuntutan secara formal-konstitusional telah terpenuhi. B. Pemeliharaan dan kontinuitas Nilai Hak asasi manusia berkali-kali ditegaskan oleh pemerintah bahwa hak itu secara implisit mengandung pula kewajiban asasi setiap anggota masyarakat. Dengan demikian . di samping ada parsipasi, tentu pula ada mobilisasi. Ideologisme yang mengganas dalam masa dua sistem politik sebelumnya sekarang sudah dapat didinginkan atau setidak-tidaknya tak lagi menjadi ciri penyelanggaraan kontinuitas nilai berbagai kekuatan politik yang ada. Gaya pragmatik telah ditonjolkan, sehingga konflik boleh dikatakan menurun sampai tingkat derajat yang cukup berarti untuk dicatat. C. Masalah Konsolidasi Demokrasi Konsolidasi demokrasi menjadi salah satu solusi terbaik untuk memecahkan berbagai persoalan bangsa terutama masalah ekonomi dan berbagai penyelewengan penyelenggaraan negara. “Kita tahu, permasalahan mengenai korelasi langsung antara demokrasi dan kemakmuran rakyat ataupun kesejahteraan masyarakat masih terus menjadi perdebatan yang panjang, terutama di antara para praktisi dan pakar ekonomi, pakar politik, serta masyarakat luas. Namun konsensus nasional kita menyepakati bahwa konsolidasi demokrasi merupakan suatu keharusan untuk memelihara keberlanjutan pembangunan nasional yang aspiratif dan partisipatif,” ujar Menteri PPN/Kepala Bappenas Prof. Dr. Armida Salsiah Alisjahbana, SE, MA dalam paparan kuncinya yang disampaikan Plh. Deputi Bidang Politik, Hukum dan Pertahanan Kementerian PPN/Bappenas Dr. Prasetijono Widjojo MJ, MA pada Seminar Nasional Diseminasi Produk-Produk Perencanaan Bappenas yang mengambil tema “Konsolidasi Demokrasi, Otonomi Daerah, dan Masalah Keamanan di Indonesia”, di Denpasar, Bali (30/11). Menurut Ibu Armida, demokrasi jelas bukan merupakan sistem yang sempurna. Sistem ini memiliki cukup banyak kelemahan, yang kemuliaan tujuannya seringkali dapat dikalahkan oleh berbagai macam kepentingan perseorangan, kelompok maupun golongan secara sempit. “Namun, demokrasi merupakan sistem penyelenggaraan negara yang memiliki mekanisme kontrol yang paling kuat terhadap kekuasaan, perumusan kebijakan dan proses politik,” ungkapnya. Dalam mempertahankan konsolidasi demokrasi, lanjut Armida, diperlukan sistem kepartaian yang kuat, terbentuknya masyarakat sipil yang mandiri dan kuat, penegakan supremasi hukum, diwujudkannya good governance, serta terbentuknya masyarakat ekonomi yang mandiri dan independen. Kelangsungan masa depan suatu sistem politik yang tengah mengalami transisi menuju demokrasi sangat bergantung sekali pada keberhasilannya dalam melewati proses transisi menuju demokrasi politik secara stabil, damai atau non kekerasan. Adanya transisi politik secara damai akan memberi penekanan bahwa lembaga-lembaga politik yang ada beserta elitenya baik pada lapisan elite mau pun pada lapisan masyarakat berada pada ketahanan yang tinggi dalam menghadapi perubahan-perubahan politik yang berlangsung beserta konsekuensi-konsekuensinya. Beberapa sistem politik berhasil dalam proses transisi demokrasi, tapi ada pula beberapa di antaranya yang melaluinya (transisi demokrasi) dengan penuh gejolak bahkan berada dalam ancaman keruntuhan nasional. Beberapa negara Eropa Timur lebih berhasil melalui masa-masa transisi demokrasi dengan sukses yang ditandai dengan pelaksanaan pemilu bebas yang diukuti banyak partai. Tapi untuk kasus Uni Soviet, agaknya berjalan lain, yaitu transisi demokrasi yang dipelopori dengan munculnya ide-ide radikal tentang keterbukaan dan restrukturisasi politik dari presiden Michael Gorbachev menghasilkan Uni Soviet yang terpecah-pecah ke dalam ikatan-ikatan negara-negara etnik. Di Indonesia, proses transisi demokrasi yang diawali dari kejatuhan regim orde baru Soeharto tahun 1998 berlangsung degnan penuh gejolak konflik elite, konflik etnik, agama dan munculnya gerakan pemisahan (separatisme). Melihat situasi dan perkembangan terakhir dalam politik nasional, ada kecenderung bahwa transisi menuju demokrasi secara damai atau non kekerasan masih jauh dari kenyataan. Sebaliknya, fenomena dan ancaman terjadinya kekerasan politik tetap lah tinggi, terutama di wilayah-wilayah yang sedang bergolak seperti Aceh, kepulaun Maluku dan Papua (Irian Jaya). Konflik kedaerahan --primordial dalam perspektif, etnis dan agama-- menunjukkan peningkatannya. Dampak konflik antar elite politik, elite vs massa serta munculnya fenomena kekerasan daerah demikian akan merenggangkan hubungan antar elemen-elemen bangsa, menciptakan ketegangan hubungan antara pusat dan daerah serta berpotensi ke arah terjadinya disintegrasi bangsa. Sementara itu, tak dipungkiri, suhu politik juga makin meninggi di pusat kekuasaan (Jakarta) berkait dengan respon kalangan partai-partai politik di DPR yang menilai bahwa kinerja pemerintahan presiden Abdurrahman Wahid sangat buruk. Tekanan agar Presiden Wahid mundur secara suka rela digemakan kalangan oposisi dan mahasiswa. Sementara upaya untuk mempertahankan posisi kepresidenan Wahid makin kecil, maka akhir pemerintahannya tinggal menghitung hari. Upaya untuk melakukan SI MPR guna menurunkan Presiden Wahid pun dilancarkan terutama oleh kalangan parpol seperti poros tengah, PDI P dan Golkar yang pada SU 1999 mendukung tampilnya Wahid sebagai presiden. Dampak pemanasan suhu politik elite nasional ini membuat hubungan antara massa NU-Muhammdyah berada dalam situasi saling curiga karena salah satu motor oposisi terhadap Presiden Wahid adalah ketua MPR sekaligus ketua umum PAN dan tokoh poros tengah Amien Rais. Konvergensi antara model konflik horisontal ( primordial) dan vertikal (elite) tidak saja akan mempengaruhi relasi-relasi kekuasaan di tingkat nasional mau pun lokal tapi juga akan memupuskan harapan bagi berkembangnya institusionalisasi nilai-nilai dan kesepakatan-kesepakatan demokrasi yang dulunya pernah menjadi cita-cita bersama para elite di awal gerakan reformasi. Semua indikator ketidakstabilan politik domestik di atas memberi penekanan bahwa konsolidasi demokrasi kalangan sipil di indonesia secara politik sangat lemah yang salah satu sebabnya adalah kuatnya kepentingan-kepentingan politik mereka yang terfragmentasi D. Konsep Konsolidasi Demokrasi Konsolidasi demokrasi dapat diartikan sebagai (proses) penggabungan beberapa elemen demokrasi untuk bersama-sama secara padu memfasilitasi demokratisasi politik. Unsur yang terlibat dalam konsolidasi demokrasi adalah lembaga atau institusi politik, baik partai politik, elite, kelompok-kelompok kepentingan mau pun masyarakat politik (O’Donnel dan Schmitter, 1993: 24-6). Unsur penting lainnya dalam konsolidasi demokrasi adalah adanya kesepakatan bersama menyangkut “nilai-nilai politik” yang bisa mendekatan dan mempertemukan berbagai elemen politik di atas menjadi suatu kekuatan yang relatif padu selama transisi menuju demokrasi. Suatu regime politik sipil presiden yang sedang mengalami transisi demokrasi diperhadapkan dua pilihan. Pertama, menjalani transisi demokrasi dengan tingkat konsolidasi elite yang padu (solid) ke arah satu tujuan tercapainya demokratisasi politik. Kedua, menjalani transisi demokrasi yang berliku-liku dengan tingkat kepaduan elite sangat rapuh, penuh konflik dan gejolak politik massa. Sedangkan makna transisi demokrasi berarti fase peralihan atau perubahan dari suatu fase tertentu ke fase yang lain yang tak sama dengan fase pertama. Kongkritnya, transisi demokrasi diartikan sebagai fasse peralihan regim politik dari tipe otorier menuju regim politik pasca otoriter (O’Donnel dan Schmitter 1997:6-7). Menurut O’Donnel dan Schmitter (1997), masa transisi umumnya ditandai dengan munculnya “liberalisasi”, yaitu proses pengefektifan hak-hak tertentu yang melindungi individu dan kelompok-kelompok sosial dari tindakan sewenang-wenang atau tidak sah yang dilakukan negara atau pihak ketiga. Dengan demikian, liberalisasi dikaitkan dengan iklim pengembangan kekebasan hak-hak untuk menjalin atau mendapatkan akses politik yang lebih luas dari masyarakat. Hal ini bisa berarti liberalisasi politik dalam konteks timbulnya pluralisme politik. Dalam bahasa Giovanni Sartori (1997:62), pluralisme politik diidentikan dengan “diversification of power” atau polyarchy yaitu kondisi di mana distribusi kekuasaan politik terpencar di sejumlah kekuatan-kekuatan atau kelompok-kelompok kepentingan dalam masyarakat. Atau dengan kata lain, tidak ada lagi monopoli kekuasaan politik di satu struktur kekuasaan tertentu (monolitik). Yang terjadi adalah dinamika peta isu-isu politik dan kepentingan, masyarakat “terbelah” ke dalam asosiasi-asosiasi kepentingan yang saling berkonflik, berkonsensus dan bahkan bertoleransi untuk mencapai keseimbangan baru. Berikutnya adalah proses demokratisasi politik, yaitu mengacu pada proses-proses di mana aturan-aturan dan prosedur-prosedur kewarganegaraan diterapkan pada lembaga-lembaga politik secara stabil. Meminjam istilah Huntington, demokratisasi dikaitkan dengan institusionalisasi politik di mana tuntutan-tuntutan serta dukungan-dukungan politik dari publik mendapat tempat secara prosedural dalam kerangka suatu penyelesaian konflik. Masa transisi sangatlah kritis sebab tak ada jaminan bahwa proses transisi akan selalu menghasilkan regim demokratis. Pergolakan-pergolakan internal yang disebabkan faktor-faktor ekonomi, budaya dan politik berpeluang menjadi ketidakpuasan massal yang mengancam kohesi sosial masyarakat. Begitu pula, sikap-sikap politik otoriter akan kembali lagi berkuasa bilamana kohesi regim transisi lemah atau tidak kredibel secara politik sehingga mendorong kekuatan-kekuatan pro regim lama yang otoriter bangkit kembali. Untuk kasus Indonesia, transisi demokrasi dimulai dengan tanda-tanda berikut: krisis ekonomi domestik yang berdampak pada krisis keuangan dan perbankan serta munculnya penolakan massa terhadap perangkat-perangkat politik regim seperti militer, Golkar sebagai partai penguasa, birokrasi dan presiden. Penolakan massa atas simbol-simbol regim ini menggoyahkan kemapan-an politik yang dibangun 3 dekade melalui instrumen kekerasan militer, ideologi dan pengekangan oposisi. Dalam konteks perubahan politik dan dikaitkan terjadinya gelombang demokratisasi politik yang melanda banyak sistem politik di era 1990-an, transisi demokrasi ditandai dengan munculnya regim-regim politik baru di kawasan Asia, Amerika Latin dan Afrika yang sedang bergerak menuju demokrasi. Termasuk dalam hal ini, regim sipil Presiden Wahid bisa dikatakan mewakili regime transisi dari authoritarian regime ke post authoritarian regime yang lebih demokratis, dengan kecenderungan-kecenderungan visi dan misi politiknya yang masih perlu diperdebatkan. Hal lain mengapa konslidasi demokrasi perlu dilakukan adalah untuk membangun regime demokratis yang kuat dan melembaga setelah runtuhnya regiem otoriter. Setelah regime otoriter berakhir, situasi politik tidak menentu (chaos), fragmentasi sipil, militer frustrasi dan merasa terpojokan atas perannya mendukung regime masa lalu dan norma, aturan dan prosedur (rule of the game) baru yang mewakili sistem demokrasi belum terbentuk. Itulah sebabnya konflik-konflik menjadi terbuka dan sulit dikendalikan mengingat penguasa baru belum punya pijakan politik yang bisa absah diterima semua kelompok politik guna melembagakan konflik-konflik politik yang muncul. Dengan demikian, tahapan berikutnya yang dilakukan penguasa demokrratis baru setelah pemerintahan otoriter runtuh adalah dibangunnya regime demokratis yang meliputi nilai, norma dan institusi demokrasi serta pengkonsolidasian regime demokratis baru (Huntington 1995:45). Asumsi di balik perlunya konsolidasi demokrasi adalah lemahnya kekuatan-kekuatan sipil demokrasi, yang di awal keruntuhan regime otoriter tercerai-berai akibat pandangan politik yang beragam, mereka berangkat dari kepentingan dan motivasi serta ideologi politik yang juga berbeda. Di samping itu, visi elite menyangkut prioritas kebijakan-kebijakan politik apa yang harus diambil di era transisi belum terbentuk atau kalau pun ada masih cenderung terpolarisasi. Mengutip pendapat Chalmers Johnson, dalam era perubahan politik, khususnya revolusi dan reformasi politik besar, ketidakseimbangan selalu muncul yakni suatu situasi di mana nilai-nilai, persepsi-persepsi atau kepercayaan-kepercayaan para elite politik, masyarakat, institusi-institusi politik dan sistem ekonomi tidak tersinkronisasi dan tidak saling memperkuat. Dengan situasi tersebut, konflik-konflik politik acapkali berlangsung terbuka. Prioritas politik menyangkut arah transisi demokrasi menjadi faktor penting yang harus disepakati oleh para elite politik. Dalam permasalahan ini (transisi demokrasi), kata reformasi politik menjadi substansial karena tujuan selama fase transisi adalah menghadirkan regim politik baru dengan prioritas kebijakan-kebijakan reformasi politik besar. Kebijakan-kebijakan reformasi politik besar ini meliputi empat aspek (Michael dan Dickson 1998:4-5). 1) Hubungan antara negara dan masyarakat, khususnya basis yang dipakai negara untuk memperoleh respon-respon masyarakat terhadap terhadap perintah-perintahnya, yaitu basis legitimasi dan dukungan; 2) Hubungan antara negara dan ekonomi; 3) Distribusi kekuasaan dan otoritas di antara dan di dalam institusi-institusi politik dan kenagaraan yang utama (kepala negara, militer, kehakiman, kelompok-kelompok kepentingan, partai-partai politik, birokrat pusat, daerah dan lokal); 4) Hubungan antara sistem ekonomi dan sistem politik negara dengan dunia luar. E. Kasus Indonesia: Ketidakpastian Mengamati proses transisi menuju demokrasi untuk kasus Indonesia akan nampak bahwa fase transisi demokrasi akan ditempuh relatif panjang dan bergejolak. Diwarnai konflik elite politik, konflik primordial dan ancaman-ancaman pemisahan diri dari beberapa propinsi (Aceh dan Papua/Irian Jaya), transisi demokrasi di Indonesia berlangsung dalam konteks rendahnya kohesi sosial. Hal ini nampak sejak awal tampilnya partai-partai politik baru yang kini memperoleh kursi di DPR masih jauh dari adanya kepaduan misi politik guna menyukseskan demokratisasi politik. Bahkan pembagian “historis politis” antara kelompok status quo --yang diidentikan pendukung orde baru-- dengan kelompok pro reformasi kian jelas. Kini garis kepentingan politik bukan ditentukan oleh masa lalu yang anti status quo, tapi oleh sejauhmana terjalin titik temu yang sama di antara kekuatan-kekuatan politik untuk melancarkan tindakan politik bersama ke arah suatu kepentingan politik tertentu. Misalnya, politisasi kasus pencopotan Laksamana Sukardi dan Jusuf Kalla, dan Buloggate guna mengejar Presiden Wahid sampai pada tingkat bersalah sehingga layak di-SI-kan. Dalam satu segi pemerintahan sipil Presiden Wahid cukup berhasil dalam memperlebar sayap “masyarakat warga”, yang ditandai dengan makin bebasnya wacana demokrasi, kebebasan, independensi politik dan mendidik masyarakat untuk mampu membedakan antara wilayah kewenangan pemerintah/negara dan wilayah di mana masyarakat bisa mengurus kepentingannya sendiri. Dengan kata lain, Presiden Wahid setidaknya telah mengupayakan satu aspek dari empat aspek yang oleh Oksenberg dan Dickson (dikemukakan terdahulu). Dalam bahasa politis, Presiden Wahid telah melakukan proses dekonstruksi legitimasi politik antara negara dan masyarakat dan di satu sisi mengurangi efek politis atas lembaga kepresidenan yang sangat dikeramatkan oleh di masa orde baru. Dekonstruksi politik ini terjadi berkat adanya amandemen oleh MPR atas pasal-pasal UUD 1945, terutama pasal-pasal yang memberi bobot kekuasaan yang besar kepada lembaga kepresidenan. Desakralisasi lembaga kepresidenan ini akan menjadi babakan baru dalam hubungan DPR- presiden (pemerintah) di mana yang pertama diharapkan akan mampu memainkan peran kontrol politiknya atas pemerintah secara proporsional. Titik didih untuk memasuki babakan politik yang secara kualitatif penuh kekerasan sebetulnya telah dimulai tatkala terjadi perang pernyataan antar elite politik berkenaan dengan karakteristik pemerintahan Presiden Wahid. Banyak kalangan politisi yang dulu mendukung Presiden Wahid, sekarang berbalik menyerangnya. Aliansi strategis partai-partai pendukung Presiden Wahid satu per satu menyatakan kekecewaan mereka atas kinerja pemerintahannya yang dinilai kontroversi dan one man show. Mereka mengritik keras Presiden Wahid atas kegagalannya dalam menanganni Aceh dan Papua. Mereka juga menilai pemerintahannya tidak punya visi yang jelas dalam menangani kasus-kasus BLBI, mengintervensi BI dan terlibat bagi-bagi posisi di departemen basah. Tuduhan neo KKN pun mencuat seiring meledaknya skandal uang 35 milyar milik Yanatera Bulog yang diduga melibatkan Presiden Wahid. Adanya penyeledikan intensif DPR dengan membentuk Pansus Bulog yang saat ini sedang berjalan, diharapkan akan mengungkapkan posisi sebenarnya Presiden Wahid dalam kasus Bulog ini. Dalam setahun ini kita juga melihat, suhu politik meningkat seiring makin buruknya komunikasi politik antara politisi DPR dengan pemerintah. Buruknya komunikasi politik keduanya ini tidak saja disebabkan oleh perbedaan kepentingan politik praktis antara pemerintah dengan kekuatan partai-partai, tapi juga disebabkan oleh tidak adanya konsensus politik minimal yang dibutuhkan sebagai modal menyusun desain besar reformasi politik ke depan. Yang justru terjadi adalah gesekan-gesekan politik yang direspon secara emosional oleh elite pemerintah dan non pemerintah. Sebagai contoh, dinamika politik sepanjang 2000 diwarnai oleh benturan interpretasi hukum/normatif atas beberapa langkah kebijakan Presiden Wahid (kasus pencopotan Laksamana, Kalla dan Rusdihardjo) yang dinilai partai-partai di luar kubu Presiden Wahid sebagai tidak konstitusional. Artinya, kita melihat, demokrasi normatif dan institusonal (UUD, partai politik dan parlemen) yang berfungsi sebagai instrumen pelembagaan konflik dalam kenyataannya, tidak mampu menjadi payung politik yang menaungi kepentingan-kepentingan politik bangsa yang lebih luas. Titik krusial dinamika politik saat ini adalah bagaimana elite-elite politik menyadari betapa berat konsekuensi yang akan terjadi jika halangan-halangan demokrasi tidak bisa diatasi. Sistem yang tengah dibangun akan ambruk secara politik kalau misalnya wilayah-wilayah yang bergolak memilih eksistensi politiknya sendiri. Tatanan politik juga terancam hancur jika tensi pergolakan politik kedaerahan tumpang tindh dengan kepentingan-kepentingan politik lokal dan nasional sehingga tidak mampu diselesaikan secara damai. Pemburukan situasi politik ini jelas akan memudarkan rentang kendali legitimasi Jakarta. Pemerintah mulai kehilangan kontrol kewenangan politiknya atas masyarakat. Kewibawaan pemerintah pun dipertanyakan mengingat ketidakmampuannya mengendalikan konflik-konflik horisontal yang saat ini di Aceh Maluku dan Papua. Dengan demikian, masa transisi menuju demokrasi di Indonesia cenderung akan berjalan keras atas dasar pertimbangan konvergensi faktor struktural dan kultural berikut : ketiadaan kewibawaan hukum, pijakan norma-norma demokrasi masih lemah, perbedaan tafsir elite atas arah reformasi politik, adanya elite-elite oportunis politik yang hanya sekedar ingin berkuasa dan potensi tak terkendali aksi-aksi kekerasan massa yang dengan mudah menyulut terjadinya kerusuhan sosial. Konvergensi demikian dalam kenyataannya telah menghasilkan pusaran dinamika politik yang sangat destruktif bahkan di beberapa wilayah, tertib politik terancam runtuh. Ancaman ambruknya institusi demokrasi ini dimungkinan selain karena gagalnya resolusi konflik, juga dimungkinkan oleh makin banyaknya onflik-konflik sosial politik yang cenderung diselesaikan lewat jalur non institusional (kekerasan). Politik kekerasan ini tak harus berwuud fisik, tapi juga ancaman-ancaman ideologi dan penggunaan bahasa (jargon politik) sebagai pembenar kekuasaan politik tertentu. Adanya perilaku elite baik di dalam pemerintah dan di luar pemerintah yang masih menggunakan bahasa-bahasa ancaman seperti ini, menggambarkan betapa institusi demokrasi saat sedang di ambang keambrukannya. Seiring gejala ini, kewibaan pemerintah, institusi politik dan hukum makin menurun, setidaknya hal ini terlihat dari kecenderungan masyarakat menggunakan cara-cara kekerasan sebagai jalan keluar menyelesaikan suatu masalah. Hal menggambarkan juga, betapa legitimasi politik dan hukum sudah di ambang keambrukannya. Dengan sendirinya, legitimasi pemerintah pelan-pelan mulai tercabut dan membuat pemerintahan saat ini terlalu sulit untuk mengonsentrasikan diri guna melakukan konsolidasi demokrasi secara luas. Secara politik, kewibawaan Presiden Wahid sudah tidak ada apa-apanya dengan jangkauan kekuasaan politik yang makin memudar. Pada saat yang sama ia dituntut untuk menggolkan salah satu misi reformasi, yaitu pengusutan kasus dugaan KKN Soeharto dan kroni-kroninya. Tapi pada saat yang sama politisasi atas kasus-kasus seperti Bulog dan BI akan membuat citranya makin merosot. Keberhasilannya untuk memulihkan kredebilitas politik pemerintahannya tergantung pada kemampuannya membalik arah pendulum politik, dari pihak yang diserang menjadi pihak yang mengendalikan dan menyerang musuh-musuhnya. Tapi kalau tidak, posisi kepresidenannya tidak akan bertahan sampai SU MPR 2001. Dengan demikian dapatlah dikatakan, transisi demokrasi merupakan titik krusial yang harus dilalui dengan aman di mana respon-respon elite terhadap persolan-persoalan politik domestik harus menghasilkan konsensus minimal atau political pact antar aktor politik yang berkonflik (Patriadi, 2001:7). Artinya antar elite harus tercipta kondisi politik yang kondusif bagi lahirnya komitmen untuk menyelamatkan arah reformasi politik dengan munculnya kesepakatan-kesepa-katan minimal menyangkut persoalan-persoalan reformasi domestik. Skala prioritas politik apa yang harus diwujudkan di awal transisi juga harus dirundingkan di antara elite tanpa mengurangi hak-hak dan kewenangan politik pihak yang memegang kendali pemeritnahan. Dalam konteks perubahan politik yang cepat dan terfragmentatif seperti di Indonesia ini, tepatlah kalau elite mengembangkan consosional democracy (Przeworski, 1995:11) Inti demokrasi konsosional ini adalah antar politik yang rivalitas saling mengakui bahwa mereka memiliki perbedaan-perbedaan yang esensial yang perlu diselesaikan. Dari sinilah muncul kebutuhan untuk saling mengakui eksistensi setiap segmen politik yang ada sehingga yang muncul adalah pergolakan politik transisional yang terkendali tanpa mengorbankan hakekat reformasi itu sendiri. Untuk itu arah pergolakan politik harus berubah dari corak zero sum conflict ke non zero sum conflict di mana terdapat konsensus-konsensus guna me-nyelamatkan arah reformasi politik. Untuk itu, arah permainan politik harus berubah di dua arah, dari arah presiden yang harus secepatnya mengubah gaya permainan politiknya dengan menciptakan “solusi damai“ dengan poros-poros kekuasaan yang kini dijauhinya dan dari arah oposisi (terkonsentrasi di DPR) yang cenderung konfrontatif terhadap presiden. Solusi damai ini setidaknya untuk meminimalkan korban-korban kemanusiaan (cost of life) yang terjadi selama proses transisi demokrasi. Solusi damai ini artinya, Wahid harus melakukan konsolidasi demokrasi, dengan langkah-langkah sebagai berikut: Pertama, melakukan konsolidasi antar kekuatan politik guna mencapai konsensus minimal politik guna menggagas desain reformasi yang diinginkan. Kedua, berinisiatif pranata-pranata sosial politik yang hancur di wilayah-wilayah konflik, setidaknya hal ini akan mengurangi sumber-sumber ketegangan politik di daerah. Ketiga, konsisten dalam penegakan hukum terutama kasus-kasus KKN baik yang saat ini terganjal diusut. Keempat, membuka jalur dialog multi poros politik, setidaknya untuk menghindari frustrasi politik pihak-pihak yang tidak terakomodasi dalam pemerintahannya. BAB III PENUTUP 3.1. Kesimpulan Seiring dengan gelombang demokratisasi, suatu negara memang relatif mudah mengalami transasi menuju demokrasi. Tetapi transisi semacam itu tidak menjanjikan bahwa negara akan secara terus menerus dalam kerangka demokrasi. Karena itu, semua negara yang berproses menuju demokrasi selalu menghadapi masalah konsolidasi demokrasi. Pada kenyataanya, dalam konsolidasi demokrasi sederhana, demokrasi yang dihasilkan lebih pada demokrasi prosedural dan lebih menekankan adanya pemenuhan elemen-elemen dasar yang harus ada di dalam negara demokrasi, Tetapi, demokrasi demikian belum tentu mampu menyentuh kepentingan bersama, orang-orang yang menjadi bagian dari negara demokrasi. Dalam perkembangan demokrasi di Indonesia telah mengalami proses pelembagaan demokrasi yang cukup bermakna. Dimulai dari adanya penataan pembagian kekuasaan yang memungkinkan terjadinya proses checks and balance, pelembagaan sistem kepartaian dan improvisasi sistem pemilu, sampai yang berkaitan dengan relasi antara pemerintah pusat dan daerah. Namun masih banyak kekurangan yang harus segera diatasi. Demokratisasi dikatakan terkonsolidasi apabila terdapat regularitas, adanya rutinitas dan berkesinambungan di dalam mekanisme berdemokrasi. Dengan demikian, demokrasi tidak hanya akan menguntungkan kelompok-kelompok tertentu saja.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Budaya Populer

Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Kemajuan teknologi baik dalam bidang teknologi, baik dalam bidang teknologi informasi maupun teknologi transportasi mendorong munculnya produk-produk kebudayaan baru dalam masyarakat. Dalam beberapa masyarakat, ada produk kebudayaan yang terus dipertahankan dari masa ke masa yang tidak boleh diubah. Adanya kebudayaan-kebudayaan baru yang masuk dalam suatu masyarakat tidak lepas dari peran komunikasi dan bisanya proses komunikasi yang terjadi melibatkan media massa karena daya jangakaunya lebih luas. Salah satu wujud kebudayaan yang dihasilkan dengan adanya keterlibatan media massa adalah kebudayaan massa atau mass culture dan kebudayaan popular atau pop culture . Berbagai wujud pop culture ada disekitar kita seperti gaya berbusana, makanan, music dan film. Tak bisa dipungkiri lagi, keberadaan pop culture mewarnai kehidupan sosial kita. Bila kita amati berbagai wujud pop culture yang ada disekitar kita memang tidak lepas dari peran media

ANALISIS SWOT dan COMPANY PROFILEPT. Frisian Flag Indonesia

Bab I 1.1   Latar belakang Industri produk berbasis susu di Indonesia berkembang cukup pesat. Hal ini ditandai dengan bermunculannya inovasi – inovasi baru di bidang pengolahan produk berbasis susu. Demikian pula dengan komposisi dan kemasannya, dibuat menarik perhatian dengan harga terjangkau. Selain itu, hal ini juga semakin teredukasinya dan meningkatnya kesadaran masyarakat Indonesia akan pentingnya mengkonsumsi susu setiap hari. Indoneia memiliki ladang yang baik untuk peternakan sapi sehingga akan menghasilkan susu yang berkualitas tinggi. Kini, produk susu termasuk produk yang sangat dibutuhkan semua orang, baik tua maupun muda. Fakta inilah yang akhirnya mendorong para pelakunya lebih giat merebut hati konsumen. Setidak-tidaknya, produk ini dibutuhkan oleh 150 juta penduduk Indonesia. Populasi dunia meningkat dengan cepat, daya beli meningkat, sementara pada saat yang sama, makanan, bahan baku, dan energi berada dalam pasokan pendek. Ini memberi Frisian Flag Indonesia,

KONFORMITAS DALAM KELOMPOK

BAB I PENDAHULUAN 1.1        Latar Belakang Individu sebagai kesatuan organik yang terbatas memiliki karakter dan sifat yang berbeda satu sama lain. Manusia sebagai makhluk sosial akan membentuk sebuah kelompok untuk tetap bertahan hidup dan mencapai suatu tujuan tertentu. Kelompok adalah sekumpulan orang yang mempunyai tujuan bersama yang berinteraksi satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama, mengenal satu sama lainnya, dan memandang mereka sebagai bagian dari kelompok tersebut. Dalam sebuah kelompok terdapat orang-orang dengan latar belakang yang berbeda, memiliki kemampuan dan kelemahan yang berbeda, sehingga perbedaan ini akan menjadi kekuatan besar dalam suatu kelompok untuk mengambil suatu keputusan-keputusan terbaik dan kondisi ini akan memperkuat induvidu anggota kelompok dalam menutupi kelemahan-kelemahannya. Dalam kelompok terdapat kepercayaan tertentu (norma) yang cenderung akan diikuti oleh seluruh individu yang ada dalam kelompok tersebut. Kelompok juga da