BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Negara Dan Perempuan
Sangatlah perlu untuk dilihat dalam konteks Indonesia, bagaimana posisiperempuan dalam Negara Indonesia sendiri. Jikalau ditelusuri, Kepedulian Negara terhadap perempuan dapat dirunut sejak masa pemerintahan Presiden RI pertama, Soekarno. Pada masa itu, perempuan telah diakui haknya dalam politik, baik hak pilihdalam pemilihan umum 1955, maupun juga duduk sebagai anggota parlemen.Pada masa itu juga telah ada UU yang bernuansa keadilan gender, yaitu UU 80/1958. Undang-Undang tersebut menentukan prinsip pembayaran yang sama untukpekerjaan yang sama. Perempuan dan laki-laki tidak dibedakan dalam sistem penggajian.Keluarnya UU ini merupakan salah satu contoh dari keberhasilan perjuangan kaum perempuan ketika itu.Pada masa Soeharto ada juga kemajuan penting yang dicapai perempuan.Salah satu kemajuan yang dapat dicatat adalah dijadikannya masalah perempuan sebagai masalah politik dan adanya kebijakan-kebijakan publik yang secara eksplisit bertujuan untuk menangani masalah-masalah perempuan. Secara kelembagaan hal ini tercermin dari adanya suatu kementrian yang bertugas menangani masalah-masalah perempuan (Muhadjir M. Darwin. 2005.Negara Dan Perempuan, Reorientasi Kebijakan Publik.Yogyakarta: GrahaGuru).
Pada Tahun 1978 dibentuk Kantor Menteri Muda Urusan Peranan Wanita atau lebih dikenal melalui akronim Menmud UPW. Pada tahun 1983 status menterimuda ini ditingkatkan menjadi Menteri Negara Urusan Peranan Wanita, Keppres No.25 Tahun 1983 yang mengatur kedudukan, tugas pokok, fungsi dan tata kerja menteri Negara. Pada Bab I Pasal 1 ayat 8 Keppres tersebut ditegaskan bahwa “Menteri Negara Urusan Peranan Wanita, disingkat MenUPW, mempunyai tugas pokok menangani peranan wanita dalam pembangunan di segala bidang.Visi Kantor MenUPW adalah peningkatan peranan wanita dalam pembangunan. Untuk pertama kalinya, visi ini dilembagakan melalui GBHN 1978,dan di dalamnya termuat secara khusus pembahasan mengenai Peranan Wanita dalamPembangunan dan Pembinaan bangsa. Pada dasarnya, pembahasan ini mencobamengembangkan sebuah perspektif mengenai peran perempuan, yaitu perspektif ‘peran ganda wanita’. Secara jelas perspektif ini dirumuskan dalam bentuk kebijakan pembangunan berideologikan ‘Panca Dharma Wanita’ yang meliputi wanita sebagai :
1. Istri dan pendamping suami;
2. Pendidik dan pembina generasi muda;
3. Ibupengatur rumah tangga;
4. Pekerja yang menambah penghasilan keluarga; dan
5. Anggota organisasi masyarakat khususnya organisasi wanita dan organisasi sosial.
Dalam perkembangannya, perspektif peran ganda wanita dan kebijakan ideologisPanca Dharma wanita ini mengakar kuat dalam proses pembangunan semasa pemerintahan orde baru. Prestasi penting pada masa Menmud UPW adalah keterlibatannya dalam memprakarsai berdirinya Pusat Studi Wanita (PSW) di beberapa Universitas negeri di seluruh Indonesia. Setidaknya ada ada dua manfaatberdirinya PSW, yaitu sebagai semacam think tank bagi pembuatan kebijakan danprogram yang applicable bagi pmbangunan di pusat maupun daerah tempat PSW itu berada.
Reformasi politik di Indonesia tentunya telah memberikan harapan besar bagi kaum perempuan. Gerakan-gerakan yang sebelumnya seperti tidak memiliki energi,muncul dengan berbagai usaha pembedayaan hak-hak perempuan, kususnya hakpolitik. Kebangkitan kaum perempuan dalam pola kehidupan di era globalisasi telah membawa perubahan dalam perkembangan pembangunan terutama di Indonesia.
Dalam diri perempuan melekat multi peran yang menuntut pula kondisi demokrasidalam berbagai bidang kehidupan. Demokrasi itu sendiri telah menjadi istilah yangsangat diagungkan dalam sejarah pemikiran manusia tentang tatanan sosio-politik yang ideal. Bahkan, mungkin untuk pertama kali dalam sejarah, demokrasidinyatakan sebagai nama yang paling baik dan wajar untuk semua sistem organisasipolitik dan sosial yang diperjuangkan oleh pendukung-pendukung yang ‘berpengaruh’. Demokrasi itu sendiri adalah bagian dari khazanah pembuatankeputusan kolektif. Demokrasi mengejawantahkan keinginan bahwa keputusan-keputusan yang mempengaruhi perkumpulan secara keseluruhan, harus diambil olehsemua anggotanya, dan bahwa masing-masing anggota harus mempunyai hak yang sama dalam proses pengambilan/pembuatan keputusan-keputusan tersebut. Meskipun demikian, intensitas perkembangan eksistensi kemanusiaan perempuan secara umumadalah belum optimal. Hal ini tersirat nyata dari masih kuatnya tradisi sebagian besaranggota masyarakat yang mendiskreditkan perempuan dengan menempatkan perempuan sebagai second person. Pemimpin perempuan di masyarakat terkadangmasih diragukan kapasitasnya yang pada akhirnya menjadi kurang dapat diterima olehmasyarakat secara luas. Kondisi peran perempuan tidak lebih sebagai obyek politik.Oleh karena itu sikap arif dan keterbukaan dari semua pihak untuk menerima kenyataan bahwa kaum perempuan sebenarnya adalah merupakan sosok pribadi yangmenarik dan bisa mengatasi persoalan-persoalan di masyarakat. (Hendra Nurtjahjo. 2006. Filsafat Demokrasi, Jakarta: Bumi Aksara).
2.1.1 Kepemimpinan Perempuan
Kesempatan bagi munculnya peran serta masyarakat termasuk kelompokperempuan dalam proses pengambilan keputusan sejalan dengan pembangunannasional di negara kita telah terjamin. Upaya-upaya maksimal pemberdayaanperempuan menunjukkan political will dari pemerintah yang apresiatif terhadapperkembangan pengarusutamaan gender pada pergulatan politik nasional padakebijakan-kebijakan yang dikeluarkan. Dalam GBHN 1999 telah mengarah bahwapemberdayaan perempuan dilaksanakan dengan: pertama, meningkatkan kependudukandan peran perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang diemban olehlembaga yang mampu memperjuangkan terwujudnya kesetaraan gender. Kedua, meningkatkan kualitas peran dan kemandirian organisasi perempuan dengan tetapmempertahankan nilai persatuan dan kersatuan usaha pemberdayaan perempuan serta kesejahteraan keluarga dan masyarakat. Untuk sampai ke arah tersebut,peningkatan kualitas dari perempuan perlu mendapat perhatian yang serius. Untukmenjawab semua itu sebagai tindak lanjutnya adalah perlu peningkatan partisipasi perempuan dengan beberapa hal seperti:
a. Adanya gerakan penyadaran bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama sebagai warga Negara. Hal ini perlu dilakukan paling tidak untuk meminimalisir ketidakadilan yang terjadi atau harapan tertinggi untukmencapai suatu keadilan dan keseimbangan. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk menciptakan wajah baru dalam dunia kita tentunya wajah yang bebasdaridiskriminasi. Masing-masing individu perlu
menyadari akankedudukannya, dan mengerti bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai posisi yang sejajar dan diharapkan mampu memunculkan kesadaran bahwa antara laki-laki dan perempuan bisa memberikan kontribusi dengan porsi yangsama tanpa ada niat untuk menguasai ataumenghegemoni dari pihak laki-lakidan perasaan minder dari pihak perempuan karena merasa dirinya hanya menjadi warga Negara kelas dua. Pada akhirnya nanti tidak ditemukan lagipihak-pihak yang merasa tersubordinasi.
b. Salah satu jalan yang bisa ditempuh untuk melakukan hal tersebut antara laindengan mengikut sertakan para perempuan untuk masuk dalam proses pengambilan keputusan. Perlu ditegaskan sekali lagi bahwa kesetaraanmenjadi langkah utama berjalannya proses demokratisasi karena akan muncul jaminan terbukanya akses dan peluang bagi seluruh elemen masyarakat baik itu laki-laki maupun perempuan.
c. Gerakan pemberdayaan perempuan ini adalah suatu gerakan transformasi.Yang utama dalam gerakan pemberdayaan perempuan adalah, dengandibukanya peluang dan kesempatan yang sama bagi perempuan untuk ikut serta berperan aktif dalam seluruh kegiatan dalam masyarakat.
d. Perlu juga adanya penyadaran bagi kaum perempuan sendiri bahwa kesempatan yang diberikan pada kaum perempuan harus digunakan sebaik-baiknya, hal ini dilakukan untuk membuktikan bahwa perempuan siap denganpemberian peluang tersebut karena selama ini ada suara minor yangmengatakan bahwa perempuan belum mampu atau siap dengan kesetaraangender tersebut. Hal tersebut terjadi karena banyak dari pihak perempuantidak punya kepercayaan diri untuk mengaktualisasi diri. Perempuan masa depan harus mampu menunjukkan potensi aktif dankualitas dalam dirinya guna membuka mata dunia lain bahwa perempuan mampu dan bisa.
e. Perlunya pemfokusan perbaikan relasi antara perempuan dan laki-laki. Adanya kesadaran bahwa kedudukan antara laki-laki dan perempuan adalahsamasehingga tidak ada yang merasa dirinya lebih tinggi dari yang lain. Padadasarnya antara laki-laki dan perempuan adalah mitra maka perbaikan relasiini mencakup hubungan di segala aspek yaitu meliputi hubungan ekonomi, politik, ekonomi sosial dan budaya.
Kepemimpinan atau leadership yang sering kita dengar sebagai sesuatu yanghanya dimiliki oleh kalangan elit atau kaum laki-laki saja, kini sudah luntur sejalandengan pergerakan dari kaum perempuan yang concern terhadap pengarusutamaangender. Karena kepemimpinan yang secara umum diartikan sebagai suatu kegiatan seserang dalam memimpin, membimbing, mempengaruhi atau mengontrol pikiran,perasaan atau tingkah laku orang lain dapat dilakukan oleh kaum perempuan melalui suatu karya (kepemimpinan yang bersifat tidak langsung) atau kontak pibadi antara seseorang dengan orang lain secara tatap muka (kepemimpinan yang bersifat langsung).
2.1.2 Hak Politik Perempuan
Secara Yuridis formal hak politik perempuan merupakan hak asasi sebagaimana dimuat dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia. Pasal 1 intinya adalah bahwa semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat danhak-hak yang tidak berbeda. Pasal 7 menegaskan bahwa setiap orang berhak atasperlindungan hukum yang sama dan Pasal 21 menentukan bahwa setiap orang berhakturut serta dalam pemerintahan negerinya sendiri, baik dengan langsung maupunmelalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas. Setiap orang diangkat berhak atas kesempatan yang sama, untuk diangkat dalam jabatan pemerintahan dinegerinya (instrument Internasional Pokok Hak-Hak Asasi Manusia, 1997). Selain itu perlu diperhatikan pula bahwa pemerintah telah meratifikasikonvensi tentang hak politik perempuan sebagaimana tertuang dalam UU No. 68Tahun 1958. Dalam UU tersebut terdapat ketentuan bahwa perempuan berhakmemberikan suara dalam semua pemilihan dengan status yang sama dengan priatanpa diskriminasi. Selain itu UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak asasiManusia khususnya Pasal 46 seara tegas memberikan jaminan keterwakilan perempuan.Atasdasar itu semua, kiranya tidak perlu ragu bahwa perempuan pun juga dijamin hak politiknya. Persoalan tinggal pada perempuan sendiri mau atau tidakmemanfaatkan ini. Memperhatikan tentang ruang politik yang sudah terbuka bagi kaumperempuan, maka dapatlah dikatakan perempuan dapat mengimplementasikan hakpolitiknya secara terbuka pula. Adanya jaminan mengenai hak politik, memberikandampak yang sangat positif bagi pergerakan politik kaum perempuan. Dalam upayamerepresentasikan hak politik dalamketerwakilannya dalam pengambilan keputusanpolitik, maka yang perlu untuk dilihat bagaimanakah konteks perempuan danperwakilan politik. Hal ini sangat perlu untuk dicermati guna memperhatikan lebih jauh, bagaimanakah aktualisasi perempuan dalam perwakilan politik yang mereka jalani.
2.1.3 Perempuan Dan Perwakilan Politik
Dalam konteks politik dewasa ini, pergerakan politik dalam kehidupanmasyarakat senantiasa berkembang. Berbagai langkah strategis telah diambil dalamupaya penguatan hak-hak politik. Dalam proses demokratisasi, persoalanakuntabilitas menjadi prasyarat mutlak bagi terwujudnya representasi politik.Dalamrepresentasi politik, perempuan memperjuangkan keterwakilan mereka dalampengambilan keputusan politik. Oleh sebab itu, representasi perempuan dalam politikadalah upaya penguatan hak-hak politik.Pemahaman proses perwakilan kaum perempuan yang semakin meningkat menuntut kita untuk mempertahankan baik perspektif kesetaraan maupun perbedaan,supaya pemahaman politik tetapseimbang. Para wakil perempuan bekerja dalamkonteks di mana harapan-harapan tidak hanya sensitif terhadap perbedaan seks dan gender, tetapi juga terhadap ketidakleluasaan dalam pelbagai arena politik, budaya,dan proses politik ataupun capaian-capaian nyata yang telah dihasilkan karena intervensi feminis dalam panggung politik. Interaksi-interaksi yang terjadi dalam karena panggung politik, termasuk meningkatnya jumlah keterwakilan perempuan.Para pelaku politik perempuan telah mengubah wacana politik.Namun, untuk melukiskan tatanan-tatanan kelembagaan dan kultural di mana perdebatan mengenai perwakilan politik perempuan dilokalisir dan untuk menelusuri kemajuan mereka melalui siklus-siklus politik secara berurutan.Berangkat pula dari pemikiran bahwa manusia memiliki hak-hak yang melekat pada dirinya semenjak ia lahir, karena ia manusia, dan karenanya hak itu tidak dapat dihilangkan atau dinyatakan tidak berlakuoleh siapapun, termasuk Negara. Hak itu berupa pula hak-hak poliik, bahwa setiaporang berhak atas kebebasanberpikir; memiliki dan menyatakan pendapatnya,berserikat dan berkumpul;berpartisipasi dalam pemerintahan, termasuk hak untuk mengambil bagian dalam pemerintahan.
Membicarakan soal politik, pada dasarnya kita berbincang tentang power,Chusnul Mar‟iyyah mengasosiasikan kata power tersebut dengan dua kelompok pengertian sebagai berikut :
a. Force, Strength, vigour (kekuatan), might, energy (tenaga), potency (daya), stamina (daya tahan), authority (otoritas,command (kekuasaan) control(kendali), domination (dominasi), omnipotence (kemahakuasaan).Kata-kata yang diasosiasikan dengan power merupakan atribut yang sangatmaskulin. Apabila kata-kata tersebut dihubungkan dengan women (perempuan), misalnya, menjadi controlling women, dominating women,forceful women, yang pada dasarnya merendahkan perempuan. Hal ini merupakan pengertian power over atau kekuasaan terhadap orang lain.
b. Sedangkan power dalam kelompok kata kedua berarti: ability(kemampuan),capacitcy (kecakapan), faculty (kemampuan), potential(kesanggupan), skill (kepandaian). Pengertian kedua ini nampaknya lebih menarik karena lebih berhubungan dengan kekuasaan untuk melakukansesuatu (power to), atau untuk berbuat sesuatu, daripada kekuasaan terhadap orang lain.
Dua kelompok pengertian power diatas adalah penunjukkan kepada gambaranpolitik itu sendiri. Keterkaitan antara kedua kelompok pengertian ini harus dilihatsebagai bahasan dari politik itu sendiri. Penjelasan tentang power dalampengertian yang telah dikelompokan ini memberi rujukan kepada power dimaksud. Di dalam literature feminis, terlihat bahwa kritik pengertian dan analisis terhadap power lebihmenitikberatkan pada power over dibandingkan dengan power to. Oleh kaum feminis, kekuasaan sering diasosiasikan dengan oppression (penindasan), baik oleh individu laki-laki maupun institusi yang dikelola oleh laki-laki.Bagi mereka yang tertarik pada peran perempuan dalam politik arus utama dipandang perlu untuk tidak hanya menggunakan arti populer pengertian ‘politik’ tetapi juga menggunakan dari apa yang bagi kaum feminis merupakan sifat politis. (Sulistyowati Irianto (ed). 2006. Perempuan dan Hukum, Menuju Hukum yang Berspektif Kesetaraan dan Keadilan. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia).Meskipun arti-arti ini memerlukan perhatian yang luas dalam fungsinya. Sebagaimana yang dikatakan Lovenduski tentang politik bahwa :
“Politik terdiri dari person, proses, hubungan, lembaga dan prosedur yang membuat keputusan-keputusan publik berwibawa.Tidak semua yang disebut politik oleh banyak orang dimasukkan dalam deskripsi politik, tetapi deskripsi pada hal inimempunyai keuntungan yang hampirdisetujui setiap orang bahwa yang termasuk di dalamnya bersifat politis.”
Bagi kaum feminis, yang bersifat politis meliputi kehidupan pribadi dankehidupan privat (domestik), yang didasarkan atas hubungan kekuasaan yang tidakseimbang di mana kaum laki-laki mempunyai lebih banyak kekuasaan atas kaumperempuan. Dapat diperdebatkan, dalam hal gender, lembaga-lembaga politikmencerminkan lembaga-lembaga privat. Namun, akhir-akhir ini kehadiranperempuan dalam lembaga-lembaga politik publik telah berkembang dan perkembangan itu oleh meningkatnya minat akan apa yang terjadi dalam peningkatanitu.Sebagaimana umumnya dirumuskan, pertanyaan mengenai perbedaan apa yang dihasilkan dengan meningkatnya representasi perempuan dalam politik akanmengubah politik yang demokratis. Pertanyaan ini merupakan pertanyaan rumityang menyentuh sejumlah perhatian politis pokok. Dua pengandaian mendasari Lovenduski mengenai feminisasi politik. Pertama, suatu unsur-unsur penting dariperan-peran yang dimainkan oleh kaum perempuan dan laki-laki dalam politiktergantung tidak hanya pada satu sama lain tetapi juga pada hakikat lembaga-lembaga politik.Lembaga-lembaga perwakilan menentukan proses-proses feminisasi politik.Kedua, cara kaum perempuan memikirkan perwakilan politik sekurang-kurangnyasama pentingnya dengan bagaimana proses-prosesnya benar-benar berjalan. Teorifeminislah yang mencerahi sifat gender dari perwakilan politik. Sebagaimana yangdikatakan Lovenduski :
“The representation of women in a political system is a good test of itsclaims to democracy. The claims that women make for representation areclaims for their citizenship and at the heart of their engagement with politics. Political representation therefore a fundamental feministconcern, although its importance has not always been acknowledged”.
Bagaimanapun dalam demokrasi, representasi perempuan dalam sistem politik adalah ujian yang baik. Dengan adanya representasi perempuan membuat representasi klaim kewarganegaraan mereka dan semangat keterlibatan mereka dengan politik. Karenanya representasi politik adalah dasar keprihatinan feminis. Meskipunkepentingan itu tidak selalu diakui di masyarakat.Lovenduski juga mengatakan bahwa, perwakilan politik sebuah kelompokdapat dipahami sebagai kehadiran anggota-anggota kelompok tersebut dalamlembaga-lembaga politik formal. Teorinya, pada tingkatnya yang paling sederhana, Lembaga-lembaga politik merupakan organisasi-organisasi, peraturan-peraturan formal dan informal, proses dan prosedur yang berfungsi untuk menjalankan politik, adalah bahwa para wakil bertindak demi kelompok-kelompok yang mereka wakili (Joni Lovenduski. 2005. State Feminism and Political Representation. New York: Cambridge University Press).
Teori perwakilan politik menyebutkan bahwa para wakil mempunyaidorongan untuk mewakili kepentingan mereka di masa depan meskipun mereka sendiri tidak ambilbagian dalam kepentingan itu. Dalam perumusan seperti itu pemilihan berfungsi sebagai sebuah pasar yang sempurna di mana semua permintaan politik dibuka. Dalam prakteknya, pemilihan tidak berjalan seperti itu. Kebanyakan wakil cenderunguntuk mewakili kepentingan yang bukan kepentingan mereka, hanya bila kepentingan-kepentingan itu membentuk suatu minoritas yang luas, koheren, sadar-diri dalam masyarakat. Tanpa itu banyak kepentingan akan diabaikan. Selanjutnya lovenduski mengatakan bahwa kaum perempuan bukanlah suatu kelompok kohesif, sehingga argument bahwa laki-laki dapat mewakili mereka seutuhnya jarang terjadi. Praktek perwakilan politik secara kelembagaan bersifat khas. Dasar-dasar yang yang mendukung perwakilan yang sama dari perempuan yang muncul dari tiga sumber utama: pertama, prinsip-prinsip umum demokrasi representatif yang diubah menjadi kerangka konstitusi demokrasi liberal; kedua, system pemerintahan partai; dan ketiga advokasi feminis. Sebagaimana Phillips mengatakan:
“The people representing the group would then be able to refer back to thisprocess of collective engagement. They would be speaking for their caucus, organization, or group, and they would be conveying the results of what might have been a very contested internal debate”
Dengan adanya orang-orang yang mewakili kelompok, maka orang tersebut kemudian akan dapat merujuk kembali ke proses keterlibatan kolektif. Mereka akan berbicara untuk organisasi mereka, atau kelompok, dan mereka akan menyampaikan hasil apa yang mungkin telah menjadi perdebatan internal yang sangat diperebutkan.Karenanya gerakan-gerakan politik menjamin perwakilan proporsional. Dalamperwakilan politik perempuan menurut Lovenduski ada dua bentuk(Anne Phillips. 1995. The Politics of Presence. Oxford : Oxpord University Press) :
a. Perwakilan Deskriptif
Tuntutan bahwa kaum perempuan seharusnya berada dalam pembuatankeputusan sebanding dengan keanggotaan mereka dalam penduduk merupakantuntutan atas perwakilan deskriptif (kadang-kadang disebut perwakilan proporsional, penggambaran, mikrokosmik). Perwakilan deskriptif perempuan mengusulkan bahwa seharusnya perempuan mewakili kaum perempuan sebanding dengan jumlahpenduduk mereka. Tuntutan-tuntutan seperti itu menantang sistem-sistem perwakilan,di mana banyak kelompok secara tetap disingkirkan. Dalam perwakilan deskriptif , para wakilnya ada atas nama pribadi dan hidup mereka sendiri dalam arti tertentuyang khas yang lebih besar dari orang-orang yang mereka wakili‟ (Mansbridge 1999). Perwakilan deskriptif sulit terwujud karena menuntut keterampilan. Sedangkanketerampilan itu sendiri tidak dapat didistribusi secara sama.
b. Perwakilan Substantif
Konsep perwakilan substantif menyarikan isi dari keputusan-keputusan para
wakil. Perwakilan substantif dari suatu kelompok secara paling sederhana dilukiskan sebagai perwakilan kepentingan-kepentinganya. Dalam berbagai keadaan politik, perwakilan kepentingan seseorang mungkin lebih penting daripada perwakilankelompoknya. Artinya, setelah pemilihan pertama pasca hak pilih perempuandiberikan, kaum feminis mungkin lebih memilih para pendukung isu-isu perempuan,apapun jenis kelaminnya, daripada memilih perempuan yang tidak mendukung isu-isu feminis. Perwakilan substantif mengarahkan perhatian pada idemengenai kepentingan.
Dalam politik identifikasi kepentingan itu kontroversial. Teori feminisdengan sangat hati-hati menyadari bahwa kelas, ras, etnis, seks, kemampuan fisik, status perkawinan, keibuan, dan agama memecah belah perempuan sekaligus menjadisumber penting bagi identitas dan kepentingan mereka. Kesulitan-kesulitan untuk menempatkan kaum perempuan dan kepentingan-kepentingan mereka ini ke dalamteori-teori arus utama mengenai perwakilan politik menunjukkan kompleksitasnya proyek untuk mengintegrasikan kaum perempuan ke dalam wacana politik. Ada tiga macam argumen yang diajukan untuk mendukung tuntutan atas perwakilanperempuan: argumen keadilan, argument pragmatik, dan argumen perbedaan.
a. Argumen Keadilan
Argumen yang paling kuat untuk mendukung bertambahnya perwakilanperempuan adalah argumen yang didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan.Argumentersebut menyatakan bahwa sangatlah tidak adil jika kaum laki-laki memonopoli perwakilan, terutama di suatu Negara yang menganggap diri sebagai negara demokrasi modern. Argumen-argumen tambahan mengenai kodrat perwakilan dapatmengaburkan inti pokok itu, tetapi argumen-argumen tambahan itu tidak pernah dapat mebalikkannya. Argumen keadilan juga didukung oleh klaim-klaim dari kewargaan. Kewargaan merupakan sekumpulan hak, kewajiban, alat kelengkapan, dan identitasyang membentuk milik seseorang dalam sistem politik. Dalam istilah-istilahkonstitusional, perempuan secara formal mempunyai kewargaan yang sama denganlaki-laki dalam sistem demokatis.
b. Argumen Pragmatis
Argumen pragmatis memanfaatkan gagasan mengenai para politisi rasional yang memaksimalkan jumlah suara. Hal ini didasarkan pada keuntungan- keuntungan partai-partai politik untuk meningkatkan jumlah wakil perempuan mereka. Parapendukung menyoroti pentingnya pemilih perempuan terkait dengan suksesnyapemilihan. Para pendukung argumen pragmatis mengajukan klaim bahwa perempuanlebih cenderung memberikan ssuaranya pada partai-partai yang memilih kandidat perempuan. Mereka memanfaatkan argumen-argumen perbedaan untuk mempertahankan bahwa perempuan memiliki, pengalaman-pengalaman dan kepentingankepantingan khusus yang dapat dimengerti dan diwakili oleh perempuan. Mereka berpendapat bahwa gambaran parta maskulin bersifat ketinggalan zaman dan tidakmenarik bagi pemilih perempuan. Menurut logika ini, meningatnya perwakilanperempuan akhir-akhir ini akan mengarahkan ke proses-proses persaingan penawaranbagi dukungan perempuan yangmenyebabkan partai mana pun tidak dapat tinggaldiam kalau berharap sukses dalam pemilihan. Argumen pragmatis membuat keutamaan yang lain dengan berpendapatbahwa melalui keterlibatan perempuan, politik akan menjadi lebih konstruktif danramah. Ini tentu saja merupakan klaim etika publik kontroversial, tetapi memiliki dasar tertentu. Suatu saat ketika publik muak dan tidak percaya kepada rapat-rapatpolitik yang penuh permusuhan, ada pendapat bahwapeningkatan kaum perempuandapat memberikan pengaruh yang sangat menguntungkam pada lembaga-lembagapolitik.
c. Argumen perbedaan
Kumpulan argument ketiga didasarkan pada konsep-konsep perbedaan Argumen pokoknya adalah bahwa perempuan akan membawa gaya dan pendekatanyang berbeda dalam politik yang akan mengubahnya menjadi lebih baik, suatupengaruh yang menguntungkan semua pihak. Suatu cara yang berguna untuk menyelidiki akibat dari perbedaan gender bagi kewargaan adalah mempertimbangkanwarga Negara universal, pelaku politik yang terlepas dari teori demokrasi tradisional. Interaksi hubungan gender dan perbedaan sosial mempunyai pengaruh penting padakekuasaan politik dari macam-macam kelompok perempuan maupun laki-laki. Baik dasar mereka dalam argumen perbedaan maupun pengaruhnya pada sumber-sumberdaya dari macam-macam kelompok perempuan dan laki-laki yang menuntut untukmemperhitungkan ketidakadilan yang tertanam dalam kewargaan.
Ketika kewargaan perempuan dipertanyakan kenapa terjadi penyingkiran, maka Ruth Lister berpendapat bahwa penyingkiran kaum perempuan dari kewargaan,sebagian merupakan produk dari kategorisasi esensial kemampuan dan kualitas laki-laki dan perempuan. Ia menuliskan bahwa individu tanpa tubuh yang secara aktual laki-laki tetapi secara formal abstrak, yang dulu adalah warga dari teori politik dan hukum konstitusional yang begitu lama ada hanya karena perbedaan antara kehidupanpublik dan kehidupan privat membuat pemisahan yang tidak dapat diseberangi olehkaum perempuan. Kaum perempuan yang telah disingkirkan ke ruang privat menjadipendukung yang tidak tampak dari kehidupan publik melalui persediaan perhatian,reproduksi, dan pekerjaan lain secara gratis. Salah satu akibat dari pemisahan sepertiitu adalah bahwa perempuan tidak muncul dalam kehidupan publik, tanpa mempertimbangkan apa yang telah dibuat perempuan dalam kehidupan publik.
Thus, forexample, paid work has represented an emancipatory path to citizenship for many women, providing them with more or less economic independence and access to social citizenship rights
Kaum perempuan mendapatkan apa yang telah mereka lakukan diruang publik yang telah mewakili jalur emansipatoris kewarganegaraan, dan mereka dilihat sebagaiyang kurang kemandirian ekonomi dan akses ke hak kewarga negaraan sosial. Serangkaian kebiasaan yang menggelikan terjadi karena ketidakhadiran perempuan.Tubuh tidak mempunyai tempat dalam mayarakat sipil,di mana untuk hadir orangharus mengatasi kenyataan bertubuhnya sendiri, sesuatu yang dianggap hanya dapatdilakukan oleh laki-laki tetapi bukan oleh perempuan. Maka pengakuan perempuan pada kewargaan merupakan pengakuan pada ruang publik dalam pengertian yang berbeda dari laki-laki karena hal itu berarti bahwa keniscayaan yang tidak tampakdari peran yang sampai saat itu dimainkan kaum perempuan dalam kehidupan privat harus diperhitungkan. (Ruth Lister. 2007. Gendering Citizenship In Western Europe,(Policy Press).
2.2 Perwakilan Politik Perempuan Dalam Feminisasi Politik
Lovenduski mengatakan bahwa Pembedaan dalam masalah-masalahperwakilan politik kurang jelas dibanding di bidang-bidang advokasi perempuan lain. Ini disebabkan oleh tatanan perwakilan politik yang berkembang melalui kompromi dan kesepakatan di mana ide-ide dan hak-hak saling tumpang tindih dan definisi-definisi asli dikaburkan. Pengaruh yang berbeda-beda dari kedua dasar feminism kadang-kadang dianggap tegas. Bagi banyak pengkritik, sikap kesetaraan menyarankan bahwa klaim-klaim perempuan untuk perwakilan politik, bila berhasil, akan mengubah mereka menjadi laki-laki politik. Sebaliknya, sikap perbedaanmemuat akibat bahwa, dalam jumlah yang cukup, kehadiran para wakil perempuan akan mengubah praktek dan hakikat politik. Di satu pihak, sesuai dengan argument-argumen perbedaan para feminis menentang pemisahan antara kehidupan publik danprivat, sekurang-kurangnya dalam teori, yang merupakan batas antara politik dan kegiatan-kegiatan lain. Selanjutnya dapatlah dilihat bahwa dalam argumen yang pertama, perwakilanpolitik perempuan mengharuskan runtuhnya pemisahan antara yang publik dan yang privat, itu terjadi karena munculnya perubahan dalam kelembagaan. Sedangkanmenurut argument yang kedua, klaim-klaim atas perwakilan perempuan dipenuhioleh keterlibatan jumlah perempuan yang memadai dalam lembaga-lembaga yangsudah ada. Kehadiran yang melibatkan penerimaan akan peraturan permainan yangsudah ada, dituntut bila peraturan yang baru harus dibuat. Kesetaraan diperlukan bilaperbedaan harus dikompensasi dan perbedaan harus diakui bila kesetaraan harusdicapai. Elizabeth Frazer mengemukakan bahwa:
“Konsepsi gender, baik yang implisit maupun eksplisit, dalam pelbagai sistem pemikiran itu bukanlah unsur kebetulan, melainkan unsur yang penting, dan bukan pula unsur yang tidak bermakna. Seluruh analisis bersifat preskriptif (analisis itu mengemukakan gagasan sistematis tentang bagaimana masyarakat seharusnya diatur).Namun demikian, gagasan-gagasan itu merasuk, walaupun secara tidak sempurna, ke dalam konstitusi, sistem hukum, dan lembaga-lembaga sosial politik lainnya, serta ke dalam budaya popular dalam masyarakat.Dengandemikian, bisa dikatakan bahwa gagasan-gasan itu bersifat konstitutif”
Untuk itu dalam membentuk teori politik feminis, seringkali fenomena social yang berada di luar wilayah kerja Negara dan lembaga politik konvensional harusdipertimbangkan. “cara hidup” dan “tradisi” merupakan hal yang sangat pentingkarena keduanya seringkali merugikan kepentingan perempuan. Secara khusus, nilai-nilai yang berada di pusat relasi seksual tradisional memiliki arti penting; dan bukanhanya nilai-nilai dan gagasan-gagasan, namun juga berbagai praktik-yakni cara-caramelakukan sesuatu yang diterima begitu saja. Kaum feminis telah telah memusatkanperhatian pada posisi perempuan dalam pasar kerja dan property, namun mereka melihat hal ini terkait dengan posisi perempuan di dalam “dunia domestik”. Elizabeth Frazer menunjukkan secara positif, bahwa teori politik feminis melibatkanpembuatan model dan penelitian empiris mengenai hubungan antar pelbagai peristiwadan perubahan dalam pemerintahan Negara dan kebijakkan pemerintah, perubahan dalam hukum, dalam hubungan sosial. (Stevi Jackson & Jackie Jones (ed). 1998. Pengantar Teori-Teori Feminis Kontemporer . Yogyakarta: Jalasutra).
Dalam kaitannya dengan feminisasi politik, Lovenduski mengemukakan beberapa kendala yang menyebabkan kurangnya keterwakilan politik berjalan maju, meskipun banyak di antaranya masih diusahakan. Meskipun terdapat perbedaan-perbedaan regional yang berarti, kurangnya perwakilan perempuan merupakankenyataan hidup yang menghiasi semua jenis tatanan lembaga dan budaya. Sehingga kenyataan ini merupakan salah satu dari sedikit generalisasi yang aman dilakukan terkait dengan posisi perempuan. Perempuan mengalami tiga rintangan sosial utama untuk menjadi pelaku politik. Pertama sumber daya yang diperlukan untukmemasukipolitik yang mereka miliki lebih lemah. Kedua, bermacam-macam kekangan gayahidup mengakibatkan perempuan mempunyai sedikit waktu untuk politik. Keluargadan kewajiban-kewajiban lain yang menuntut perhatian penuh secara khas dijalankanoleh perempuan mengurangi waktu mereka untuk kegiatan lain-lain. Ketiga, tugas politik dikategorikan sebagai tugas laki-laki, yang menghalangi kaum perempuanmengejar karier politik dan juga merintangi rekruitmen mereka yang tampil ke depan.
Selanjutnya Lovenduski hukum yang mengatur perekrutan hanya merupakan bagian dari proses, yang juga dipengaruhi oleh pelbagai institusi, yang menjalankan perekrutan. Lembaga-lembaga yang mempengaruhi tingkat dan hakikat perwakilan perempuan mencakup partai-partai politik, majelis-majelis terpilih, dan bermacam-macam kelompok penekan dan gerakan-gerakan sosial, termasuk gerakan-gerakan perempuan.Untuk itu maka feminisasi partai-partai politik penting bagi keterwakilan perempuan.(Feminisasi Politik, adalah suatu keadaan ketika perempuan dilibatkan dan iintegrasian dalam manifestasi mereka di lembaga-lembaga politik dan dalam proses penting tetapi secara luas dianggap tidak menarik)
Partai-partai politik telah menjadi pengantar bagi kehadiran perempuan pada jabatan yang dipilih. Partai-partai politik melembagakan ide-ide mengenai politik yang mempunyai implikasi gender. Idiologi-ideologi partai merupakan dasar reputasi mereka yangberkelanjutan dan bersifat mendasar bagi kepercayaan para pemilih dan anggota. Sebagai lembaga, partai-partai mampu meneruskan cita-cita dari satu generasi ke generasi berikutnya. Lembaga-lembaga sekaligus mampu menciptakan hasil-hasil politis dan melanjutkan sikap dan tingkah laku ke masa depan karena mereka dibentuk oleh identitas-identitas kaum laki-laki dan perempuan yang menjadi anggota-anggotanya. Namun dalam hal ini partai-partai politik berbeda satu sama laindan bervariasi lintas waktu dalam hal bagaimana imbangan faktor-faktor persediaan dan permintaan mempengaruhi perempuan. Di dalam semua partai rintangan bagiseleksi perempuan dapat dijelaskan dengan seksisme institusional. Selain itu menjadi seorang kandidat merupakan proses yang mahal. Perempuan tidak hanya mempunyaisumber daya yang lebih sedikit untuk menutup biaya semuanya itu; mereka jugamemasukkan tambahan biaya, dengan sumber dukungan yang lebih sedikit.
Selain faktor-faktor diatas yang merupakan kendala bagi perempuan dalam dunia politik, maka ada faktor-faktor yang timbul dari perempuan itu sendiri dalam hal ini disebut faktor internal yang berpengaruh pada rendahnya partisipasi perempuan dalam bidang politik sebagai berikut :
a. Adanya anggapan di kalangan perempuan bahwa politik itu penuh kekerasan sehingga dipandang sebagai dunianya laki-laki, sehingga perempuan enggan berkecimpung di dalamnya.
b. Banyak perempuan tidak senang berorganisasi.
c. Perempuan kurang memanfaatkan potensi yang ada dalam dirinya bahkan perempuan sendiri kadang-kadang menenggelamkan dirinya dalam dunia domestik sibuk dalam tugas-tugas rumah tangga.
d. Perempuan sering kurang percaya diri, sehingga tidak siap mental dan psikologis untuk memasuki dan melaksanakan fungsi-fungsi jabatan sebagaiperumus kebijakan maupun pengambil keputusan.
Penetapan strategi-strategi untuk meningkatkan perwakilan politik perempuandalam demokrasi modern merupakan suatu proses di mana ide-ide mengenai keadilandijadikan dasar bagi kesamaan politik. Prosesnya tidaklah harus linier dalam jangkapendek, tetapi dalam jangka tertentu. Menurut Lovenduski secara luas, terdapat tiga strategi yang ada: retorika tentang kesamaan dan jaminan atau diskriminasi positif atas kesamaan. Retorika tentang kesamaan merupakan penerimaan publik terhadapklaim-klaim kaum perempuan. Namun selanjutnya ia mengatakan bahwa retorisbelumlah cukup mempunyai kebijakan-kebijakan bagi sebuah perubahan.
Promosi berkaitan dengan kesamaan mencoba membawa kaum perempuan ke dalam persaingan politik dengan menawarkan pelatihan khusus dan bantuankeuangan, dan menetapkan target-target bagi kehadiran perempuan dan tindakan-tindakan lain untuk memungkinkan kaum perempuan tampil ke depan. Jaminan-jaminan kesamaan atau diskriminasi positif menghilangkan tuntutan bagi wakil-wakilperempuan.Dalam strategi-strategi seperti itu tempat-tempat disediakan secara khusus bagi perempuan dalam daftar pemilihan dan dalam badan-badan perwakilan.Kebijakan-kebijakan untuk meningkatkan kehadiran kaum perempuan adalah bersifatpermisif, suka rela atau harus dilakukan dan kebijakan-kebijakan itu dapat memberikan peluang-peluang atau jaminan-jaminan.
Kebijakan-kebijakan yang bersifat permisif menyingkirkan rintangan-rintangan formal bagi perwakilan perempuan seperti eksklusi-eksklusi secara legal.Kebijakan-kebijakan itu juga dapat menyingkirkan larangan-larangan mengenaipenggunaan kebijakan-kebijakan sukarela atau keharusan. Kaum perempuan mendapat manfaat dari sistem daftar partai perwakilan proporsional karena pertama, partai-partai yang menampilkan daftar-daftar mempunyai insentif untuk menampilkan daftar kandidat yang secara sosial seimbang dengan para pemilih; hal itu menjadikanmereka “kelihatan” lebih refresentatif.Kedua, pengaruh-pengaruh pemegang jabatan sedikit lebih lemah, maka sedikit lebih banyak kekosongan yang dihasilakan. Ketiga, daftar partai membantu kuota karena memberikan lebih banyak kesempatan untuk melibatkan perempuan tanpa mengeksklusikan laki-laki, sementara dalam pemilihanberanggota tunggal di mana partai-partai dapat menominasi hanya satu kandidatpartai-partai harus memilih antara perempuan dan laki-laki.Kuota adalah contoh dari jaminan kesamaan.
Bentuk yang digunakan kuota tergantung pada konteks institusional dankultural yang pada akhirnya menentukan kuota itu sendiri. Sedangkan pelaksanaankuota tergantung kepada pada peraturan-peraturan yang ada dalam diri partai itu sendiri. Tergantung pada sikap normatif dan kalkulasi-kalkulasi partai mengenaimanfaat . Ketika kuota itu sendiri tidak dilaksanakan, maka yang akan terjadi adalah kuota menjadi jenis lain dari retorika kesetaraan, bagian dari proses tetapi belummenjadi sebuah solusi. Penggunaan kuota menunjukkan bentuk yang diambil terbatasi secara kelembagaan atau tergantung kepada cara.
sIde-ide mengenai eksistensi perwakilan perempuan dalam politik memuatprosesperjalanan dari pergerakan politik perempuan yang sudah sejak lama diperjuangkan. Bahkan kuota sebagai wadah yang memfasilitasi hak-hak perempuan dalam berpolitik adalah sebuah hasil yang memberikan kesempatan politik bagiperempuan itu sendiri. Menyoroti gagasan tentang posisi perempuan dalam perwakilan politik di Indonesia, maka akan dilihat bagaimana posisi perempuandalam bidang politik dalam persfektif hukum dan politik. Bagian ini tentunya akanmemberikan wawasan politik yang berkenaan dengan poltik keterwakilan perempuandi Indonesia.
2.3 Perempuan Dalam Perspektif Hukum Dan Politik
Dalam konteks Indonesia, perkembangan politik keterwakilan perempuan arahnya semakin jelas, itu dengan ditetapkannya UU yang mengatur kejelasan
keterlibatan perempuan dalam kancah politik yang tertuang dalam UU No 2 Tahun 2008 dan UU No 10 Tahun 2008.
1. Perspektif Hukum Dan Politik UU No 2 Tahun 2008Tahun 2008 diawali dengan sebuah sejarah yang baru dalam keputusanNegara mengenai perpolitikan di negeri ini. Pada 4 januari 2008 diundangkannyaUndang-undang partai politik dengan UU No 2 Tahun 2008 tentang partai politikmelalui LN No 2 Tahun 2008. Berbagai hal diatur di dalam undang-undangsebelumnya, yakni UU No 31 Tahun 2002. Antara lain, pengaturan pembentukanPartai Politik; Ketentuan Perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga;Asas dan ciri Parpol, serta tujuan dan fungsinya.
Salah satu hal mendasar dalam UU No 2 Tahun 2008, adalah syarat menjadibadan hukum atas suatu partai politik. Disyaratkan bahwa untuk menjadi suatu badanhukum, parpol harus memiliki kepengurusan, sedikitnya 60% dari jumlah propinsi,50% dari jumlah kabupaten/kota pada setiap propinsi yang bersangkutan. Sementarauntuk kecamatan, harus memiliki kepengurusan setidaknya 25% dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota pada daerah yang bersangkutan.
Syarat badan hukum dalam hal jumlah kepenguruan pada UU No 2 Tahun 2008 lebih diperketat, yakni sedikitnya memiliki 60% dari umlah propinsi. Pada UU No 31 Tahun 2002, hanya disyaratkan sedikitnya memiliki 50% dari jumlah provinsi.Untuk kepengurusan pada jumlah kabupaten/kota dan kecamatan, hal demikian tidakberbeda dengan UU No 31 Tahun 2008.Baik pada UU No 2008 maupun UU sebelumnya, syarat untuk menjadi badanhukum dari suatu partai politik, harus memiliki kepengurusan paling sedikit 50% darijumlahkabupaten/kota pada setiap propinsi yang bersangkutan, dan 25% dari jumlahkecamatan pada setiap kabupaten/kota pada daerah yang bersangkutan. KetentuanUU NO 2 Tahun 2008 juga menentukan, pengesahan Parpol menjadi badan hukum dilakukan dengan keputusan Mentri Hukum dan HAM, paling lama 15 hari sejakberakhirnya proses penelitan dan/verifikasi. Hal ini berbeda dengan UU No 32Tahun 2002, karena UU selama ini menentukan pengesahan parpol sebagai badanhukum, dilakukan oleh Menteri Hukum dan HAM selambat-lambatnya 30 hari setelah penerimaan pendaftaran.
Dalam masalah kesetaraan gender, diatur secara tegas dengan menentukan tindakan keperansertaan perempuan, berupaya sedikitnya 30% keterwakilanperempuan dalam suatu parpol. Begitu pula dengan jumlah kepengurusan perempuansedikitnya 30% di tingkat propinsi dan kabupaten/kota. Hal ini harus dinyatakandalam AD dan ART suatu partai.
Dari pinsip-prinsip yang terkandung UU No 2 Tahun 2008 ini diharapkanmampu mengeksistensikan setiap partai politik menjadi parpol yang tangguh. Lebihmampu menjadi agen pembaruan sosial dan kehidupan politik yang sehat, baik secarainternal maupun dalam peran eksternalnya di tengah bangsa Indonesia yang sedangmenapaki langkah ke arah demokratisasi yang kuat.
2. Perspektif Hukum Dan Politik UU No 10 Tahun 2008UU No 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Daerah dan DewanPerwakilan Rakyat Daerah, merupakan penganti UU no 12 tahun 2003. UU No 12tahun 2003 sebelumnya juga telah mengalami perubahan sebagaimana telah diubahterakhir dengan UU No 10 tahun 2006 tentang Penetapan Peraturan Pemerintahpengganti Undang-Undang No 1 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DewanPerwakilan Rakyat, Dewan perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menjadi Undang-Undang. UU No 12 Tahun 2003 sudah tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan, dan dinamika demokrasi masyarakat, maka kemudian digantikan dengan UU No 10 Tahun 2008.
Sebagaimana sebelumnya pada UU No 12 tahun 2003, dalam UU No 10 Tahun 2008 diatur berbagai hal mengenai Pemilu. Antara lain, mengenai asas,pelaksanaan dan lembaga penyelenggara Pemilu; Peserta dan Persyaratan mengikutiPemilu; kemudian mengenai peraturan hak-hak untuk memilih. Kemudian diatur puladalam UU No 10 Tahun 2008 ini mengenai jumlah kursi dan daerah pemilihan anggota DPR, Penyusun Daftar pemilih; dan bagaimana pencalonan anggotaDPR,DPD,DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Dalam hal ini, sistem keterwakilan perempuan juga menjadi bagian dari UU No 10 Tahun 2008. Sistem keterwakilan politik perempuan dikaitkan dengan Affirmtive Actions, sebagai langkah solusi mengejar keterbelakangannyadari kaum pria.
Selanjutnya di dalam UU ini diatur mengenai kampanye; pengaturanpemungutan suara, begitu pula perlengkapan mengenai pemungutan suara, begitupula perlengkapan mengenai pemungutan suara, perhitungan suara, dan demikian penetapan hasil pemilu. Selanjutnya mengenai penetapan perolehan kursi dan calonterpilih. Hal ini diatur mengenai pemungutan suara ulang dan penghitungan suaraulang; begitu pula mengenai kemungkinan pemilu lanjutan dan pemilu susulan. Selain itu diatur pula dalam, undang-undang ini mengenai pemantauan Pemilu.
Mengenai keterwakilan perempuan dalam UU No 10 Tahun 2008, terdapatkemajuan secara signifikan dibandingkan dengan undang-undang sebelumnya, yakni baik UU No 12 Tahun 2003 maupun UU No 31 tahun 2002 tentang Parpol. UU No10 Tahun 2008 merupakan tindak lanjut dari sistem politik mengenai keterwakilanperempuan (dalam kepengurusan partai) sebagaimana ditentukan pada UU No 2tahun 2008 tentang Partai Politik.
Demikianlah dalam UU No 10 Tahun 2008, politik keterwakilan perempuanditeruskan dan diwujudkan dalam rangka pemilihan wakil-wakil rakyat, baik di tingkat pusat (parlemen) maupun di tingkat daerah (DPRD). UU NO 10 Tahun 2008ini sangat penring artinya bagi realisasi politik keterwakilan perempuan (feminisasi politik). Karena meskipun sedemikian baiknya sistem keterwakilan perempuan dilaksanakan di tingkat parpol (pembentukan dan kepengurusan parpol), namun jika tidak diwujudkan dalam fase selanjutnya secara eksternal dalam bentuk pencalonan anggota legislatif, asas keterwakilan demikian adalah tidak bermakna apa-apa.
Maka UU No 10 Tahun 2008 menentukan, bahwa bagi setiap parpol, hanya bisa mengikuti atau menjadi peserta pemilu, haruslah memenuhi persyaratan, antaralain menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan. Tanpa dipenuhinya persyaratan keterwakilan perempuan oleh setiap partai, tidak akan diterima sebagai Parpol peserta Pemilu. Mengenai sistem keterwakilan perempuan menuut UU No 10tahun 2008, dapat dilihat pada pasal 53 sampai pasal 58 UU No 10 Tahun 2008. Pasal53 mengatakan bahwa:
“Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 memuat paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan”.
Pasal 52 mengatur hal penyusunan bakal calon legislatif (caleg). Pasal 52 ini menentukan bahwa bakal caleg disusun dalam daftar bakal calon oleh parpol masing-masing (ayat 1): bakal caleg anggota DPRD ditetapkan oleh pengurus partaipolitikpeserta pemilu tingkat pusat: bakal caleg anggota DPRD provinsi ditetapakan olehpengurus Partai Politik Peserta Pemilu tingkat provinsi; dan bakal caleg anggotaDPRD kabupaten/kota ditetapkan oleh pengurus Partai politik Pesera Pemilu tingkatKabupatn/Kota. Nama-nama bakal caleg ini di susun berdasarkan no urut. MenurutPasal 55 ayat (2) ditentukan secara tegas bahwa:
“Di dalam daftar bakal calon sebagaimana imaksud pada ayat (1), setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1(satu) orang perempuan bakal calon”.
Penentuan calon anggota legislatif perempuan sebanyak minimal 30 %,seperti disebutkan di atas, dilakukan melalui sistem Zipper System atau zig-zag. Caleg perempuanditempatkan dalam daftar caleg dengan komposisi 1 diantara 3nama, atau setiap 3 nama yang ada, terdapat 1 caleg perempuan. Penempatan ini tentunya dimulai dari nomor urut terkecil hingga nomor urut besar.
Apa yang disebut Affirmative Action, telah dituangkan pada Pasal 53 sampaidengan pasal 58 UU No 10 Tahun 2008. Affirmative Action, dimekanisme melalui ketentuan-ketentuan yang memungkinkan adanya semacam tindakan khusus kepadakaum perempuan dalam penentuan calon legislatif. Pasal 53s/d58 juga merupakanaplikasi secara nyata dari jiwa UU No 10 Tahun 2008 yang tidak bias gender,malahan memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi semua golongan dan lapisanuntuk memilih dan dipilih pada kesempatan pemilu yang ditentukan.
Affirmative action adalah merupakan upaya jalan keluar dari permasalahankaum perempuan atas ketertinggalannya. Affirmative Action dikatakan juga sebagaipengecualian demokrasi. Karena sifatnyakekecualian, maka tindakan khusus ini, terkadang disebut pula diskriminasi positif . Disebut diskriminasi positif, karena demi memperhatikan pemberdayaan kaum perempuan dalam politik, arti demokrasi dalam politik tersebut seakan menjadi tidak tampak, namun kebijakan khusus demikian masih dapat dinilai positif sebagai langkah mengatasi kesenjangan gender.
Dilihat baik UU No 2 Tahun 2008 tentang Parpol maupun UU No 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, DewanPerwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan rakyat daerah, merupakan instrument hukum yang revolusioner dalam kancah perpolitikan di Indonesia.
BABIII
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
Peran perempuan dalam Sistem Politik Indonesia sudah ada sejak penjajahan belanada dimana mereka berjuang dan berpartisipasi melalui Organisasi gerakan-gerakan perempuan.Perempuan pun telah diakui haknya dalam politik, baik hak pilih dalam pemilihan umum 1955, maupun juga duduk sebagai anggota parlemen.Namun jumlah perempuan dalam partisipasi politik masih kurang.Hal ini disebabkan perempuan mengalami tiga rintangan sosial utama untuk menjadi pelaku politik. Pertama sumber daya yang diperlukan untuk memasuki politik yang mereka miliki lebih lemah. Kedua, bermacam-macam kekangan gaya hidup mengakibatkan perempuan mempunyai sedikit waktu untuk politik. Keluarga dan kewajiban-kewajiban lain yang menuntut perhatian penuh secara khas dijalankan oleh perempuan mengurangi waktu mereka untuk kegiatan lain-lain. Ketiga, tugas politik dikategorikan sebagai tugas laki-laki, yang menghalangi kaum perempuan mengejar karier politik dan juga merintangi rekruitmen mereka yang tampil ke depan.
Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Kemajuan teknologi baik dalam bidang teknologi, baik dalam bidang teknologi informasi maupun teknologi transportasi mendorong munculnya produk-produk kebudayaan baru dalam masyarakat. Dalam beberapa masyarakat, ada produk kebudayaan yang terus dipertahankan dari masa ke masa yang tidak boleh diubah. Adanya kebudayaan-kebudayaan baru yang masuk dalam suatu masyarakat tidak lepas dari peran komunikasi dan bisanya proses komunikasi yang terjadi melibatkan media massa karena daya jangakaunya lebih luas. Salah satu wujud kebudayaan yang dihasilkan dengan adanya keterlibatan media massa adalah kebudayaan massa atau mass culture dan kebudayaan popular atau pop culture . Berbagai wujud pop culture ada disekitar kita seperti gaya berbusana, makanan, music dan film. Tak bisa dipungkiri lagi, keberadaan pop culture mewarnai kehidupan sosial kita. Bila kita amati berbagai wujud pop culture yang ada disekitar kita memang tidak lepas dari peran media
Komentar