Langsung ke konten utama

PERAN PEREMPUAN DALAM SISTEM POLITIK INDONESIA




BAB II
PEMBAHASAN


2.1  Negara Dan Perempuan

Sangatlah  perlu  untuk dilihat dalam konteks Indonesia, bagaimana  posisiperempuan  dalam  Negara  Indonesia sendiri. Jikalau ditelusuri, Kepedulian Negara terhadap perempuan dapat  dirunut sejak masa  pemerintahan Presiden RI  pertama, Soekarno. Pada masa itu, perempuan telah diakui haknya dalam politik, baik hak pilihdalam pemilihan umum  1955, maupun juga  duduk sebagai anggota  parlemen.Pada masa  itu juga  telah ada  UU  yang  bernuansa  keadilan gender, yaitu UU 80/1958. Undang-Undang  tersebut menentukan prinsip pembayaran yang  sama untukpekerjaan yang  sama. Perempuan dan laki-laki tidak dibedakan dalam sistem penggajian.Keluarnya  UU  ini  merupakan salah satu contoh dari keberhasilan perjuangan kaum perempuan ketika itu.Pada  masa  Soeharto ada  juga  kemajuan penting  yang  dicapai perempuan.Salah satu kemajuan yang  dapat dicatat adalah  dijadikannya  masalah perempuan sebagai masalah politik dan adanya kebijakan-kebijakan publik yang secara eksplisit bertujuan untuk menangani masalah-masalah perempuan. Secara kelembagaan hal ini tercermin dari adanya  suatu kementrian yang  bertugas menangani masalah-masalah perempuan (Muhadjir M. Darwin. 2005.Negara Dan Perempuan, Reorientasi Kebijakan Publik.Yogyakarta: GrahaGuru).
Pada Tahun 1978 dibentuk Kantor Menteri Muda Urusan Peranan Wanita atau lebih dikenal melalui akronim Menmud UPW. Pada tahun 1983 status menterimuda ini ditingkatkan menjadi Menteri Negara Urusan Peranan Wanita, Keppres No.25 Tahun 1983 yang mengatur kedudukan, tugas pokok, fungsi dan tata kerja menteri Negara. Pada  Bab I  Pasal 1 ayat 8  Keppres tersebut ditegaskan  bahwa  “Menteri Negara  Urusan Peranan Wanita, disingkat MenUPW, mempunyai tugas pokok menangani peranan wanita dalam pembangunan di segala bidang.Visi  Kantor MenUPW  adalah peningkatan peranan wanita  dalam pembangunan.  Untuk pertama kalinya, visi  ini  dilembagakan melalui  GBHN  1978,dan di dalamnya termuat secara khusus pembahasan mengenai Peranan Wanita dalamPembangunan dan Pembinaan bangsa.  Pada  dasarnya, pembahasan ini mencobamengembangkan sebuah  perspektif mengenai peran perempuan, yaitu perspektif ‘peran ganda wanita’. Secara jelas perspektif ini dirumuskan dalam bentuk kebijakan pembangunan berideologikan ‘Panca Dharma Wanita’ yang meliputi wanita sebagai :
1.      Istri dan pendamping  suami;
2.      Pendidik dan pembina  generasi muda;
3.      Ibupengatur rumah tangga;
4.      Pekerja  yang  menambah penghasilan keluarga; dan
5.      Anggota  organisasi masyarakat khususnya  organisasi wanita  dan organisasi sosial.

Dalam perkembangannya, perspektif peran ganda  wanita  dan kebijakan ideologisPanca  Dharma  wanita  ini  mengakar kuat  dalam proses  pembangunan semasa pemerintahan  orde  baru.  Prestasi penting  pada  masa  Menmud UPW  adalah keterlibatannya  dalam memprakarsai berdirinya  Pusat Studi  Wanita (PSW) di beberapa  Universitas negeri di seluruh Indonesia. Setidaknya  ada  ada  dua  manfaatberdirinya  PSW, yaitu sebagai semacam            think  tank   bagi pembuatan kebijakan danprogram yang  applicable bagi pmbangunan di pusat maupun daerah tempat PSW itu berada.
Reformasi politik di Indonesia tentunya telah memberikan harapan  besar bagi kaum perempuan. Gerakan-gerakan  yang sebelumnya seperti tidak memiliki energi,muncul dengan berbagai usaha  pembedayaan hak-hak perempuan, kususnya  hakpolitik. Kebangkitan kaum perempuan dalam pola kehidupan di era globalisasi telah membawa  perubahan dalam perkembangan pembangunan terutama  di  Indonesia.
Dalam diri perempuan melekat multi  peran yang  menuntut pula kondisi  demokrasidalam berbagai bidang  kehidupan.  Demokrasi itu sendiri telah menjadi istilah yangsangat diagungkan dalam  sejarah pemikiran manusia  tentang  tatanan sosio-politik yang ideal. Bahkan, mungkin untuk pertama  kali  dalam sejarah,  demokrasidinyatakan sebagai nama yang paling baik dan wajar untuk semua sistem organisasipolitik dan sosial yang diperjuangkan oleh pendukung-pendukung  yang ‘berpengaruh’.  Demokrasi itu sendiri adalah bagian dari khazanah  pembuatankeputusan kolektif. Demokrasi mengejawantahkan keinginan bahwa  keputusan-keputusan yang mempengaruhi perkumpulan secara keseluruhan, harus diambil olehsemua anggotanya, dan  bahwa  masing-masing anggota harus mempunyai hak yang sama dalam proses pengambilan/pembuatan keputusan-keputusan tersebut. Meskipun demikian, intensitas perkembangan eksistensi kemanusiaan perempuan secara umumadalah belum optimal. Hal ini tersirat nyata dari masih kuatnya tradisi sebagian besaranggota  masyarakat yang  mendiskreditkan perempuan dengan menempatkan perempuan sebagai second person. Pemimpin perempuan di masyarakat  terkadangmasih diragukan kapasitasnya yang pada akhirnya menjadi kurang dapat diterima olehmasyarakat secara luas. Kondisi peran perempuan tidak lebih sebagai obyek politik.Oleh karena  itu sikap arif  dan keterbukaan dari semua pihak untuk menerima kenyataan bahwa kaum perempuan sebenarnya adalah merupakan sosok pribadi yangmenarik dan bisa mengatasi persoalan-persoalan di masyarakat. (Hendra Nurtjahjo. 2006. Filsafat Demokrasi, Jakarta: Bumi Aksara).
2.1.1        Kepemimpinan Perempuan

Kesempatan bagi munculnya  peran serta  masyarakat termasuk kelompokperempuan dalam proses pengambilan keputusan sejalan dengan pembangunannasional di negara  kita  telah terjamin. Upaya-upaya  maksimal pemberdayaanperempuan  menunjukkan        political will  dari pemerintah yang  apresiatif terhadapperkembangan pengarusutamaan gender pada  pergulatan politik nasional padakebijakan-kebijakan yang  dikeluarkan. Dalam GBHN  1999 telah mengarah bahwapemberdayaan perempuan dilaksanakan dengan: pertama, meningkatkan kependudukandan peran perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang diemban olehlembaga  yang  mampu memperjuangkan terwujudnya  kesetaraan gender. Kedua, meningkatkan kualitas peran dan kemandirian organisasi perempuan dengan  tetapmempertahankan nilai persatuan dan kersatuan  usaha  pemberdayaan perempuan serta  kesejahteraan  keluarga  dan masyarakat.  Untuk sampai ke  arah tersebut,peningkatan kualitas dari perempuan perlu mendapat perhatian yang  serius. Untukmenjawab semua itu sebagai tindak lanjutnya  adalah perlu peningkatan  partisipasi perempuan dengan beberapa hal seperti:
a.       Adanya gerakan penyadaran bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama sebagai warga Negara. Hal ini perlu dilakukan paling tidak untuk meminimalisir ketidakadilan yang  terjadi atau harapan  tertinggi untukmencapai suatu keadilan dan keseimbangan. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk menciptakan wajah baru dalam dunia kita  tentunya  wajah yang  bebasdaridiskriminasi.  Masing-masing  individu         perlu
menyadari          akankedudukannya, dan mengerti bahwa  laki-laki dan perempuan mempunyai posisi yang  sejajar dan diharapkan mampu memunculkan kesadaran bahwa antara laki-laki dan perempuan bisa memberikan kontribusi dengan porsi yangsama tanpa ada niat untuk menguasai ataumenghegemoni dari pihak laki-lakidan perasaan minder dari pihak perempuan karena  merasa  dirinya  hanya menjadi warga  Negara  kelas dua. Pada  akhirnya  nanti  tidak ditemukan  lagipihak-pihak yang merasa tersubordinasi.
b.      Salah satu jalan yang bisa ditempuh untuk melakukan hal tersebut antara laindengan mengikut  sertakan para  perempuan untuk masuk dalam proses pengambilan keputusan.  Perlu ditegaskan sekali  lagi bahwa  kesetaraanmenjadi langkah utama berjalannya proses demokratisasi karena akan muncul jaminan terbukanya akses dan peluang bagi seluruh elemen masyarakat baik itu laki-laki maupun perempuan.
c.       Gerakan pemberdayaan  perempuan ini  adalah suatu gerakan transformasi.Yang  utama  dalam  gerakan pemberdayaan perempuan adalah, dengandibukanya  peluang  dan kesempatan yang  sama bagi perempuan untuk ikut serta berperan aktif dalam seluruh kegiatan dalam masyarakat.
d.      Perlu juga adanya  penyadaran  bagi  kaum perempuan  sendiri bahwa kesempatan yang  diberikan pada  kaum perempuan harus digunakan sebaik-baiknya, hal ini dilakukan untuk membuktikan bahwa perempuan siap denganpemberian peluang  tersebut karena  selama  ini ada  suara  minor yangmengatakan bahwa  perempuan belum  mampu atau siap dengan  kesetaraangender tersebut. Hal tersebut terjadi karena  banyak dari pihak perempuantidak punya  kepercayaan diri untuk  mengaktualisasi diri. Perempuan masa depan harus mampu menunjukkan potensi aktif  dankualitas dalam dirinya guna membuka mata dunia lain bahwa perempuan mampu dan bisa.
e.       Perlunya  pemfokusan  perbaikan relasi antara  perempuan dan laki-laki. Adanya  kesadaran bahwa  kedudukan antara  laki-laki dan perempuan adalahsamasehingga tidak ada yang merasa dirinya lebih tinggi dari yang lain. Padadasarnya antara laki-laki dan perempuan adalah mitra maka perbaikan relasiini  mencakup hubungan  di segala  aspek yaitu meliputi hubungan ekonomi, politik, ekonomi sosial dan budaya.
Kepemimpinan atau leadership yang sering kita dengar sebagai sesuatu yanghanya dimiliki oleh kalangan elit atau kaum laki-laki saja, kini sudah luntur sejalandengan pergerakan dari kaum perempuan yang  concern  terhadap pengarusutamaangender. Karena  kepemimpinan yang  secara  umum  diartikan sebagai suatu kegiatan seserang  dalam memimpin, membimbing, mempengaruhi atau mengontrol pikiran,perasaan atau tingkah laku orang lain dapat dilakukan oleh kaum perempuan melalui suatu karya (kepemimpinan yang bersifat tidak langsung) atau kontak pibadi antara seseorang dengan orang  lain secara  tatap  muka  (kepemimpinan yang  bersifat langsung).

2.1.2    Hak Politik Perempuan
Secara  Yuridis formal  hak politik perempuan merupakan hak asasi sebagaimana  dimuat dalam Deklarasi Universal  Hak-Hak Asasi Manusia.  Pasal 1 intinya adalah bahwa semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat danhak-hak yang  tidak berbeda. Pasal 7 menegaskan bahwa  setiap orang  berhak atasperlindungan hukum yang sama dan Pasal 21 menentukan bahwa setiap orang berhakturut serta  dalam pemerintahan negerinya  sendiri, baik dengan langsung  maupunmelalui  wakil-wakil  yang  dipilih secara  bebas. Setiap orang  diangkat berhak atas kesempatan yang  sama,  untuk diangkat dalam jabatan pemerintahan dinegerinya (instrument Internasional Pokok Hak-Hak Asasi Manusia, 1997). Selain itu perlu diperhatikan pula bahwa  pemerintah telah meratifikasikonvensi tentang  hak politik perempuan sebagaimana  tertuang  dalam UU  No. 68Tahun 1958. Dalam UU tersebut terdapat ketentuan bahwa  perempuan berhakmemberikan suara  dalam semua  pemilihan dengan status yang  sama dengan priatanpa  diskriminasi. Selain itu UU  No.39 Tahun  1999 tentang  Hak asasiManusia khususnya Pasal 46 seara tegas memberikan jaminan keterwakilan perempuan.Atasdasar itu semua, kiranya  tidak perlu ragu bahwa  perempuan pun juga dijamin hak politiknya. Persoalan tinggal pada perempuan sendiri mau atau tidakmemanfaatkan ini. Memperhatikan tentang ruang  politik yang  sudah  terbuka  bagi kaumperempuan, maka  dapatlah dikatakan perempuan  dapat mengimplementasikan hakpolitiknya  secara  terbuka  pula. Adanya  jaminan  mengenai hak politik, memberikandampak yang sangat positif bagi pergerakan politik kaum perempuan. Dalam upayamerepresentasikan hak politik dalamketerwakilannya dalam pengambilan keputusanpolitik, maka  yang  perlu untuk dilihat bagaimanakah konteks perempuan danperwakilan  politik. Hal ini sangat perlu untuk dicermati  guna  memperhatikan lebih jauh, bagaimanakah aktualisasi perempuan dalam perwakilan politik yang  mereka jalani.
2.1.3        Perempuan Dan Perwakilan Politik
Dalam konteks politik  dewasa  ini, pergerakan politik  dalam kehidupanmasyarakat senantiasa  berkembang.  Berbagai langkah  strategis telah  diambil dalamupaya  penguatan  hak-hak politik. Dalam  proses demokratisasi, persoalanakuntabilitas menjadi prasyarat mutlak bagi terwujudnya representasi politik.Dalamrepresentasi politik, perempuan memperjuangkan keterwakilan mereka  dalampengambilan keputusan politik. Oleh sebab itu, representasi perempuan dalam politikadalah upaya penguatan hak-hak politik.Pemahaman proses perwakilan kaum perempuan yang  semakin meningkat menuntut kita untuk mempertahankan baik perspektif kesetaraan maupun perbedaan,supaya  pemahaman politik tetapseimbang. Para  wakil  perempuan bekerja  dalamkonteks di mana  harapan-harapan tidak hanya  sensitif  terhadap perbedaan seks dan gender, tetapi juga  terhadap ketidakleluasaan dalam pelbagai  arena  politik, budaya,dan proses politik ataupun capaian-capaian nyata yang  telah dihasilkan karena intervensi feminis dalam panggung  politik. Interaksi-interaksi yang  terjadi dalam karena panggung politik, termasuk meningkatnya jumlah keterwakilan perempuan.Para pelaku politik perempuan telah mengubah wacana politik.Namun, untuk melukiskan tatanan-tatanan kelembagaan dan kultural di mana perdebatan mengenai perwakilan politik perempuan dilokalisir dan untuk menelusuri kemajuan mereka melalui siklus-siklus politik secara berurutan.Berangkat pula dari pemikiran bahwa manusia memiliki  hak-hak yang melekat  pada  dirinya  semenjak ia  lahir,  karena  ia manusia, dan karenanya hak itu tidak dapat dihilangkan atau dinyatakan tidak berlakuoleh siapapun, termasuk  Negara. Hak itu berupa  pula hak-hak poliik, bahwa  setiaporang  berhak atas kebebasanberpikir; memiliki  dan menyatakan pendapatnya,berserikat  dan  berkumpul;berpartisipasi dalam pemerintahan,  termasuk  hak untuk mengambil bagian dalam pemerintahan.
Membicarakan soal politik, pada  dasarnya  kita  berbincang  tentang  power,Chusnul  Mar‟iyyah mengasosiasikan kata power tersebut dengan dua  kelompok pengertian sebagai berikut :
a.       Force, Strength, vigour  (kekuatan), might,  energy (tenaga), potency (daya), stamina  (daya  tahan), authority  (otoritas,command  (kekuasaan) control(kendali),  domination  (dominasi), omnipotence  (kemahakuasaan).Kata-kata  yang  diasosiasikan dengan power merupakan atribut  yang  sangatmaskulin. Apabila  kata-kata tersebut dihubungkan dengan women (perempuan), misalnya,  menjadi controlling  women, dominating  women,forceful  women, yang  pada dasarnya  merendahkan perempuan. Hal ini merupakan pengertian power over atau kekuasaan terhadap orang lain.
b.      Sedangkan power  dalam kelompok kata kedua  berarti: ability(kemampuan),capacitcy  (kecakapan), faculty  (kemampuan), potential(kesanggupan),                                   skill  (kepandaian). Pengertian kedua  ini  nampaknya  lebih menarik karena  lebih berhubungan dengan kekuasaan  untuk melakukansesuatu (power to), atau untuk berbuat sesuatu, daripada kekuasaan terhadap  orang lain.
            Dua kelompok pengertian power diatas adalah penunjukkan kepada gambaranpolitik itu sendiri. Keterkaitan antara  kedua  kelompok pengertian  ini  harus dilihatsebagai bahasan dari politik itu  sendiri.  Penjelasan tentang  power dalampengertian yang  telah dikelompokan ini  memberi rujukan kepada  power  dimaksud. Di dalam literature feminis, terlihat bahwa kritik pengertian dan analisis terhadap power lebihmenitikberatkan pada power over dibandingkan dengan power to. Oleh kaum feminis, kekuasaan  sering  diasosiasikan dengan  oppression  (penindasan), baik oleh individu laki-laki maupun institusi yang dikelola oleh laki-laki.Bagi mereka  yang  tertarik pada  peran perempuan dalam politik arus utama dipandang  perlu untuk tidak hanya  menggunakan arti populer  pengertian ‘politik’ tetapi juga  menggunakan dari apa  yang  bagi kaum feminis merupakan sifat politis. (Sulistyowati Irianto (ed). 2006. Perempuan dan Hukum, Menuju Hukum yang Berspektif Kesetaraan dan Keadilan. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia).Meskipun arti-arti ini  memerlukan perhatian yang  luas dalam  fungsinya. Sebagaimana yang dikatakan Lovenduski tentang politik bahwa :
“Politik terdiri dari person, proses, hubungan, lembaga dan prosedur yang membuat keputusan-keputusan  publik  berwibawa.Tidak  semua yang  disebut politik  oleh banyak  orang  dimasukkan  dalam  deskripsi politik,  tetapi deskripsi pada hal inimempunyai keuntungan yang hampirdisetujui setiap orang bahwa yang termasuk di dalamnya bersifat politis.”
            Bagi kaum feminis, yang  bersifat politis meliputi  kehidupan pribadi dankehidupan privat (domestik), yang  didasarkan atas hubungan kekuasaan yang  tidakseimbang  di mana  kaum laki-laki mempunyai lebih banyak kekuasaan  atas kaumperempuan.  Dapat diperdebatkan, dalam hal gender, lembaga-lembaga  politikmencerminkan lembaga-lembaga  privat. Namun, akhir-akhir ini  kehadiranperempuan dalam lembaga-lembaga  politik  publik telah berkembang  dan perkembangan itu oleh meningkatnya minat akan apa yang terjadi dalam peningkatanitu.Sebagaimana  umumnya  dirumuskan, pertanyaan mengenai perbedaan apa yang dihasilkan dengan  meningkatnya  representasi perempuan  dalam politik akanmengubah politik yang demokratis.  Pertanyaan ini  merupakan pertanyaan rumityang menyentuh sejumlah perhatian politis pokok.  Dua  pengandaian mendasari Lovenduski  mengenai feminisasi politik. Pertama, suatu unsur-unsur penting  dariperan-peran yang  dimainkan oleh kaum perempuan dan laki-laki dalam politiktergantung tidak hanya pada satu sama lain tetapi juga pada hakikat lembaga-lembaga politik.Lembaga-lembaga perwakilan menentukan proses-proses feminisasi politik.Kedua, cara  kaum perempuan memikirkan perwakilan politik sekurang-kurangnyasama pentingnya  dengan bagaimana  proses-prosesnya  benar-benar  berjalan. Teorifeminislah yang  mencerahi sifat gender dari perwakilan politik. Sebagaimana  yangdikatakan Lovenduski :
“The representation of women in a political system is a good test of itsclaims to  democracy.  The claims  that  women  make for  representation  areclaims  for  their citizenship  and  at  the heart of  their  engagement          with  politics.  Political representation  therefore a  fundamental feministconcern,  although  its  importance has not always been acknowledged”.
Bagaimanapun dalam demokrasi, representasi perempuan dalam sistem politik adalah ujian yang baik. Dengan adanya representasi perempuan membuat representasi klaim kewarganegaraan mereka  dan semangat keterlibatan mereka  dengan politik. Karenanya  representasi politik  adalah dasar  keprihatinan feminis.  Meskipunkepentingan itu tidak selalu diakui di masyarakat.Lovenduski  juga  mengatakan bahwa, perwakilan politik  sebuah kelompokdapat dipahami  sebagai kehadiran anggota-anggota kelompok tersebut dalamlembaga-lembaga  politik formal.  Teorinya, pada  tingkatnya  yang  paling sederhana, Lembaga-lembaga politik merupakan organisasi-organisasi, peraturan-peraturan formal dan  informal, proses dan prosedur  yang berfungsi untuk menjalankan politik, adalah bahwa  para  wakil bertindak demi  kelompok-kelompok yang  mereka  wakili (Joni Lovenduski. 2005. State Feminism and Political Representation. New York: Cambridge University Press).
Teori perwakilan politik menyebutkan bahwa para wakil mempunyaidorongan untuk mewakili kepentingan mereka  di masa  depan meskipun mereka  sendiri tidak ambilbagian dalam kepentingan itu.  Dalam perumusan seperti itu pemilihan berfungsi sebagai  sebuah pasar yang  sempurna  di mana  semua permintaan politik dibuka. Dalam prakteknya, pemilihan tidak berjalan seperti itu. Kebanyakan wakil cenderunguntuk mewakili kepentingan yang  bukan  kepentingan mereka,  hanya  bila kepentingan-kepentingan  itu  membentuk suatu minoritas yang  luas, koheren, sadar-diri dalam masyarakat. Tanpa  itu banyak kepentingan akan diabaikan. Selanjutnya lovenduski mengatakan bahwa  kaum perempuan  bukanlah  suatu kelompok kohesif, sehingga argument bahwa laki-laki dapat mewakili mereka seutuhnya jarang terjadi. Praktek perwakilan politik secara  kelembagaan  bersifat khas. Dasar-dasar yang yang mendukung perwakilan yang sama dari perempuan yang muncul dari tiga sumber utama: pertama,  prinsip-prinsip umum  demokrasi representatif  yang  diubah menjadi kerangka  konstitusi  demokrasi liberal;  kedua, system pemerintahan partai; dan ketiga advokasi feminis. Sebagaimana Phillips mengatakan: 
“The people representing  the  group  would  then  be able to  refer  back  to  thisprocess  of  collective engagement. They  would  be speaking  for  their  caucus, organization, or group, and they would be conveying the results of what might have been a very contested internal debate”
Dengan adanya  orang-orang  yang  mewakili  kelompok, maka  orang  tersebut kemudian akan dapat merujuk kembali ke proses keterlibatan kolektif. Mereka akan berbicara untuk organisasi mereka, atau kelompok, dan mereka akan menyampaikan hasil apa yang mungkin telah menjadi perdebatan internal yang sangat diperebutkan.Karenanya  gerakan-gerakan politik menjamin perwakilan  proporsional. Dalamperwakilan politik perempuan menurut Lovenduski ada dua bentuk(Anne Phillips. 1995. The Politics of Presence.  Oxford : Oxpord University Press) :
a.       Perwakilan Deskriptif
Tuntutan bahwa  kaum  perempuan seharusnya  berada  dalam pembuatankeputusan sebanding dengan keanggotaan  mereka  dalam penduduk  merupakantuntutan atas perwakilan deskriptif (kadang-kadang disebut perwakilan proporsional, penggambaran, mikrokosmik). Perwakilan deskriptif perempuan mengusulkan bahwa seharusnya  perempuan  mewakili kaum perempuan sebanding  dengan  jumlahpenduduk mereka. Tuntutan-tuntutan seperti itu menantang sistem-sistem perwakilan,di mana  banyak kelompok secara  tetap disingkirkan. Dalam perwakilan deskriptif , para  wakilnya  ada  atas nama pribadi dan hidup  mereka  sendiri dalam arti tertentuyang khas yang lebih besar dari orang-orang yang mereka wakili‟ (Mansbridge 1999). Perwakilan deskriptif sulit terwujud karena  menuntut keterampilan.  Sedangkanketerampilan itu sendiri tidak dapat didistribusi secara sama.
b.      Perwakilan Substantif
Konsep perwakilan  substantif menyarikan isi  dari keputusan-keputusan para
wakil. Perwakilan substantif dari suatu kelompok secara paling sederhana dilukiskan sebagai perwakilan kepentingan-kepentinganya.  Dalam berbagai keadaan politik, perwakilan kepentingan  seseorang  mungkin lebih penting  daripada  perwakilankelompoknya.  Artinya,  setelah pemilihan pertama  pasca  hak pilih perempuandiberikan, kaum feminis mungkin lebih memilih para pendukung isu-isu perempuan,apapun jenis kelaminnya, daripada  memilih perempuan yang  tidak mendukung  isu-isu feminis.  Perwakilan substantif mengarahkan perhatian pada  idemengenai kepentingan.
Dalam politik identifikasi kepentingan itu kontroversial. Teori feminisdengan sangat hati-hati  menyadari bahwa  kelas,  ras, etnis, seks, kemampuan fisik, status perkawinan, keibuan, dan agama memecah belah perempuan sekaligus menjadisumber penting  bagi identitas dan kepentingan  mereka.  Kesulitan-kesulitan untuk menempatkan kaum perempuan dan kepentingan-kepentingan mereka  ini  ke  dalamteori-teori arus utama  mengenai perwakilan  politik menunjukkan kompleksitasnya proyek untuk mengintegrasikan kaum perempuan ke dalam wacana politik. Ada tiga macam argumen yang diajukan untuk mendukung tuntutan atas  perwakilanperempuan: argumen keadilan, argument pragmatik, dan argumen perbedaan.
a.       Argumen Keadilan
Argumen yang  paling  kuat untuk mendukung bertambahnya  perwakilanperempuan adalah argumen yang didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan.Argumentersebut menyatakan bahwa  sangatlah tidak adil jika  kaum laki-laki memonopoli perwakilan, terutama di suatu Negara  yang  menganggap diri sebagai  negara demokrasi modern. Argumen-argumen tambahan mengenai kodrat perwakilan dapatmengaburkan inti pokok itu, tetapi argumen-argumen tambahan itu tidak pernah dapat mebalikkannya. Argumen keadilan juga didukung oleh klaim-klaim dari kewargaan. Kewargaan merupakan sekumpulan hak, kewajiban, alat kelengkapan, dan identitasyang  membentuk milik seseorang  dalam sistem politik. Dalam istilah-istilahkonstitusional, perempuan secara  formal mempunyai  kewargaan  yang  sama denganlaki-laki dalam sistem demokatis.

b.      Argumen Pragmatis
Argumen pragmatis memanfaatkan  gagasan mengenai para  politisi rasional yang memaksimalkan jumlah suara. Hal ini didasarkan pada keuntungan- keuntungan partai-partai politik untuk meningkatkan jumlah wakil  perempuan mereka.  Parapendukung  menyoroti pentingnya  pemilih perempuan terkait  dengan  suksesnyapemilihan. Para pendukung argumen pragmatis mengajukan klaim bahwa perempuanlebih cenderung  memberikan ssuaranya  pada  partai-partai yang memilih kandidat perempuan.  Mereka  memanfaatkan argumen-argumen perbedaan untuk mempertahankan bahwa perempuan memiliki, pengalaman-pengalaman dan kepentingankepantingan khusus yang  dapat dimengerti dan  diwakili  oleh perempuan.  Mereka berpendapat  bahwa  gambaran  parta  maskulin bersifat ketinggalan zaman  dan tidakmenarik bagi pemilih perempuan. Menurut logika ini, meningatnya  perwakilanperempuan akhir-akhir ini akan mengarahkan ke proses-proses persaingan penawaranbagi dukungan perempuan yangmenyebabkan partai mana  pun tidak dapat tinggaldiam kalau berharap sukses dalam pemilihan. Argumen pragmatis  membuat keutamaan yang lain dengan berpendapatbahwa  melalui  keterlibatan  perempuan, politik akan menjadi lebih konstruktif danramah. Ini tentu saja  merupakan klaim etika  publik  kontroversial, tetapi memiliki dasar tertentu.  Suatu saat ketika  publik muak dan tidak percaya  kepada  rapat-rapatpolitik yang penuh permusuhan, ada pendapat bahwapeningkatan kaum perempuandapat memberikan  pengaruh yang  sangat menguntungkam pada  lembaga-lembagapolitik.
c.       Argumen perbedaan
Kumpulan argument ketiga  didasarkan pada  konsep-konsep perbedaan Argumen pokoknya  adalah bahwa perempuan akan membawa gaya dan pendekatanyang  berbeda  dalam politik yang  akan mengubahnya  menjadi lebih baik, suatupengaruh yang  menguntungkan semua pihak. Suatu cara  yang  berguna  untuk  menyelidiki akibat dari perbedaan gender bagi kewargaan adalah mempertimbangkanwarga Negara universal, pelaku politik yang terlepas dari teori demokrasi tradisional. Interaksi hubungan gender dan perbedaan sosial mempunyai pengaruh penting padakekuasaan politik dari macam-macam kelompok perempuan maupun  laki-laki. Baik dasar mereka dalam argumen perbedaan maupun pengaruhnya pada sumber-sumberdaya  dari macam-macam kelompok perempuan  dan laki-laki yang  menuntut  untukmemperhitungkan ketidakadilan yang tertanam dalam kewargaan.
Ketika  kewargaan perempuan dipertanyakan kenapa  terjadi penyingkiran, maka Ruth Lister berpendapat bahwa penyingkiran kaum perempuan dari kewargaan,sebagian merupakan produk dari kategorisasi esensial kemampuan dan kualitas laki-laki dan perempuan.  Ia  menuliskan bahwa  individu tanpa  tubuh yang  secara  aktual laki-laki tetapi secara  formal abstrak, yang  dulu adalah warga  dari teori politik dan hukum konstitusional yang begitu lama ada hanya karena perbedaan antara kehidupanpublik dan kehidupan privat membuat pemisahan yang tidak dapat diseberangi olehkaum perempuan. Kaum perempuan yang telah disingkirkan ke ruang privat menjadipendukung yang  tidak tampak dari kehidupan publik melalui  persediaan  perhatian,reproduksi, dan pekerjaan lain secara gratis. Salah satu akibat dari pemisahan sepertiitu adalah bahwa  perempuan tidak muncul dalam kehidupan publik, tanpa mempertimbangkan apa yang telah dibuat perempuan dalam kehidupan publik.
Thus, forexample, paid work has represented an emancipatory path to citizenship for many women, providing them  with more  or less economic  independence  and access to social citizenship rights
Kaum perempuan mendapatkan apa yang telah mereka lakukan diruang publik yang telah mewakili jalur emansipatoris kewarganegaraan, dan mereka dilihat sebagaiyang kurang kemandirian  ekonomi  dan akses  ke  hak  kewarga  negaraan  sosial. Serangkaian  kebiasaan yang menggelikan  terjadi  karena  ketidakhadiran  perempuan.Tubuh tidak mempunyai  tempat dalam mayarakat sipil,di  mana  untuk hadir orangharus mengatasi kenyataan bertubuhnya sendiri, sesuatu yang dianggap hanya dapatdilakukan oleh laki-laki tetapi bukan oleh perempuan. Maka  pengakuan perempuan pada  kewargaan merupakan pengakuan pada  ruang  publik dalam pengertian yang berbeda  dari laki-laki karena  hal itu berarti bahwa  keniscayaan yang  tidak tampakdari peran yang sampai saat itu dimainkan kaum perempuan dalam kehidupan privat harus diperhitungkan. (Ruth Lister. 2007. Gendering Citizenship In Western Europe,(Policy Press).
2.2      Perwakilan  Politik  Perempuan  Dalam  Feminisasi Politik
Lovenduski  mengatakan bahwa  Pembedaan  dalam masalah-masalahperwakilan politik kurang jelas dibanding di bidang-bidang advokasi perempuan lain. Ini disebabkan oleh tatanan perwakilan politik yang berkembang melalui kompromi dan kesepakatan di mana  ide-ide dan hak-hak saling  tumpang  tindih dan definisi-definisi  asli  dikaburkan.  Pengaruh yang  berbeda-beda  dari kedua  dasar  feminism kadang-kadang  dianggap tegas. Bagi banyak  pengkritik, sikap kesetaraan menyarankan  bahwa  klaim-klaim perempuan untuk perwakilan politik, bila  berhasil, akan mengubah mereka  menjadi laki-laki  politik. Sebaliknya, sikap  perbedaanmemuat akibat bahwa, dalam jumlah yang  cukup, kehadiran para  wakil  perempuan akan mengubah praktek dan hakikat politik.  Di satu pihak, sesuai dengan argument-argumen perbedaan para feminis menentang pemisahan antara kehidupan publik danprivat, sekurang-kurangnya  dalam teori, yang  merupakan  batas antara politik dan kegiatan-kegiatan lain. Selanjutnya dapatlah dilihat bahwa dalam argumen yang pertama, perwakilanpolitik perempuan mengharuskan runtuhnya pemisahan antara yang publik dan yang privat, itu terjadi karena  munculnya  perubahan  dalam kelembagaan.  Sedangkanmenurut argument  yang kedua, klaim-klaim atas perwakilan perempuan dipenuhioleh keterlibatan  jumlah perempuan yang  memadai dalam lembaga-lembaga  yangsudah  ada.  Kehadiran  yang  melibatkan penerimaan akan peraturan  permainan yangsudah ada, dituntut bila peraturan yang baru harus dibuat. Kesetaraan diperlukan bilaperbedaan harus dikompensasi dan perbedaan harus diakui bila  kesetaraan harusdicapai. Elizabeth Frazer mengemukakan bahwa:
“Konsepsi gender,  baik  yang  implisit maupun  eksplisit, dalam  pelbagai sistem pemikiran  itu  bukanlah  unsur  kebetulan,  melainkan  unsur  yang  penting,  dan bukan  pula unsur  yang  tidak  bermakna.  Seluruh  analisis  bersifat preskriptif (analisis  itu  mengemukakan  gagasan  sistematis  tentang  bagaimana  masyarakat seharusnya diatur).Namun  demikian,  gagasan-gagasan  itu  merasuk,  walaupun secara tidak sempurna, ke dalam konstitusi, sistem hukum, dan lembaga-lembaga sosial politik lainnya, serta ke dalam budaya popular dalam masyarakat.Dengandemikian, bisa dikatakan bahwa gagasan-gasan itu bersifat konstitutif”
Untuk itu dalam membentuk teori politik feminis, seringkali fenomena social yang berada  di luar wilayah kerja  Negara  dan lembaga  politik konvensional harusdipertimbangkan. “cara  hidup” dan “tradisi”  merupakan  hal yang  sangat pentingkarena keduanya seringkali merugikan kepentingan perempuan. Secara khusus, nilai-nilai yang berada di pusat relasi seksual tradisional memiliki arti penting; dan bukanhanya nilai-nilai dan gagasan-gagasan, namun juga berbagai praktik-yakni cara-caramelakukan sesuatu yang diterima begitu saja. Kaum feminis telah telah memusatkanperhatian pada  posisi perempuan dalam pasar kerja  dan property, namun mereka melihat hal ini terkait dengan posisi perempuan di dalam “dunia domestik”. Elizabeth Frazer menunjukkan   secara  positif, bahwa  teori politik feminis melibatkanpembuatan model dan penelitian empiris mengenai hubungan antar pelbagai peristiwadan perubahan dalam  pemerintahan Negara  dan  kebijakkan pemerintah,  perubahan dalam hukum, dalam hubungan sosial. (Stevi Jackson  &  Jackie  Jones  (ed). 1998. Pengantar  Teori-Teori Feminis  Kontemporer . Yogyakarta: Jalasutra).
Dalam kaitannya  dengan feminisasi politik,  Lovenduski  mengemukakan beberapa kendala yang menyebabkan kurangnya keterwakilan politik berjalan maju, meskipun banyak di antaranya  masih diusahakan.  Meskipun terdapat perbedaan-perbedaan regional yang  berarti, kurangnya  perwakilan perempuan merupakankenyataan hidup yang menghiasi semua jenis tatanan lembaga dan budaya. Sehingga kenyataan ini  merupakan salah satu dari sedikit  generalisasi yang  aman  dilakukan terkait dengan posisi perempuan. Perempuan mengalami tiga rintangan sosial utama untuk menjadi pelaku politik. Pertama sumber daya yang diperlukan untukmemasukipolitik yang  mereka  miliki lebih lemah. Kedua,  bermacam-macam kekangan gayahidup mengakibatkan  perempuan mempunyai sedikit waktu untuk politik. Keluargadan kewajiban-kewajiban lain yang menuntut perhatian penuh secara khas dijalankanoleh perempuan mengurangi waktu mereka  untuk kegiatan lain-lain. Ketiga, tugas politik dikategorikan sebagai tugas laki-laki, yang  menghalangi kaum perempuanmengejar  karier politik dan juga  merintangi rekruitmen mereka  yang tampil  ke depan.
Selanjutnya Lovenduski hukum yang mengatur perekrutan hanya merupakan bagian dari proses, yang juga dipengaruhi oleh pelbagai institusi, yang menjalankan perekrutan. Lembaga-lembaga  yang  mempengaruhi tingkat  dan hakikat perwakilan perempuan mencakup partai-partai politik, majelis-majelis terpilih,  dan bermacam-macam kelompok penekan dan gerakan-gerakan  sosial, termasuk gerakan-gerakan perempuan.Untuk itu maka feminisasi partai-partai politik penting bagi keterwakilan perempuan.(Feminisasi Politik,  adalah  suatu  keadaan  ketika perempuan  dilibatkan  dan iintegrasian    dalam  manifestasi mereka di lembaga-lembaga politik dan dalam proses penting tetapi secara luas dianggap tidak menarik)
 Partai-partai  politik  telah menjadi pengantar bagi kehadiran perempuan pada jabatan yang dipilih.  Partai-partai politik melembagakan ide-ide mengenai politik yang mempunyai implikasi gender.  Idiologi-ideologi partai merupakan dasar  reputasi  mereka  yangberkelanjutan dan bersifat mendasar bagi kepercayaan para  pemilih dan anggota. Sebagai lembaga, partai-partai mampu meneruskan cita-cita  dari satu generasi ke generasi berikutnya. Lembaga-lembaga  sekaligus mampu menciptakan hasil-hasil politis dan melanjutkan sikap dan  tingkah  laku ke  masa  depan karena  mereka dibentuk oleh identitas-identitas kaum laki-laki dan perempuan yang  menjadi anggota-anggotanya. Namun dalam hal ini partai-partai politik berbeda satu sama laindan bervariasi lintas waktu dalam hal bagaimana imbangan faktor-faktor persediaan dan permintaan mempengaruhi perempuan. Di dalam semua partai rintangan bagiseleksi perempuan dapat dijelaskan dengan seksisme institusional. Selain itu menjadi seorang kandidat merupakan proses yang mahal. Perempuan tidak hanya mempunyaisumber daya  yang  lebih  sedikit untuk menutup biaya  semuanya  itu; mereka  jugamemasukkan tambahan biaya, dengan sumber dukungan yang lebih sedikit.
Selain faktor-faktor diatas yang  merupakan kendala bagi perempuan dalam dunia politik, maka ada faktor-faktor yang timbul dari perempuan itu sendiri dalam hal ini disebut faktor internal yang berpengaruh pada rendahnya partisipasi perempuan dalam bidang politik sebagai berikut :
a.       Adanya anggapan di kalangan perempuan bahwa politik itu penuh kekerasan sehingga  dipandang sebagai dunianya  laki-laki, sehingga  perempuan enggan berkecimpung di dalamnya.
b.      Banyak perempuan tidak senang berorganisasi.
c.       Perempuan kurang  memanfaatkan potensi yang  ada  dalam dirinya  bahkan perempuan sendiri kadang-kadang  menenggelamkan dirinya  dalam dunia domestik sibuk dalam tugas-tugas rumah tangga.
d.      Perempuan sering  kurang  percaya  diri, sehingga  tidak siap mental dan psikologis untuk memasuki  dan melaksanakan fungsi-fungsi jabatan sebagaiperumus kebijakan maupun pengambil keputusan.
Penetapan strategi-strategi untuk meningkatkan perwakilan politik perempuandalam demokrasi modern merupakan suatu proses di mana ide-ide mengenai keadilandijadikan dasar bagi kesamaan politik. Prosesnya tidaklah harus linier dalam jangkapendek, tetapi dalam jangka tertentu. Menurut Lovenduski secara luas, terdapat tiga strategi yang  ada: retorika  tentang  kesamaan dan jaminan atau diskriminasi positif atas kesamaan. Retorika  tentang  kesamaan merupakan penerimaan publik terhadapklaim-klaim kaum perempuan.  Namun selanjutnya  ia mengatakan bahwa  retorisbelumlah cukup mempunyai kebijakan-kebijakan bagi sebuah perubahan. 
Promosi berkaitan dengan kesamaan mencoba membawa kaum perempuan ke dalam persaingan politik dengan menawarkan pelatihan khusus dan bantuankeuangan, dan menetapkan target-target bagi kehadiran perempuan dan tindakan-tindakan lain untuk memungkinkan kaum perempuan tampil  ke  depan. Jaminan-jaminan kesamaan atau diskriminasi positif menghilangkan tuntutan bagi wakil-wakilperempuan.Dalam strategi-strategi seperti itu tempat-tempat disediakan secara khusus bagi perempuan dalam daftar pemilihan dan dalam badan-badan perwakilan.Kebijakan-kebijakan untuk meningkatkan kehadiran kaum perempuan adalah bersifatpermisif, suka rela atau harus dilakukan dan kebijakan-kebijakan  itu dapat memberikan peluang-peluang atau jaminan-jaminan.
Kebijakan-kebijakan yang  bersifat permisif menyingkirkan rintangan-rintangan formal bagi perwakilan perempuan seperti eksklusi-eksklusi secara  legal.Kebijakan-kebijakan itu  juga  dapat menyingkirkan larangan-larangan  mengenaipenggunaan kebijakan-kebijakan sukarela atau keharusan.  Kaum perempuan mendapat manfaat dari sistem daftar partai perwakilan proporsional karena pertama, partai-partai yang menampilkan daftar-daftar mempunyai insentif untuk menampilkan daftar kandidat yang secara sosial seimbang dengan para pemilih; hal itu menjadikanmereka “kelihatan” lebih refresentatif.Kedua, pengaruh-pengaruh pemegang jabatan sedikit lebih lemah, maka sedikit lebih banyak kekosongan yang dihasilakan. Ketiga, daftar partai membantu  kuota karena  memberikan lebih banyak kesempatan untuk melibatkan perempuan tanpa mengeksklusikan laki-laki, sementara dalam pemilihanberanggota tunggal di mana  partai-partai dapat menominasi hanya  satu kandidatpartai-partai harus memilih antara  perempuan dan laki-laki.Kuota  adalah contoh dari jaminan kesamaan.
Bentuk yang  digunakan  kuota tergantung  pada  konteks institusional dankultural yang  pada  akhirnya  menentukan kuota  itu sendiri.  Sedangkan pelaksanaankuota tergantung  kepada  pada  peraturan-peraturan yang  ada  dalam diri partai itu sendiri. Tergantung  pada  sikap normatif dan kalkulasi-kalkulasi partai  mengenaimanfaat . Ketika kuota itu sendiri tidak dilaksanakan, maka yang akan terjadi adalah kuota menjadi jenis  lain  dari retorika  kesetaraan, bagian  dari proses  tetapi belummenjadi sebuah solusi. Penggunaan kuota menunjukkan bentuk yang  diambil terbatasi secara kelembagaan atau tergantung kepada cara. 
sIde-ide mengenai eksistensi perwakilan perempuan dalam politik memuatprosesperjalanan  dari  pergerakan  politik perempuan yang  sudah  sejak lama diperjuangkan. Bahkan kuota sebagai wadah yang memfasilitasi hak-hak perempuan dalam berpolitik adalah  sebuah hasil  yang  memberikan kesempatan politik bagiperempuan itu sendiri.  Menyoroti  gagasan tentang  posisi perempuan dalam perwakilan politik di Indonesia, maka  akan dilihat bagaimana  posisi perempuandalam bidang  politik dalam persfektif hukum dan politik. Bagian  ini  tentunya  akanmemberikan wawasan politik yang berkenaan dengan poltik keterwakilan perempuandi Indonesia. 
2.3      Perempuan Dalam Perspektif Hukum Dan Politik
Dalam konteks  Indonesia, perkembangan  politik  keterwakilan perempuan arahnya  semakin jelas,  itu dengan ditetapkannya  UU  yang  mengatur kejelasan
keterlibatan perempuan dalam kancah politik yang  tertuang  dalam UU  No 2 Tahun 2008 dan UU No 10 Tahun 2008.
1.      Perspektif Hukum Dan Politik UU No 2 Tahun 2008Tahun 2008 diawali  dengan  sebuah  sejarah yang baru  dalam keputusanNegara  mengenai perpolitikan di negeri ini.  Pada  4 januari 2008 diundangkannyaUndang-undang  partai politik dengan UU  No 2 Tahun 2008 tentang  partai politikmelalui  LN No 2 Tahun 2008.  Berbagai hal  diatur  di dalam undang-undangsebelumnya, yakni UU  No 31 Tahun 2002. Antara  lain,  pengaturan pembentukanPartai Politik; Ketentuan Perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga;Asas dan ciri Parpol, serta tujuan dan fungsinya.
Salah satu hal mendasar dalam UU No 2 Tahun 2008, adalah syarat menjadibadan hukum atas suatu partai politik. Disyaratkan bahwa untuk menjadi suatu badanhukum, parpol harus memiliki kepengurusan,  sedikitnya  60% dari jumlah propinsi,50% dari jumlah kabupaten/kota pada setiap propinsi yang bersangkutan. Sementarauntuk kecamatan, harus memiliki  kepengurusan setidaknya  25%  dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota pada daerah yang bersangkutan.
Syarat badan  hukum dalam hal jumlah kepenguruan pada  UU  No 2  Tahun 2008 lebih diperketat, yakni sedikitnya memiliki 60% dari umlah propinsi. Pada UU  No 31 Tahun 2002, hanya disyaratkan sedikitnya memiliki 50% dari jumlah provinsi.Untuk kepengurusan pada jumlah kabupaten/kota dan kecamatan, hal demikian tidakberbeda dengan UU No 31 Tahun 2008.Baik pada UU No 2008 maupun UU sebelumnya, syarat untuk menjadi badanhukum dari suatu partai politik, harus memiliki kepengurusan paling sedikit 50% darijumlahkabupaten/kota pada setiap propinsi yang bersangkutan, dan 25% dari jumlahkecamatan pada  setiap kabupaten/kota pada  daerah yang  bersangkutan.  KetentuanUU NO 2 Tahun 2008 juga menentukan, pengesahan Parpol menjadi badan hukum dilakukan dengan keputusan Mentri Hukum  dan HAM,     paling lama 15 hari  sejakberakhirnya proses penelitan dan/verifikasi. Hal ini berbeda  dengan UU  No 32Tahun 2002, karena  UU  selama  ini  menentukan  pengesahan parpol sebagai badanhukum, dilakukan oleh Menteri Hukum dan HAM selambat-lambatnya 30 hari setelah penerimaan pendaftaran.
Dalam masalah kesetaraan gender, diatur secara  tegas dengan  menentukan tindakan keperansertaan perempuan, berupaya  sedikitnya  30% keterwakilanperempuan dalam suatu parpol. Begitu pula dengan jumlah kepengurusan perempuansedikitnya  30%  di tingkat propinsi dan kabupaten/kota.  Hal ini  harus dinyatakandalam AD dan ART suatu partai.
Dari pinsip-prinsip yang terkandung  UU  No 2 Tahun 2008 ini  diharapkanmampu mengeksistensikan setiap partai politik menjadi parpol yang tangguh. Lebihmampu menjadi agen pembaruan sosial dan kehidupan politik yang sehat, baik secarainternal maupun dalam peran eksternalnya di tengah bangsa  Indonesia yang sedangmenapaki langkah ke arah demokratisasi yang kuat.
2.      Perspektif Hukum Dan Politik UU No 10 Tahun 2008UU No 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Daerah dan DewanPerwakilan Rakyat Daerah, merupakan penganti  UU  no 12 tahun 2003. UU  No 12tahun 2003 sebelumnya  juga  telah mengalami perubahan sebagaimana  telah diubahterakhir dengan  UU  No  10 tahun 2006  tentang Penetapan  Peraturan Pemerintahpengganti Undang-Undang No 1 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang  Nomor  12  Tahun 2003 tentang  Pemilihan Umum Anggota DewanPerwakilan Rakyat, Dewan perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menjadi Undang-Undang. UU No 12 Tahun 2003 sudah tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan,  dan dinamika demokrasi masyarakat, maka  kemudian digantikan dengan UU No 10 Tahun 2008.
Sebagaimana  sebelumnya  pada  UU No  12 tahun 2003, dalam  UU  No 10 Tahun 2008 diatur  berbagai hal mengenai Pemilu.  Antara  lain, mengenai asas,pelaksanaan dan lembaga penyelenggara Pemilu; Peserta dan Persyaratan mengikutiPemilu; kemudian mengenai peraturan hak-hak untuk memilih. Kemudian diatur puladalam UU  No 10 Tahun 2008 ini  mengenai jumlah kursi dan daerah pemilihan anggota  DPR, Penyusun Daftar pemilih; dan bagaimana  pencalonan anggotaDPR,DPD,DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Dalam hal ini, sistem keterwakilan perempuan  juga  menjadi bagian dari UU  No 10 Tahun 2008.  Sistem keterwakilan  politik perempuan dikaitkan  dengan  Affirmtive Actions, sebagai langkah solusi mengejar keterbelakangannyadari kaum pria. 
Selanjutnya  di dalam UU  ini  diatur  mengenai kampanye; pengaturanpemungutan  suara, begitu pula perlengkapan mengenai pemungutan suara, begitupula perlengkapan mengenai pemungutan  suara, perhitungan suara,  dan demikian penetapan hasil pemilu. Selanjutnya mengenai penetapan perolehan kursi dan calonterpilih.  Hal ini  diatur  mengenai pemungutan  suara  ulang  dan  penghitungan  suaraulang; begitu pula mengenai kemungkinan pemilu lanjutan  dan pemilu susulan. Selain itu diatur pula dalam, undang-undang ini mengenai pemantauan Pemilu.
Mengenai keterwakilan perempuan  dalam UU  No 10 Tahun  2008, terdapatkemajuan secara signifikan dibandingkan dengan undang-undang sebelumnya, yakni baik UU No 12 Tahun 2003 maupun UU No 31 tahun 2002 tentang Parpol. UU No10 Tahun 2008 merupakan tindak lanjut dari sistem politik mengenai keterwakilanperempuan  (dalam kepengurusan partai) sebagaimana  ditentukan pada  UU  No 2tahun 2008 tentang Partai Politik. 
Demikianlah dalam UU No 10 Tahun 2008, politik keterwakilan perempuanditeruskan dan diwujudkan dalam rangka  pemilihan wakil-wakil  rakyat, baik di tingkat pusat (parlemen) maupun di tingkat daerah (DPRD). UU NO 10 Tahun 2008ini  sangat penring artinya  bagi realisasi politik keterwakilan  perempuan (feminisasi politik).  Karena  meskipun sedemikian baiknya  sistem keterwakilan perempuan dilaksanakan di tingkat parpol (pembentukan dan kepengurusan parpol), namun jika tidak diwujudkan dalam fase  selanjutnya  secara  eksternal dalam bentuk pencalonan anggota legislatif, asas keterwakilan demikian adalah tidak bermakna apa-apa.
Maka UU  No 10 Tahun 2008 menentukan, bahwa bagi setiap parpol, hanya bisa mengikuti atau menjadi peserta pemilu, haruslah memenuhi persyaratan, antaralain menyertakan sekurang-kurangnya  30% keterwakilan.  Tanpa  dipenuhinya persyaratan keterwakilan  perempuan oleh setiap partai, tidak akan diterima sebagai Parpol peserta Pemilu. Mengenai sistem keterwakilan perempuan menuut UU No 10tahun 2008, dapat dilihat pada pasal 53 sampai pasal 58 UU No 10 Tahun 2008. Pasal53 mengatakan bahwa:
“Daftar  bakal calon  sebagaimana dimaksud  dalam  Pasal  52  memuat paling  sedikit  30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan”.
Pasal 52 mengatur hal penyusunan bakal calon legislatif (caleg). Pasal 52 ini menentukan bahwa bakal caleg disusun dalam daftar bakal calon oleh parpol masing-masing  (ayat 1): bakal caleg  anggota DPRD ditetapkan oleh pengurus partaipolitikpeserta  pemilu tingkat pusat: bakal caleg  anggota  DPRD provinsi ditetapakan olehpengurus Partai Politik  Peserta  Pemilu tingkat provinsi;  dan bakal caleg  anggotaDPRD kabupaten/kota ditetapkan oleh pengurus Partai politik Pesera Pemilu tingkatKabupatn/Kota. Nama-nama bakal caleg  ini  di susun berdasarkan no urut. MenurutPasal 55 ayat (2) ditentukan secara tegas bahwa:
“Di dalam daftar bakal calon sebagaimana imaksud pada ayat (1), setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1(satu) orang perempuan bakal calon”.
Penentuan calon anggota legislatif  perempuan  sebanyak minimal 30  %,seperti disebutkan  di atas, dilakukan melalui  sistem Zipper System atau zig-zag. Caleg perempuanditempatkan dalam daftar caleg dengan komposisi  1  diantara  3nama, atau setiap  3 nama yang ada,  terdapat 1 caleg perempuan.  Penempatan ini tentunya dimulai dari nomor urut terkecil hingga nomor urut besar.
Apa yang disebut Affirmative Action, telah dituangkan pada Pasal 53 sampaidengan pasal 58 UU  No 10 Tahun 2008.           Affirmative  Action, dimekanisme  melalui ketentuan-ketentuan yang  memungkinkan adanya  semacam tindakan khusus kepadakaum perempuan dalam  penentuan calon legislatif. Pasal 53s/d58 juga merupakanaplikasi secara  nyata  dari jiwa  UU No 10  Tahun 2008 yang  tidak  bias gender,malahan memberikan kesempatan seluas-luasnya  bagi semua golongan dan lapisanuntuk memilih dan dipilih pada kesempatan pemilu yang ditentukan.
Affirmative  action  adalah merupakan  upaya  jalan keluar  dari permasalahankaum perempuan atas ketertinggalannya.  Affirmative  Action  dikatakan juga  sebagaipengecualian demokrasi.  Karena  sifatnyakekecualian, maka  tindakan khusus ini, terkadang disebut pula diskriminasi positif . Disebut diskriminasi positif, karena demi memperhatikan pemberdayaan kaum perempuan dalam politik, arti demokrasi dalam politik tersebut seakan menjadi tidak tampak,  namun kebijakan  khusus demikian masih dapat dinilai positif sebagai langkah mengatasi kesenjangan gender.
Dilihat baik UU No 2 Tahun 2008 tentang Parpol maupun UU No 10 tahun 2008 tentang  Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, DewanPerwakilan Daerah, dan  Dewan Perwakilan rakyat daerah, merupakan instrument hukum yang revolusioner dalam kancah perpolitikan di Indonesia.




BABIII
PENUTUP
1.1  Kesimpulan
Peran perempuan dalam Sistem Politik Indonesia sudah ada sejak penjajahan belanada dimana mereka berjuang dan berpartisipasi melalui Organisasi gerakan-gerakan perempuan.Perempuan pun telah diakui haknya dalam politik, baik hak pilih dalam pemilihan umum  1955, maupun juga  duduk sebagai anggota  parlemen.Namun jumlah perempuan dalam partisipasi politik masih kurang.Hal ini disebabkan perempuan mengalami tiga rintangan sosial utama untuk menjadi pelaku politik. Pertama sumber daya yang diperlukan untuk memasuki politik yang  mereka  miliki lebih lemah. Kedua, bermacam-macam kekangan gaya hidup mengakibatkan  perempuan mempunyai sedikit waktu untuk politik. Keluarga dan kewajiban-kewajiban lain yang menuntut perhatian penuh secara khas dijalankan oleh perempuan mengurangi waktu mereka  untuk kegiatan lain-lain. Ketiga, tugas politik dikategorikan sebagai tugas laki-laki, yang  menghalangi kaum perempuan mengejar  karier politik dan juga  merintangi rekruitmen mereka  yang tampil  ke depan.












Komentar

Postingan populer dari blog ini

Budaya Populer

Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Kemajuan teknologi baik dalam bidang teknologi, baik dalam bidang teknologi informasi maupun teknologi transportasi mendorong munculnya produk-produk kebudayaan baru dalam masyarakat. Dalam beberapa masyarakat, ada produk kebudayaan yang terus dipertahankan dari masa ke masa yang tidak boleh diubah. Adanya kebudayaan-kebudayaan baru yang masuk dalam suatu masyarakat tidak lepas dari peran komunikasi dan bisanya proses komunikasi yang terjadi melibatkan media massa karena daya jangakaunya lebih luas. Salah satu wujud kebudayaan yang dihasilkan dengan adanya keterlibatan media massa adalah kebudayaan massa atau mass culture dan kebudayaan popular atau pop culture . Berbagai wujud pop culture ada disekitar kita seperti gaya berbusana, makanan, music dan film. Tak bisa dipungkiri lagi, keberadaan pop culture mewarnai kehidupan sosial kita. Bila kita amati berbagai wujud pop culture yang ada disekitar kita memang tidak lepas dari peran media

ANALISIS SWOT dan COMPANY PROFILEPT. Frisian Flag Indonesia

Bab I 1.1   Latar belakang Industri produk berbasis susu di Indonesia berkembang cukup pesat. Hal ini ditandai dengan bermunculannya inovasi – inovasi baru di bidang pengolahan produk berbasis susu. Demikian pula dengan komposisi dan kemasannya, dibuat menarik perhatian dengan harga terjangkau. Selain itu, hal ini juga semakin teredukasinya dan meningkatnya kesadaran masyarakat Indonesia akan pentingnya mengkonsumsi susu setiap hari. Indoneia memiliki ladang yang baik untuk peternakan sapi sehingga akan menghasilkan susu yang berkualitas tinggi. Kini, produk susu termasuk produk yang sangat dibutuhkan semua orang, baik tua maupun muda. Fakta inilah yang akhirnya mendorong para pelakunya lebih giat merebut hati konsumen. Setidak-tidaknya, produk ini dibutuhkan oleh 150 juta penduduk Indonesia. Populasi dunia meningkat dengan cepat, daya beli meningkat, sementara pada saat yang sama, makanan, bahan baku, dan energi berada dalam pasokan pendek. Ini memberi Frisian Flag Indonesia,

KONFORMITAS DALAM KELOMPOK

BAB I PENDAHULUAN 1.1        Latar Belakang Individu sebagai kesatuan organik yang terbatas memiliki karakter dan sifat yang berbeda satu sama lain. Manusia sebagai makhluk sosial akan membentuk sebuah kelompok untuk tetap bertahan hidup dan mencapai suatu tujuan tertentu. Kelompok adalah sekumpulan orang yang mempunyai tujuan bersama yang berinteraksi satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama, mengenal satu sama lainnya, dan memandang mereka sebagai bagian dari kelompok tersebut. Dalam sebuah kelompok terdapat orang-orang dengan latar belakang yang berbeda, memiliki kemampuan dan kelemahan yang berbeda, sehingga perbedaan ini akan menjadi kekuatan besar dalam suatu kelompok untuk mengambil suatu keputusan-keputusan terbaik dan kondisi ini akan memperkuat induvidu anggota kelompok dalam menutupi kelemahan-kelemahannya. Dalam kelompok terdapat kepercayaan tertentu (norma) yang cenderung akan diikuti oleh seluruh individu yang ada dalam kelompok tersebut. Kelompok juga da