BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Perspektif Teoritis Relasi Militer dan Politik
Relasi militer dan politik dalam sebuah negara memang tidak akan bisa dilepaskan dari karakteristik sistem politik yang diterapkan di negara tersebut. Di negara yang menganut sistem politik yang otoriter, dimana kekuasaan penguasa dipaksakan secara represif kepada seluruh warga negara, serta di negara totaliter, dimana penguasa mengatur berbagai hal mengenai khalayak, mulai dari yang bersifat privat hingga yang paling publik, peran militer dalam kehidupan politik sangat besar. Pada kondisi tersebut militer memiliki kekuasaan yang sangat besar, bahkan merupakan pengusa itu sendiri. Hal ini dapat diamati dengan cermat pada negara yang dipimpin oleh junta militer (Marijan, 2011:243).
Peran militer yang besar dalam kehidupan politik memang tidak bisa dipisahkan dari sistem politik yang dianut oleh suatu negara. Pertanyaan yang muncul kemudian seperti, bagaiamana peran militer dalam sebuah negara yang menganut sistem politik yang demokratis, atau ada dalam masa transisi menuju sistem politik yang demokratis. Beberapa pakar mengatakan bahwa peran militer dalam sebuah negara yang menganut sistem politik yang demokratis menempatkan militer dibawah supremasi sipil. Hal ini memiliki pengertian bahwa sipil, yaitu legislatif dan eksekutif memiliki peran yang dominan dalam mengontrol militer dari segi pertahanan keamanan hingga pelibatan dalam kehidupan politik. Namun untuk benar-benar terealisasi seperti itu, butuh keseriusan dari sipil dan keterbukaan dari pihak militer.
Eric Nordlinger (dalam Marijan, 2011:244-245) mengungkapkan gambaran konseptual mengenai relasi antara militer dan politik yang tentunya melibatkan sipil. Nordlinger menyebut tentara yang terlibat dalam politik sebagai tentara-tentara praetorian. Sebutan tentara praetorian sendiri berasal dari zaman Romawi Kuno, dimana kaisar membentuk unit militer khusus yang disebut prajurit praetorian. Prajurit praetorian ini justru memakan dirinya sendiri, yaitu menggulingkan kaisar dan mengontrol proses pergantian para kaisar berikutnya. Prajurit praetorian itu pada kenyataannya memiliki keukasaan yang tidak kalah dari kaisar yang membentuknya. Nordlinger menggambarkan praetorianisme sebagau sebuah situasi dimana anggota militer merupakan aktor politik utama karena menggunakan kekuatan nyata atau ancaman yang mereka miliki. Berdasarkan tingkat keterlibatan militer dalam kehidupan politik di sebuah negara, Nordlinger membagi tentara praetorian ke dalam tiga kategori besar, yaitu moderators, guardians, dan rulers.
Kategori pertama terntara praetorian menurut Nordlinger adalah moderators. Dalam kategori ini militer tidak memiliki kekuasaan yang penuh, melainkan berbagai dengan yang lain, namun militer memiliki hak veto dan berusaha melindungi status quo yang ada. Kategori kedua adalah guardians, dimana militer ikut secara langsung mengontrol pemerintahan. Tujuan dari keterlibatan militer secara langsung ini adalah memperbaiki kesalahan-kesalahan serta pemborosan-pemborosan yang telah terjadi maupun yang sedang terjadi. Kategori yang ketiga adalah rulers, dimana militer mendominasi kekuasaan dan bertujuan untuk melakukan perubahan baik dari segi politik maupun sosial ekonomi.
Tabel 2.1 Kategori Tentara Praetorian Menurut Nordlinger
Indikator Moderators Guardians Rulers
Kekuasaan yang dimiliki Kekuasaan Veto Kontrol Pemerintahan Dominasi Rezim
Tujuan ekonomi dan politik Melindungi Status Quo Melindungi Status Quo serta Mengoreksi Kesalahan dan Pemborosan Mempengaruhi perubahan sosial, ekonomi dan politik
Sumber: Nordlinger (dalam Marijan, 2011:245)
Konsep tentara praetorian ternyata bukanlah konsep yang dikembangkan secara tunggal oleh Eric Nordlinger. Pakar lain, yaitu Amos Perlmutter juga mengembangkan konsep tentara praetorian berdasarkan jumlah kelompok yang berkuasa beserta realasi yang terbangun. Perlmutter mengemukakan ada tiga kategori tentara praetorian, yaitu autokratik praetorian, oligarki praetorian dan korporatis praetorian. Kategori yang pertama adalah autokratik praetorian, yaitu ketika terdapat seorang penguasa yang sangat berkuasa di suatu negara, dan ia berasal dari kalangan militer. Kategori ini memiliki banyak sebutan, seperti the personalist, atau a despot-tyrant, contohnya Idi Amin di Uganda, atau a despot-patrimonial, seperti Samoza di Nikaragua. Kategori yang kedua adalah oligarki praetorian, yaitu kekuasaan yang dikendalikan oleh sejumlah orang dari kalangan militer, seperti di Irak, Mesir dan Syria. Kategori terkahir adalah korporatis praetorian dimana kekuasaan didasarkan pada korporatisme dan klientelisme (Perlmutter, dalam Marijan, 2011:246-247).
Gambar 2.1 Tentara Preatorian Menurut Perlmutter
Sumber: Perlmutter (dalam Marijan, 2011:246-247)
Meskipun ada perbedaan diantara beberapa pakar dalam mengemukakan konsep mengenai tentara praetorian, ada kesamaan yang terbangun dinatara konsep mereka, yaitu intervensi militer dalam kehidupan politik tidak bisa dilepaskan dari situasi sistem politik yang tidak stabil. Beberapa literatur mendeskripsikan situasi yang dapat mengakibatkan adanya intervensi militer dalam sistem politik, yaitu (1) jatuhnya prestise pemerintahan sehingga rezim berkuasa menggunakan pendekatan represif dalam memelihara ketertiban nasional, (2) perpecahan diantara pemimpin politik, (3) adanya intervensi dari negara luar, (4) pengaruh buruk adanya perebutan kekuasaan oleh militer di negara tetangga, (5) permusahan sosial di dalam negeri, terutama yang diperintah oleh kelompok minoritas, (6) krisis ekonomi, (7) korupsi dan niat pejabat sipil menjual bangsanya kepada kelompok asing, (8) struktur kelas yang sangat ketat sehingga dinas militer menjadi satu-satunya saluran yang terbuka untuk naik ke status sosial yang lebih tinggi, (9) Kepercayaan yang semakin meningkat tebal dalam memandang anggota militer sebagai pihak yang paling disiplin, (10) pengaruh asing, dan (11) Keyakinan pimpinan militer bahwa pemerintahan sipil telah mengkhianati mereka (Welch, dalam Azhar, 2005:11-14). Dalam suasana seperti ini militer masuk ke dalam ranah politik dengan alasan ‘to create stability, order and legitimacy’, sehingga mendapat dukungan pula dari rakyat.
Seperti yang telah dipaparkan pada paragraf awal bahwa mempelajari relasi militer dan politik, mau tidak mau melibatkan relasi sipil dan juga militer. Hal ini dikarenakan domain dari masing-masing pihak, yaitu sipil dalam ranah politik, sementara militer dalam ranah pertahanan dan keamanan. Ketika militer melakukan intervensi ke ranah politik, ada sebuah relasi yang terbangun antara militer dengan sipil. Para pakar ilmu politik telah membangun tiga model yang dapat dijadikan acuan untuk menjelaskan mengenai relasi antara sipil dan militer (Marijan, 2011:245-246).
Model yang pertama adalah model tradisional. Model ini dikembangkan pada abad 17 dan abad 18 di kerajaan-kerajaan dengan corak sistem politik monraki di Eropa. Model ini mengemukakan bahwa kalangan aristokrat (ningrat) membentuk kelompok sipil (birokrasi) dan kelompok militer secara bersamaan. Tidak jarang, para aristokrat mengambil posisi sebagai penguasa angkatan bersenjata. Terjadi supremasi sipil atas militer, namun supremasi ini terjadi lantaran kedua kelompok tersebut dikendalikan oleh para aristokrat yang membentuknya.
Model yang kedua adalah model liberal. Model ini menggambarkan adanya supremasi sipil atas militer yang lebih jelas dibandingkan model yang pertama, yaitu tradisional. Kelebihjelasan ini dikarenakan adanya perbedaan keahlian dan tanggungjawab antara sipil dan militer. Kelompok sipil memegang jabatan pemerintahan, baik karena dipilih maupun ditunjuk. Mereka bertanggungjawab untuk menjalankan roda pemerintahan sehari-hari. Kelompok militer memiliki kemampuan yang terlatih dan berpengalaman di dalam penggunaan kekuatan bersenjata. Kelompok militer memiliki tanggungjawab untuk melindungi negara dari serangan negara lain. Kelompok militer tidak memiliki pengaruh dalam kehidupan politik. Tindakan mempertahankan negara atau menyerang negara lain merupakan bentuk keputusan yang dihasilkan oleh pemerintah sipil, bukan militer.
Model yang ketiga adalah model penetrasi. Model ini diterapkan di negara-negara totaliter atau negara komunis. Dalam model ini, militer memiliki pengaruh dalam kehidupan politik, yaitu melalui penetrasi gagasan-gagasan politik. Proses ini dilakukan mulai dilakukan di bangku pendidikan militer hingga ketika mereka berkarier di organisasi kemiliteran. Ada semacam pemahaman yang ditanamkan bahwa militer memiliki kewajiban untuk menyumbangkan gagasan mengenai situasi perpolitikan yang terjadi.
Pertanyaan yang muncul kemudian terkait dengan relasi militer dalam politik, seperti yang telah diungkapkan dalam paragraf awal adalah, bagaimana memahami relasi antara militer dan politik yang melibatkan sipil pada negara yang mengalami transisi menuju negara yang demokratis. Samuel Huntington (dalam Marijan, 2011:247-248) mengemukakan perlunya kontrol sipil dalam mewujudkan tatanan demokrasi yang ideal dalam negara yang sedang mengalami transisi menuju kondisi yang demokratis. Menurutnya ada dua jenis kontrol sipil atas militer, yaitu subjective civilian control dan objective civilian control.
Dalam subjective civilian control, kontrol sipil atas militer diwujudkan melalui pemaksimalan kekuasaan sipil atas militer. Dalam model ini, kontrol sipil dapat dimanifestasikan dalam bentuk kontrol atas lembaga pemerintahan, kelas-kelas sosial, dan bentuk-bentuk konstitusional. Di sini, peran legislatif dan eksekutif menemukan urgensinya. Sedangkan dalam objective civilian control, kontrol dilakukan oleh sipil dengan pemaksimalan profesionalisme militer dalam tubuh militer. Hal ini dilakukan agar militer merasa dihargai atas kemampuan yang dimilikinya.
Menurut Samuel Huntington (dalam Marijan, 2011:248) bahwa objective civilian control dapat dikembangkan dalam membangun relasi sipil dan militer pada negara yang sedang mengalami proses demokratisasi. Hal ini tentunya tidak lepas dari empat karakteristik dari objective civilian control, yaitu (1) kontrol objektif bermakna adanya profesionalisme tingkat tinggi serta pengakuan bahwa militer memiliki keterbatasan mengenai kompetensi profesional yang dimiliki, (2) adanya subordinasi yang efektif oleh militer mengenai pemimpin-pemimpin sipil mengenai kebijakan luar negeri dan militer, (3) pengakuan dan penerimaan mengenai kepemimpinan di area kompetensi profesional dan otonomi mengenai militer, dan (4) minimalisasi intervensi militer dalam politik dan intervensi politik dalam militer.
Lebih jauh dalam memahami relasi militer dan politik pada negara yang sedang mengalami demokratisasi adalah dengan memahami fungsi militer dalam negara demokratis. Dietrich Gienschel (dalam Azhar, 2005:20-22) mengungkapkan mengenai prinsip-prinsip mengenai fungsi militer dalam negara demokratis, yaitu (1) militer merupakan bagian dari kekuasaan eksekutif dalam suatu tata kelola pemerintahan, (2) militer berada dibawah kepemimpinan politik yang telah ditetapkan secara demokratis, dimana jabatan menteri pertahanan dipegang oleh sipil, (3) militer mengikuti pedoman politik yang digariskan, (4) militer dibatasi oleh tugas-tugas yang telah ditetapkan oleh konstitusi, (5) militer patuh dan tunduk pada hukum, (6) militer bersifat netral dalam politik, (7) militer dikendalikan oleh parlemen, kepemimpinan politik, kekuasaan kehakiman, dan masyarakat sipil secara umum, dan (8) militer harus memmiliki tanggungjawab yang jelas berdasarkan keahlian profesionalnya.
Untuk dapat merealisasikan prinsip-prinsip yang telah dikemukakan tersebut, diperlukan prasyarat, yaitu (1) kerangka konstitusi, menentapkan peran fungsi militer dari segi konstitusional, (2) parlemen yang berfungsi, (3) pemerintahan sipil dengan rantai komando politik yang jelas, (4) kekuasaan kehakiman yang mandiri, seperti tanpa adanya pengadilan militer, (5) organisasi militer yang profesional yang tidak mencampuri ranah sipil dan terfokus pada masalah pertahanan dan keamanan, (6) masyarakat sipil yang matang, (7) publik terdidik yang mampu dan mau berpartisipasi pada kehidupan politik, (8) elit militer dan elit politik yang terdidik, (9) PNS tidak perlu takut pada militer dan militer harus memnuhi kewajiban mereka berdasrkan batasan hukum yang telah ditentukan.
2.2 Relasi Militer dan Politik dalam Konteks Indonesia
Sejarah politik Indonesia menunjukkan adanya peran militer yang dominan dalam sistem politik. Militer memainkan peran yang amat penting dalam rangka merebut dan mempertahankan kemerdakaan. Perjuangan militer tersebut tidak hanya dalam konteks melawan penjajah sebagai bentuk ancaman dari luar, namun juga melawan ancaman dari dalam seperti pemberontakan untuk merubah NKRI. Awalnya militer Indonesia adalah kelompok rakyat bersenjata yang difungsikan untuk melawan pemerintahan kolonial Belanda sejak akhir perang dunia kedua hingga tahun 1949. Kelompok rakyat bersenjata ini kemudian melembagakan diri menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia) setelah proklamasi kemerdekaan Agustus 1945. Setelah kemerdekaan tercapai, TNI mengklaim dirinya telah memainkan peran yang lebih besar dalam perjuangan memperoleh kemerdekaan dibandingkan usaha diplomatik yang dilakukan oleh sipil.
Ada beberapa alasan mengapa militer masuk ke dalam kehidupan politik dalam konteks sejarah Indonesia. Kusnanto Anggoro (dalam Azhar, 2005:14-15) mengungkapkan ada beberapa faktor yang menyebabkan militer indonesia terjun ke dalam kehidupan politik, yaitu (1) tidak dewasanya politisi sipil dalam mengelola negara, (2) adanya ancaman terhadap keamanan nasional, (3) ambisi mempertahankan privillege dalam merumuskan kebijakan pertahanan dan anggaran pertahanan, dan (3) melindungi akses dan aset ekonomi dan bisnis. Daniel S. Lev (dalam Azhar, 2005:15) mengungkapkan ada alasan subjektif dari perwira TNI untuk masuk ke dalam ranah politik dalam konteks sejarah Indonesia. Alasan tersebut adalah (1) dipersulitnya reorganisasi kekuatan militer oleh politik pemerintah, (2) dicampurinya urusan internal TNI oleh pimpinan politik, (3) terjadinya pertentangan di kalangan perwira TNI sendiri, dan (4) tidak disukainya kondisi politik dan kepemimpinan pemerintahan oleh TNI.
TNI mulai memainkan peran yang penting dalam mempengaruhi kekuasaan menjelang akhir tahun 1950-an. Presiden pertama Indonesia, Soekarno bahkan menjadikan TNI sebagai tritunggal bersama dirinya. Peran TNI dalam sistem politik mencapai puncaknya pada saat pengambilan kekuasaan oleh Soeharto pada tahun 1965. TNI memandang dirinya berhak mengambil kepemimpinan apabila kaum sipil dipandang tidak bisa secara efektif melindungi kepentingan nasional. Militer kemudian difungsikan oleh eksekutif sebagai kekuatan penyeimbang melawan oposisi politik Dalam era orde baru, militer bahkan berafiliasi dengan partai penguasa yaitu Golkar. Selama kurun waktu hampir tiga puluh dua tahun militer mendapatkan posisi yang istimewa dan strategis dalam kehidupan politik, sosial bahkan ekonomi di Indonesia. Selama militer patuh dan tunduk pada Soeharto, militer akan terus mendapat posisi yang strategis dalam pemerintahan.
Kondisi mulai berubah menjelang akhir masa pemerintahan Soeharto. Pada tahun 1980-an, militer sudah mulai tidak mendukung kepemimpinan Soeharto. Hal ini dikarenakan perhatian Soeharto kepada militer telah bergeser kepada kolega-kolega pengusaha yang dekat dengan keluarganya. Hingga pada Mei 1998, Soeharto mundur dari kursi kepresidenan, terjadi perubahan dalam peran dan fungsi militer. Pemerintahan mulai dipegang dari sipil, ada perubahan yang dilakukan dalam membatsi peran militer dalam politik serta banyak terjadi penataan dalam lingkungan internal partai Golkar ketika Harmoko menjadi ketua umum. Reformasi membuat militer harus mereformasi diri pula. Namun mendudukan militer dibawah supremasi sipil seperti yang diungkapkan dalam perspektif teoritis sebelumnya belum terlaksana secara optimal di Indonesia.
Seperti yang tela diungkapkan bahwa proses demokratisasi di Indonesia ditandai oleh posisi angkatan bersenjata Indonesia di bawah otoritas sipil. Di lain pihak, militer Indonesia memandang perannya dalam kehidupan politik dibenarkan oleh fakta sejarah, dan juga militer tidak dibentuk oleh pemerintah sipil melainkan rakyat sendiri. Hal ini apabila dicermati agak bertentangan dengan pengesahan militer menjadi TNI pasca proklamasi Agustus 1945. Konsep dwifungsi yang dijalankan oleh militer dengan masuk ke dalam ranah politik masih tetap ada hingga saat ini. Hal ini tidak lepas dari lamanya militer mendapatkan berbagai privillege dari penguasa orde baru, yang sekali lagi juga dari kalangan militer.
Reformasi menciptakan fenomena tersendiri terkait peran militer dalam politik di Indonesia. TNI terbelah menjadi faksi-faksi yang saling berlawanan, yang dikategorisasikan sebagai reformis dan konservatif. Sebagian kecil jendral dalam tubuh TNI secara terbuka mengaku sebagai reformis, namun mereka harus berhadapan dengan opsisi yang kuat dari lawan mereka. Mayoritas perwirasangat berhati-hati terhadap reformasi. Meskipun mereka menerima retorika supremasi sipil atas angkatan bersenjata, mereka ragu untuk merumuskan mekanisme reformasi ini. Mayoritas perwira ini terbagi ke dalam kelompok garis keras dan kelompok moderat, serta hampir tidak mungkin membedakan kedua kelompok ini karena sering berubah-ubah dengan cara yang sulit diprediksikan. Namun yang penting untuk dicermati adalah masih adanya kecenderungan dalam diri militer untuk masuk atau mengintervensi ke dalam kehidupan politik.
Dilema yang dihadapi banyak negara, termasuk Indonesia ketika memulai proses reformasi adalah mana yang harus didahulukan, membangun kontrol demokratis atau membangun kontrol sipil atas militer. Kontrol demokratis berarti bahwa struktur komando militer adalah subjek, dan bertanggungjawab pada lembaga demokratis, seperti parlemen. Sementara itu, kontrol sipil atas militer ditandai dengan personel non-militer mendominasi semua proses pertahanan dan pengambilan keputusan militer, seperti keputusan kebijakan pertahanan, strategi pertahanan dan keamanan nasional, hingga promosi jabatan. Namun di Indonesia kondisi yang ada menunjukkan bahwa militer bukanlah subjek bagi otoritas tinggi manapun. Militer memiliki kontrol penuh atas pengambilan keputusannya sendiri. Kesulitas lain yang muncul adalah menempatkan pengambilan keputusan militer di bawah kontrol sipil bukanlah tugas yang sederhana. Kesulitas mendapatkan orang-orang yang ahli dalam hal seputar militer akan menjadi pembenaran bagi militer untuk tetap menguasai proses pengambilan keputusan tentang pertahanan. Terlepas dari hal tersebut, tingkat kontrol sipil atas militer menjadi tolok ukur kedalaman proses demokratisasi di Indonesia. Bagaiman reformasi mempengaruhi militer di Indonesia dalam kehidupan politik menjadi sebuah hal yang harus diulas secara mendalam dan komprehensif.
2.3 Reformasi Militer Indonesia
Reformasi pada tahun 1998 dijadikan sebagai tonggak untuk masuk ke dalam kehidupan bernegara dan berpolitik yang lebih demokratis. Kungkungan rezim orde baru selama tiga dekade mulai tergerus arus reformasi. Banyak tuntutan dari masyarakat untuk membentuk kondisi negara yang lebih baik. Dalam konteks demokratisasi, masyarakat yang prodemokrasi menuntut dengan amat kuat agar ABRI (TNI) melakukan reformasi besar-besaran dalma dirinya. Tuntutan ini dilandasi dengan alasan bahwa militer telah terlibat terlalu jauh dalam politik serta dianggap sebagai sumber matinya demokrasi di Indonesia. Militer juga dianggap bertanggungjawab terhadap masalah-masalah seputar HAM di Indonesia, yang dahulu mengatasanamakan keamanan. Militer juga dianggap terlalu jauh masuk ke dalam ranah non-pertahanan seperti bisnis yang menyebabkan profesionalitas TNI menjadi menurun.
Dalam konteks negara demokrasi, TNI diharuskan menghapus konsep dwifungsi ABRI, yaitu peran dalm bidang pertahanan dan juga pemerintahan. Demokratisasi yang sedang berjalan mensyaratkan TNI untuk kembali ke barak dan berfokus pada upaya pertahanan dan keamanan semata tanpa harus masuk ke ranah politik. TNI kemudian menjadikan tuntutan tersebut sebagai bahan diskusi internal, dan kemudian menghasilkan empat paradigma baru TNI yang diumumkan oleh Wiranto. Pertama, militer akan mengubah posisi dan metode untuk tidak selalu harus di depan dan mendominasi. Posisi yang merekan pada masa orde baru mereka berikan kepada institusi fungsional yang lebih kompeten. Kedua, mengubah konsep menduduki menjadi mempengaruhi. Artinya posisi militer yang dahulu menguasai posisi yang strategis, kini harus dibatasi. Mempengaruhi bukan berarti mengintervensi, melainkan berkontribusi pada pembangunan. Mengubah cara mempengaruhi secara langsung menjadi tidak langsung. Hal ini dilakukan untuk menghindari keterlibatan yang berlebihan pada berbagai kegiatan yang tidak berkaitan dengan tugas utamanya. Keempat kesediaan untuk secara bersama-sama melakukan pengambilan keputusan penting kenegaraan dan pemerintahan dengan komponen bangsa lainnya (Haramain, dalam Marijan, 2011:251).
Paradigma baru TNI ini secara umum menggantikan paradigma lama yang memosisikan TNI sebagai pihak yang full-power dengan jargon lamanya yaitu TNI sebagai stabilisator dan dinamisator. Hal penting yang perlu dicermati dalam paparan paradigma baru TNI tersebut adalah (1) TNI tidak secara utuh surut dari panggung politik. Hal ini ditandai dengan masih banyakanya purnawirawan TNI yang mencalonkan diri menjadi calon penguasa, (2) TNI tetap memosisikan diri sebagai kekuatan politik utama. Hal ini ditandai dengan kesiapan TNI untuk berbagi peran dalam mengambil keputusan yang bernuansa politik, (3) TNI belum bisa menyatakan bahwa dirinya dalam konteks demokratisasi hanyalah pelaksana dari pemerintahan sipil. Paradigma baru ini cenderung menyatakan bahwa TNI masih belum bisa menerima supremasi sipil atas dirinya.
Paradigma baru TNI tidak memperlihatkan adanya koreksi terhadap peran dan sepak terjang TNI di tengah masyarakat. Artinya kesalahan di masa lalu dinyatakan sebagai kesalahan yang dianggap bisa ditolerir berdasarkan keputusan seluruh komponen bangsa berdasarkan kondisi faktual pada masa itu. Hal ini dengan kata lain menghapus jejak masa lalu yang membuat sejumlah nyawa melayang atas dalih kemanan nasional yang dipertanyakan kebenarannya hingga saat ini. Hal ini yang membuat sejumlah petinggi TNI menolak apabila dimintai keterangan seputar pertanggungjwaban hukum atas kesalahan di masa lalu. Paradigma baru TNI juga tidak lepas dari pengaruh dari Presiden dan Parlemen yang cenderung membiarakan militer membentuk paradigmanya sendiri, sehingga tidak bertolak atas realitas historis dan evaluasi menyeluruh dari pengalaman TNI di masa ORBA. Paradigma baru ini juga masih menyebabkan sendi demokrasi kurang dapat berkembang karena dwifungsi tidak dihilangkan secara menyeluruh melainkan masih tetap dipertahankan (Azhar, 2005:29).
Salah satu turunan dari konsep dwifungsi adalah adanya lembaga teritorial. Salah satu peran dari lembaga teritorial adalah melakukan pembinaan sosial politik. Secara kelembagaan, peran lembaga teritorial dilakukan oleh Komando Teritorial (Koter) yang meliputi Kodim di tingkat provinsi sampai Babinsi di tingkat kelurahan atau desa. Eksistensi lembaga teritorial ini tidak bisa dilepaskan dari konsep pertahanan yang digunakan TNI yaitu sistem pertahanan rakyat semesta atau yang biasa disebut total war. Wirahadikusumah (dalam Marijan, 2011: 256) mengungkapkan doktrin sistem pertahanan rakyat semesta sebagai sebuah doktrin yang menyatakan bahwa Indonesia dibayangkan berada dibawah ancaman perang, dan ancaman perang itu tidak hanya datang dari luar negeri namun juga dari dalam negeri. Perang tidak hanya berupa kekerasan fisik, namun juga ancaman yang bersumber pada bidang-bidang sosial, ekonomi, politik, bahkan kebudayaan. Doktrin ini membawa konsekuensi yaitu pengedepanan pendekatan keamanan dalam mengatasi berbagai masalah yang ada.
Komando teritorial tidak hanya melakukan pembinaan dalam bidang pertahanan, melainkan aktif dalam melakukan pembinaan di luar bidang pertahanan. Mabes TNI menyatakan ada empat belas fungsi teritorial yang sampai saat ini dijalankan oleh Komando teritorial (Koter), yaitu (1) persatuan dan kesatuan bangsa, (2) binkanwil/siskamling, (3) operasi bakti buta aksara, (4) partisipasi pembangunan, (5) GNOT, (6) pembinaan menwa, (7) pembinaan daerah rawan pangan, (8) pembinaan tokoh masyarakat, (9) keluarga berencana/kesehatan, (10) menunggal pertanian, (11) pembinaan generasi muda, (12) pembinaan unit pemukiman transmigrasi, (12) pembinaan generasi muda, (13) pembinaan kawasan pembangunan terpadu, (14) pembinaan keluarga prasejahtera (Asfar, dalam Marijan, 2011:256).
Melihat fungsi koter yang secara umum tidak berkaitan dengan pertahanan negara sebagaimana tugas TNI sesuai dengan amanat UUD 1945 pasal 30, peran dan fungsi koter diusulkan untuk dihapuskan. Hal ini sebagai langkah memperjuangkan reformasi di tubuh TNI. Ada empat argumentasi mengapa Koter perlu dihapuskan, yaitu (1) penghapusan tersebut sebagai perwujudan dari kemauan TNI untuk merespon perkembangan yang ada di dalam masyarakat, (2) mendorong percepatan demokratisasi, (3) sesuai dengan kebijakan mengenai otonomi daerah, dan (4) keberadaan Koter di beberapa daerah dianggap sebagai parasit. Andi Widjojanto (dalam Azhar, 2005:63) menyatakan bahwa ada beberapa kelemahan yaitu (1) soal pola pembagian zona pertahanan I (penyangga), II (Pertahanan Negara), dan III (Perlawanan), (2) struktur komando teritorial yang berkaitan dengan masalah efisiensi sumber daya (3) struktur Koter yang tersebar disertai dengan mobilisasi pasukan yang memadai, (4) struktur Koter tidak mencerminkan kebutuhan pertahanan negara kepulauan yang harus ditopang oleh integrated armed-forces, dan (5) struktur Koter mengharuskan TNI menjadi aktor tunggal pertahanan keamanan yang harus mampu menangkal berbagai ancaman. Meskipun penghapusan koter wacananya dilakukan secara bertahap, namun resistensi telah terbangun di kalangan militer. Militer ingin tetap mempertahankan Koter dengan mendelegasikan fungsi-fungsi koter ke institusi yang fungsional dalam pemerintahan. Militer lebih menginginkan refungsionalisasi Koter.
Dalam pandangan TNI, fungsi Koter saat ini adalah (1) mengelola satuan-satuan di bawah komandonya, (2) melatih rakyat sebagai komponen pertahanan, (3) menyiapkan dan melaksanakan kampanye militer untuk mempertahankan daerah dalam menghadapi ancaman dari luar, dan (4) membantu pemerintah daerah atas permintaan, khususnya yang berkaitan dengan masalah pertahanan (Asfar, dalam Marijan, 2011:257). Resistensi dari kalangan militer tersebut menunjukkan bahwa militer belum bisa diletakkan dalam kerangkan supremasi sipil seperti dalam konsep negara demokrasi. Resistensi ini juga menunjukkan bahwa TNI tidak bisa lepas sama sekali dari masalah-masalah politik.
Ada pendapat lain yang menyatakan bahwa TNI bukanlah pihak yang dominan lagi saat ini. Hal ini patut untuk dikorek lebih lanjut, apakah tidak dominannya TNI menjadi pertanda bahwa TNI sudah menerima supremasi sipil atas dirinya. Penarikan sejumlah anggota TNI dari legislatif baik di tingkat nasional maupun daerah memang terjadi, namun bentuk lain berupa pencalonan diri dari sejumlah purnawirawan TNI harus pula dipertanyakan. Tidakkah ini dapat menjadi sebuah celah bagi TNI untuk dapat mempengaruhi sipil dalam ruang politik.
Upaya untuk menjamin proses demokratisasi berjalan dengan baik telah dilakukan oleh parlemen. MPR melakukan upaya dari segi hukum dengan mengamandemen pasal 30 UUD 1945. Dalam amandemen tersebut ditegaskan tugas dari TNI adalah mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara. Selain itu amandemen tersebut juga menggariskan adanya pemisahan antara isntitusi Polri dan TNI. Hal ini karena tugas mereka yang berbeda. TNI sebagai alat pertahanan negara , sementara Polri sebagai institusi yang menjaga kemanan dan ketertiban masyarakat. Implementasi dari amandemen ini agaknya masih jauh dari yang diharapkan. UU No. 3 Tahun 2002 mengenai pertahanan, khususnya pasal 14 ayat 2 menyatakan bahwa penggunaan angkatan bersenjata harus mendapatkan izin dari DPR. Hal ini kemudian coba dimentahkan oleh TNI dengan meminta kewenangan yang lebih besar, bahkan tanpa persetujuan presiden dalam penggunaan kekuatan. Hal ini terlihat dari pasal 19 RUU TNI (Azhar, 2005:33-35).
Aspek hukum yang tidak bisa dipisahkan dari upaya reformasi TNI dalam rangka demokratisasi di Indonesia adalah praktik penerapan UU No. 26 Tahun 2000 mengenai pengadilan HAM yang melibatkan anggota militer sebagai pekaku kejahatan kemanusiaan. Tindak pidana yang menjadi jurisdiksi pengadilan HAM sangat berkaitan erat dengan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) oleh lembaga negara atau sebuah organisasi. Militer sebagai sebuah bentuk organisasi, sering melakukan kejahatan kemanusiaan dengan bentuk operasi militer seperti yang dilakukan di Aceh, Lampung dan Papua yang menewaskan banyak warga sipil. Urgensi pengadilan HAM adalah meminta pertanggungjawaban dari seluruh pihak yang diduga terlibat dalam kejahatan kemanusiaan tersebut. UU HAM juga merupakan upaya untuk memutus rantai impunitas (kejahatan tanpa hukuman) yang dilakukan oleh militer selama masa orde baru atas nama kemanan nasional.
Implementasi UU HAM berikut dengan pengadilan HAM dalam rangka memutus mata rantai impunitas yang melibatkan TNI tampaknya tidak dapat terlaksana dengan baik. Hal ini terlihat dari pembangkangan sejumlah perwira militer yang menolak memenuhi panggilan KPP-HAM karena menganggap komisi tersebut dibentuk secara tidak sah. Selain itu, banyak perwira militer yang kemudian masuk ke dalam masuk ke dalam posisi yang strategis dalam komando oprasional militer dan badan eksekutif lainnya. Hal ini juga diperparah dengan lemahnya perhatian kalangan parlemen mengani keseriusan penanganan kejahatan kemanusiaan di masa lalu. Hal-hal ini lah yang menyebabkan keberulangan kejahatan kemanusiaan. Hal ini semakin diperkuat dengan adanya pengadilan militer yang cenderung lunak dalam mengadili anggota militer yang terlibat kejahatan. Di sini lah sebetulnya diperlukan peran aktif parlemen dan masyarakat dalam mengusut kejahatn di masa lalu untuk memberi peringatan bagi phak-pihak yang mau melakukan hal yang sama di masa kini.
Selain sibuk masuk ke dalam ranah politik, militer juga masuk ke dalam dunia bisnis. Hal ini tidak lepas dari kondisi orde baru yang memberikan ruang sebebas-bebasnya bagi militer untuk berbisnis. Peran militer dalam bisnis cenedrung menghambat bahkan mematikan peran sipil dalam ruang yang sama. Militer menggunakan hak-hak istimewa dari pemerintah untuk mendapatkan keuntungan finansial yang besar dari bisnis, sehingga mereka enggan melepaskannya terutama dalam upaya reformasi TNI. Selain itu, karena terlalu sibuk dalam bisnis, militer melupakan misi utamanya yaitu menjaga pertahanan dan kemanan. Masuknya militer ke dalam ranah non-pertahanan seperti politik dan bisnis benar-benar menumpulkan profesionalitas militer. Selain itu, hal tersebut juga menyebabkan kemerosotan dalam hal teknologi, seperti dalam alutsista. Hal ini menyebabkan fungsi pertahanan yang seharusnya dilakukan oleh TNI menjadi terbengkalai dan menyebabkan negara ini rawan mendapat serangan baik dari luar maupun dari dalam.
2.4 Peran Politik TNI Masa Depan
Secara konseptual, TNI berusaha mendekonstruksi mengenai peran politik mereka. Mereka menyebutnya sebagai ‘politik negara’. Politik negara mengandung makna bahwa militer tidak terlibat dalam politik praktis, namun masih memiliki peran politik. Politik negara yang dijalankan oleh TNI tidak berbeda jauh dengan peran TNI dalam politik yang diterapkan di negara Turki. Di Turki, militer memang sudah menarik diri dari gelanggang politik namun militer akan ikut campur apabila negara terancam. Peran politik TNI pasca orde baru berkaitan dengan penggunaan hak pilih dan dipilih dalam pemilu.
Hak pilih dan dipilh bagi militer memang mengundang perdebatan bagi sejumlah pihak. Adanya hak memilih dikhawatirkan dapat memecah belah soliditas internal TNI. Di kalangan sipil, terdapat kekhawatiran bahwa ketika TNI itu memiliki hak untuk memilih akan membuat TNI cenderung mendukung kekuatan politik tertentu. Hak politik tersebut (memilih dan dipilih) dapat saja diberikan kepada TNI ketika sudah terjadi perubahan-perubahan besar-besaran atau reformasi di tubuh TNI. Presiden SBY bahkan menyatakan masih belum memberikan persetujuan diberikannya hak memilih mengingat reformasi internal di kalangan internal TNI belum selesai. Pemberian hak politik kepada TNI dan Polri saat ini bisa saja membuat TNI dan Polri terseret ke kancah politik ketika hak pilih itu diberikan. Hal ini juga tidak lepas dari persaingan antara purnawirawan TNI dalam perebutan kekuasaan (Marijan, 2011:261).
Pertanyaan kemudian yang muncul adalah kapan hak politik TNI dan Polri akan diberikan. Ada tiga kondisi yang memungkinkan diberikannya hak politik TNI dan Polri. Pertama, ketika reformasi di tubuh TNI mendekati fase tuntas. Kedua, terdapat penerimaan oleh kelompok prodemokrasi (masyarakat sipil). Ketiga, manakala TNI dan Polri mampu membangun jarak dengan para politisi, termasuk dengan para purnawirawan yang terlibat dalam persaingan untuk memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan.
BAB III
KESIMPULAN
Sebagaimana terjadi di negara-negara lain, derajat keterlibatan militer dalam politik di Indonesia sangat dipengaruhi oleh corak sistem politik yang berkembang. Ketika terjadi arus otoritarianisme, mulai dari pemerintahan Soekarno hingga khususnya pada era orde baru, keterlibatan militer dalam sistem politik amat kental. Hal ini nampak pula ketika militer secara kelembagaan menjadi bagian penting dalam bangunan pemerintahan orde baru.
Proses demokratisasi yang mengiringi jatuhnya pemerintahan Soeharto telah memberi dorongan yang kuat kepada militer untuk kembali ke jati dirinya sebagai tentara profesional. Di dalam jati diri demikian, militer lebih banyak berperan sebagai kekuatan di bidang pertahanan. Peran politik yang sudah lebih darin empat dekade dijalani oleh militer harus ditinggalkan.
Secara kelembagaan, peran politi tersebut dapat saja dilakukan. Hal ini tidak lepas dari tuntutan yang snagat kuat dari kekuatan-kekuatan yang ada dalam masyarakat. Dalam derajat tertentu kekuatan-kekuatan politik juga ikut mendorong arus demikian. Tetapi, baik secara kelembagaan maupun secara kultural, membangun militer yang teredam dari dunia politik juga tidaklah mudah. Upaya untuk menghapuskan Komando teritorial (Koter) dan mensterilkan TNI-Polri dari dunia bisnis, misalnya mengalami kelambatan. Bahkan, bisa jadi, Koter tidak akan pernah dihapuskan di dalam struktur organisasi TNI. Oleh karena itu, meskipun secara formal TNI tidak lagi memiliki hak-hak istimewa, seperti memiliki wakil di DPR/D, secara riil, keterlibatan TNI masih sulit dihilangkan.
Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Kemajuan teknologi baik dalam bidang teknologi, baik dalam bidang teknologi informasi maupun teknologi transportasi mendorong munculnya produk-produk kebudayaan baru dalam masyarakat. Dalam beberapa masyarakat, ada produk kebudayaan yang terus dipertahankan dari masa ke masa yang tidak boleh diubah. Adanya kebudayaan-kebudayaan baru yang masuk dalam suatu masyarakat tidak lepas dari peran komunikasi dan bisanya proses komunikasi yang terjadi melibatkan media massa karena daya jangakaunya lebih luas. Salah satu wujud kebudayaan yang dihasilkan dengan adanya keterlibatan media massa adalah kebudayaan massa atau mass culture dan kebudayaan popular atau pop culture . Berbagai wujud pop culture ada disekitar kita seperti gaya berbusana, makanan, music dan film. Tak bisa dipungkiri lagi, keberadaan pop culture mewarnai kehidupan sosial kita. Bila kita amati berbagai wujud pop culture yang ada disekitar kita memang tidak lepas dari peran media...
Komentar